"Iya, mungkin karena habis pengajian, orang-orang pada punya makanan, Nak!" kata Ibu. Matanya menatap sayuran pecel yang masih utuh.
"Mudah-mudahan ada yang beli , Bu!" aku menadahkan tangan.
"Amin!" Ibu mengaminkan doaku.
Allah mengabulkan do'a hambanya. Kudengar lamat-lamat, langkah mendekati kami. Ternyata Pak Haji Ade beserta istri. Tetangga kami di belakang rumah. Dia punya usaha meubel yang cukup terkenal.
"Masih ada pecelnya, Teh?" tanyanya.
Ibu mendudukkanku di kursi.
"Oh, masih. Silakan, mau berapa bungkus Bu Haji?"
"Dua bungkus, pake rawit dua!"
"Baik, silakan duduk," Ibu mempersilakan pasangan suami istri itu untuk duduk di bangku panjang.
Dengan cekatan Ibu mengulek kacang goreng, kencur, bawang putih, rawit, garam, gula merah, dan setelah halus, dicampurnya dengan air matang dan berbagai sayuran. Harum bumbu pecel, membuatku lapar. Nasi dari hajatan tadi sore, tak membuatku kenyang.
Ibu membungkus pecel dengan daun pisang dan menyematnya dengan potongan lidi yang ujungnya dipotong lancip. Dua bungkus pecel dimasukkan ke kresek dan diserahkan kepada pembeli.