Oleh Neni Hendriati
"Assalamu'alaikum, barangkali ada yang mau membeli dagangan saya?" seorang bapak tiba-tiba masuk ke ruang guru saat jam istirahat.
Ketika kulihat, ternyata Pak Ambar, yang biasa datang berjualan makanan ringan.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah...," kami yang berada di ruang guru, serempak menjawab.
Sebenarnya kami sudah males membeli makanan yang itu-itu juga, tetapi...
"Tolong dibeli ya, Bu, Pak, citruk dan cireng ini. Buat penglaris!" kata Pak Ambar.
Ia menyimpan kresek besar penuh cireng dan citruk di mejaku. Wajahnya penuh harap, dan nada suaranya seperti biasa, sedikit memaksa.
Citruk yaitu makanan ringan dari tepung tapioka berbentuk lingkaran kecil tipis dan dipanggang. Karena kerasnya, makanan itu disebut "Citruk", aci yang berbunyi truk, bila digigit, dan sering menusuk gusi. Yang ompong, jangan coba-coba, deh! Hehe
Guru-guru saling berpandangan, dan menatap dua piring citruk di meja paling depan, yang beberapa hari lalu dibeli darinya. Masih utuh, lagi! Apakah Pak Ambar tak melihatnya? Atau pura-pura tak melihat?
Tetapi, kami tak tega menolaknya! Sesungguhnya kami membeli dagangan Pak Ambar karena rasa iba. Aku dan Pak Ambar, pernah beberapa kali menjadi Tim Pembina Matematika di tingkat kecamatan.
"Saya beli dua bungkus, Pak!" kuulurkan satu-satunya selembar uang sepuluh ribu di saku yang kumiliki saat itu, Mungkin, aku harus melupakan tahu goreng untuk hidangan di rumah untuk hari ini.
Pak Ambar tersenyum.
"Alhamdulillah, terima kasih, Bu, semoga rezekinya semakin bertambah," Pak Ambar meletakkan uang di kepalanya penuh rasa syukur.
"Amin," kuangkat kedua tangan mengamini doanya.
Berturut-turut,Bu Ade dan Bu yanti membeli masng-masing sebungkus. Senyum Pak Ambar semakin lebar. Uang dua puluh ribu dari kami, dipegangnya erat-erat.
"Terima kasih, Ibu-ibu, semoga rezekinya semakin berlimpah, assalamu'alaikum!" dia pun undur diri sambil menenteng kresek besar itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah, hati-hati, Pak. Semoga laris manis!" jawab kami.
Kutatap kepergian laki-laki tua dengan langkah diseret dan tertatih-tatih, dengan kostum kumal, yang itu-itu juga.
Sungguh hati ini merasa trenyuh! Bagaimana pun juga, dia adalah pensiunan guru SD tiga tahun yang lalu, tetapi hidupnya kelihatan kurang beruntung. Setiap hari, dia menjajakan citruk dan cireng ke sekolah-sekolah, bahkan sampai ke perumahan di kecamatan lain.
Apakah gaji pensiunan tak cukup? Ataukah ada hal lain yang membuatnya harus bekerja keras di usia tua? Akankah kami bernasib sama sepertinya saat pensiun nanti?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Kurasakan mataku tiba-tiba berembun...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H