Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cireng dan Citruk Pak Ambar

11 Desember 2022   06:59 Diperbarui: 11 Desember 2022   07:01 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Neni Hendriati

"Assalamu'alaikum, barangkali ada yang mau membeli dagangan saya?" seorang bapak tiba-tiba masuk ke ruang guru saat jam istirahat.

Ketika kulihat, ternyata Pak Ambar, yang biasa datang berjualan makanan ringan.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah...," kami yang berada di ruang guru, serempak menjawab.

Sebenarnya kami sudah males membeli makanan yang itu-itu juga, tetapi...

"Tolong dibeli ya, Bu, Pak, citruk dan cireng ini. Buat penglaris!" kata Pak Ambar.

Ia menyimpan kresek besar penuh cireng dan citruk di mejaku. Wajahnya penuh harap, dan nada suaranya seperti biasa, sedikit memaksa.

Citruk yaitu makanan ringan dari tepung tapioka berbentuk lingkaran kecil tipis dan dipanggang. Karena kerasnya, makanan itu disebut "Citruk", aci yang berbunyi truk, bila digigit, dan sering menusuk gusi. Yang ompong, jangan coba-coba, deh! Hehe

Guru-guru saling berpandangan, dan menatap dua piring citruk di meja paling depan, yang beberapa hari lalu dibeli darinya. Masih utuh, lagi! Apakah Pak Ambar tak melihatnya? Atau pura-pura tak melihat?

Tetapi, kami tak tega menolaknya! Sesungguhnya kami membeli dagangan Pak Ambar karena rasa iba. Aku dan Pak Ambar, pernah beberapa kali menjadi Tim Pembina Matematika di tingkat kecamatan.

"Saya beli dua bungkus, Pak!" kuulurkan satu-satunya selembar uang sepuluh ribu di saku  yang kumiliki saat itu, Mungkin, aku harus melupakan tahu goreng untuk hidangan di rumah untuk hari ini.

Pak Ambar tersenyum.

"Alhamdulillah, terima kasih, Bu, semoga rezekinya semakin bertambah," Pak Ambar meletakkan uang di kepalanya penuh rasa syukur.

"Amin," kuangkat kedua tangan mengamini doanya.

Berturut-turut,Bu Ade dan Bu yanti membeli masng-masing sebungkus. Senyum Pak Ambar semakin lebar. Uang dua puluh ribu dari kami, dipegangnya erat-erat.

"Terima kasih, Ibu-ibu, semoga rezekinya semakin berlimpah, assalamu'alaikum!" dia pun undur diri sambil menenteng kresek besar itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, hati-hati, Pak. Semoga laris manis!" jawab kami.

Kutatap kepergian laki-laki tua dengan langkah diseret dan tertatih-tatih, dengan kostum kumal, yang itu-itu juga.

Sungguh hati ini merasa trenyuh! Bagaimana pun juga, dia adalah pensiunan guru SD  tiga tahun yang lalu, tetapi hidupnya kelihatan kurang beruntung. Setiap hari, dia menjajakan citruk dan cireng   ke sekolah-sekolah, bahkan sampai ke perumahan di kecamatan lain.

Apakah gaji pensiunan tak cukup? Ataukah ada hal lain yang membuatnya harus bekerja keras di usia tua? Akankah kami bernasib sama sepertinya saat pensiun nanti?

Pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Kurasakan mataku tiba-tiba berembun...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun