Oleh Neni Hendriati
Tangis bocah itu sangat memilukan. Dia menangis sambil berguling-guling di lantai kelas yang dingin. Semua siswa dan orang tua yang sedang menerima pembagian buku rapor, duduk mematung, heran dengan anak itu.
Ini aneh sekali! Orang lain berduyun-duyun ingin naik kelas, bahkan ada orang tua yang sampai memohon kepada guru, agar anaknya naik kelas! Lha, ini sebaliknya! Feri mau tinggal kelas!
Mungkin hanya satu dari sekian ribu kasus seperti ini terjadi
"Udah dulu nangisnya, Nak! Nanti Ibu ubah rapornya!"
Kudekati Feri, dan kubangunkan dia dari lantai kelas.
Feri menghentikan tangisnya, dia melepaskan diri dari rengkuhanku.
"Feri mau di kelas satu lagi!" katanya di sela isaknya, "Feri mau tinggal kelas!"
Aku menganggukkan kepala.
"Gak akan nyesel nanti?" tanyaku lembut.
"Enggak!" ia menggelengkan kepala
"Gak mau seneng-seneng sama teman sebangku di kelas dua?"
Feri tetap menggelengkan kepala.
"Kalau Feri mau naik ke kelas dua, nanti Ibu kasih hadiah. Oke?"
"Gak mau!" tangisnya meledak lagi.
Aku terkejut, cepat-cepat kupeluk dia.
"Ya, udah, kalau gak mau naik kelas, Feri harus tersenyum. Coba Ibu ingin lihat senyumnya!"
Feri menghentikan tangisannya. Dan dia memaksakan sebuah senyuman.
Kuhapus air matanya, dan aku berjanji untuk menerima dia di kelas satu lagi.
Kuisyaratkan pada Bunda Feri untuk membawanya pulang. Dia adalah orang yang cukup terpandang di kotaku. Kutatap mobil mewah yang ditumpanginya berlalu meninggalkan parkiran sekolah.
Kucermati rapor Feri, nilainya bagus, terutama matematika, bacanya juga sangat lancar, tulisannya jelas terbaca! Sangat memenuhi syarat untuk naik kelas. Tetapi apa daya, kami gagal meyakinkannya, kalau naik kelas itu menyenangkan.
Karena dianggap masalah yang istimewa, Ibu Kepala Sekolah tadi pagi sampai turun tangan. Beliau membujuk Feri, tetapi tak membuahkan hasil.
"Solusinya gimana, ya, Bu?" tanyaku galau, ketika pembagian rapor telah selesai.
"Ya, kita berkordinasi dulu dengan pihak UPTD, agar jelas aturannya, Bu!" jelas Ibu Kepala Sekolah.
Setelah ada petunjuk dari Bapak Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan akhirnya Feri bisa tersenyum lega, dan kembali menjadi murid kelas satu di kelasku.
Dia dianggap murid baru lagi, paling besar di kelas, dan paling bersemangat. Bahkan menjadi ketua kelas saat tahun ajaran baru dimulai.
"Makanya jadi guru jangan terlalu baik, muridnya jadi gak mau naik kelas!" seloroh teman-teman guru di sekolah.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. Mungkin ini bentuk kegagalanku dalam membekali siswa dengan rasa percaya diri dan rasa optimis.
Duh, Feri...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H