"Gak mau seneng-seneng sama teman sebangku di kelas dua?"
Feri tetap menggelengkan kepala.
"Kalau Feri mau naik ke kelas dua, nanti Ibu kasih hadiah. Oke?"
"Gak mau!" tangisnya meledak lagi.
Aku terkejut, cepat-cepat kupeluk dia.
"Ya, udah, kalau gak mau naik kelas, Feri harus tersenyum. Coba Ibu ingin lihat senyumnya!"
Feri menghentikan tangisannya. Dan dia memaksakan sebuah senyuman.
Kuhapus air matanya, dan aku berjanji untuk menerima dia di kelas satu lagi.
Kuisyaratkan pada Bunda Feri untuk membawanya pulang. Dia adalah orang yang cukup terpandang di kotaku. Kutatap mobil mewah yang ditumpanginya berlalu meninggalkan parkiran sekolah.
Kucermati rapor Feri, nilainya bagus, terutama matematika, bacanya juga sangat lancar, tulisannya jelas terbaca! Sangat memenuhi syarat untuk naik kelas. Tetapi apa daya, kami gagal meyakinkannya, kalau naik kelas itu menyenangkan.
Karena dianggap masalah yang istimewa, Ibu Kepala Sekolah tadi pagi sampai turun tangan. Beliau membujuk Feri, tetapi tak membuahkan hasil.