"Bu, maaf, ini Rafi katanya suka dipalak oleh kelas enam!" Bu Nopi tergopoh-gopoh mendatangiku di ruang guru saat jam istirahat.
Dia datang bersama anak laki-laki, yang tinggi kurus, berambut tegak dan sangat familiar. Aku sangat terkejut, karena kelas enam dikenal sebagai kelas yang santun.
Kuperhatikan anak itu, dan kutanya.
"Rafi suka dipalak?" tanyaku ramah.
"Iya, Bu!" anak itu menjawab tegas.
"Sama siapa?"
Sejenak aku teringat pada Andi, yang suka melucu di kelas dan Tino, yang jarang dikasih bekal uang jajan dari rumah.
Ya, saya tahu betul, karena hampir tiap hari anak-anak kutanya.
Kalau kebetulan ada, mereka suka aku beri sekadarnya, biar mereka tidak kelaparan di sekolah, meski sudah sarapan. Lima jam di sekolah sangat melelahkan, ditambah aktivitas anak SD yang tidak mau diam, membuat mereka cepat lapar dan haus.
"Berapa yang diminta?" tanyaku.
"Seribu, Bu!"
"Sudah berapa kali?"
"Dua kali!"
"Apa mereka memaksa?"
"Tidak!"
"Kenapa dikasih?"
"Itu, Bu, kalau istirahat mereka bilang "cebu-cebu", jadi aku kasih seribu!" Rafi tesipu.
"Rafi berapa uang bekalnya?"
"Sepuluh ribu!"
"Wah, banyak amat!" ujarku. Anak kelas enam rata-rata bekal uang lima ribu rupiah saja. Beberapa di antara mereka hanya membawa dua ribu rupiah, bahkan ada yang tidak sama sekali.
"Sebentar, kita panggil dulu Andi dan Tinonya, ya!" aku beranjak hendak memanggil mereka.
"Biar saya saja, Bu!" Bu Nopi bergegas keluar.
"O, ya, makasih, Bu!"
Tak lama kemudian, kedua anak itu datang.
Langsung saja kutanya sambil tertawa untuk mencairkan suasana yang kaku.
"Ada apa antara Andi, Tino dengan Rafi, ya?"
Andi menatapku dengan heran.
"Gak ada apa-apa, Bu. Tadi Rafi ngasih seribu ke saya dan Tino!"
Aku mengangguk-angguk senang, Andi tak berbelit-belit.
"Kamu gak minta?"
"Gak, Bu. Langsung dikasih!" kata Andi dan Tino dengan yakin.
"Tapi kan kemarin bilang cebu, jadi tadi saya kasih seribu!" Rafi membela diri.
"Udah berapa kali minta cebu?" tanyaku.
"Dua kali, Bu!" Andi dan Tino serempak.
"Mana uangnya sekarang?"
"Habis, dipakai jajan, Bu!"
"Menurut Andi dan Tino, bagus, engggak, minta uang sama orang lain?"
"Enggak, Bu!" Andi dan Tino menggeleng.
"Bagaimana penyelesaiannya?" tanyaku ingin tahu sejauh mana rasa tanggung jawab mereka.
"Minta maaf, dan saya ganti uangnya, Bu!" Andi mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari saku bajunya.
"Ini Rafi, saya ganti dua ribu!"
Rafi menerima uang itu, dan memberi uang kembalian sebesar tiga ribu rupiah.
"Kalau Tino bagaimana?"
"Nanti saya cicil, Bu!" ujarnya pelan. Kepalanya menunduk.
Serasa ada yang mengiris di hati, tak tega mendengar kata-katanya. Tino patut diberi sebetulnya. Tetapi demi mendidiknya, saya kuatkan hati untuk mendukungnya.
"Bagus, Tino, cicillah jika sudah ada, ya," kuusap punggungnya, menguatkan hatinya.
Mereka pun islah dan bersalaman. Disaksikan para guru, Andi dan Tino berjanji untuk tidak memalak lagi.
Kupandangi mereka. Dalam hati, aku berjanji untuk lebih memperhatikan mereka, terutama Tino. Takkan kubiarkan dia kelaparan di sekolah, yang membawanya kepada perbuatan tak terpuji.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI