Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Kamu Memalak, Nak?

19 November 2022   06:25 Diperbarui: 19 November 2022   06:30 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bu, maaf, ini Rafi katanya suka dipalak oleh kelas enam!" Bu Nopi tergopoh-gopoh mendatangiku di ruang guru saat jam istirahat.

Dia datang bersama anak laki-laki, yang tinggi kurus, berambut tegak dan sangat familiar. Aku sangat terkejut, karena kelas enam dikenal sebagai kelas yang santun.

Kuperhatikan anak itu, dan kutanya.

"Rafi suka dipalak?" tanyaku ramah.

"Iya, Bu!" anak itu menjawab tegas.

"Sama siapa?"

"Sama Andi dan Tino!"

Sejenak aku teringat pada Andi, yang suka melucu di kelas dan Tino, yang jarang dikasih bekal uang jajan dari rumah.

Ya, saya tahu betul, karena hampir tiap hari anak-anak kutanya.

Kalau kebetulan ada, mereka suka aku beri sekadarnya, biar  mereka tidak kelaparan di sekolah, meski sudah sarapan. Lima jam di sekolah sangat melelahkan, ditambah aktivitas anak SD yang tidak mau diam, membuat mereka cepat lapar dan haus.

"Berapa yang diminta?" tanyaku.

"Seribu, Bu!"

"Sudah berapa kali?"

"Dua kali!"

"Apa mereka memaksa?"

"Tidak!"

"Kenapa dikasih?"

"Itu, Bu, kalau istirahat mereka bilang "cebu-cebu", jadi aku kasih seribu!" Rafi tesipu.

"Rafi berapa uang bekalnya?"

"Sepuluh ribu!"

"Wah, banyak amat!" ujarku. Anak kelas enam rata-rata bekal uang lima ribu rupiah saja. Beberapa di antara mereka hanya membawa dua ribu rupiah, bahkan ada yang tidak sama sekali.

"Sebentar, kita panggil dulu Andi dan Tinonya, ya!" aku beranjak hendak memanggil mereka.

"Biar saya saja, Bu!" Bu Nopi bergegas keluar.

"O, ya, makasih, Bu!"

Tak lama kemudian, kedua anak itu datang.

Langsung saja kutanya sambil tertawa untuk mencairkan suasana yang kaku.

"Ada apa antara Andi, Tino dengan Rafi, ya?"

Andi menatapku dengan heran.

"Gak ada apa-apa, Bu. Tadi Rafi ngasih seribu ke saya dan Tino!"

Aku mengangguk-angguk senang, Andi tak berbelit-belit.

"Kamu gak minta?"

"Gak, Bu. Langsung dikasih!" kata Andi dan Tino dengan yakin.

"Tapi kan kemarin bilang cebu, jadi tadi saya kasih seribu!" Rafi membela diri.

"Udah berapa kali minta cebu?" tanyaku.

"Dua kali, Bu!" Andi dan Tino serempak.

"Mana uangnya sekarang?"

"Habis, dipakai jajan, Bu!"

"Menurut Andi dan Tino, bagus, engggak, minta uang sama orang lain?"

"Enggak, Bu!" Andi dan Tino menggeleng.

"Bagaimana penyelesaiannya?" tanyaku ingin tahu sejauh mana rasa tanggung jawab mereka.

"Minta maaf, dan saya ganti uangnya, Bu!" Andi mengeluarkan uang lima ribu rupiah dari saku bajunya.

"Ini Rafi, saya ganti dua ribu!"

Rafi menerima uang itu, dan memberi uang kembalian sebesar tiga ribu rupiah.

"Kalau Tino bagaimana?"

"Nanti saya cicil, Bu!" ujarnya pelan. Kepalanya menunduk.

Serasa ada yang mengiris di hati, tak tega mendengar kata-katanya. Tino patut diberi sebetulnya. Tetapi demi mendidiknya, saya kuatkan hati untuk mendukungnya.

"Bagus, Tino, cicillah jika sudah ada, ya," kuusap punggungnya, menguatkan hatinya.

Mereka pun islah dan bersalaman. Disaksikan para guru, Andi dan Tino berjanji untuk tidak memalak lagi.

Kupandangi mereka. Dalam hati, aku berjanji untuk lebih memperhatikan mereka, terutama Tino. Takkan kubiarkan dia kelaparan di sekolah, yang membawanya kepada perbuatan tak terpuji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun