Serumah tapi tidak sejiwa? Bagaimana ceritanya bisa serumah tetapi tidak sejiwa? Tinggal dalam satu rumah tapi jiwa-jiwa tidak saling berkoneksi. Secara logika aneh saja, tapi faktanya banyak rumah tangga yang kondisinya seperti ini.
Makan bersama, status suami isteri, status anak, tapi berjarak. Teman yang jauh di sana serasa dekat karena gadget, tapi suami isteri yang duduk berdekatan tapi serasa menjauh.
Begitu persoalan yang dikupas oleh Ustadz Fatih Karim dalam kajian muslimah bertajuk "Serumah tapi Tak Sejiwa", Kamis 14 Desember 2023, di Masjid Al Ihsan Permata Depok, Pondok Jaya, Kota Depok, Jawa Barat.
Kajian ini diselenggarakan oleh Majelis Taklim Al Ikhlas sektor Pirus bekerjasama dengan Majelis Taklim Al Ihsan Permata Depok. Dihadiri muslimah warga Permata Depok dan warga sekitar Permata Depok.
Ustadz melanjutkan persoalan "serumah tapi tak sejiwa" semakin banyak terlihat ke permukaan. Ia mengambil contoh kasus yang menghebohkan dan menguras emosi masyarakat baru-baru ini.
Bagaimana bisa seorang ayah membunuh empat anaknya yang masih kecil-kecil? Seorang ayah yang seharusnya melindungi anak-anaknya? Peristiwa ini sendiri terjadi di Jagarkarsa, Jakarta Selatan.
Peristiwa memilukan yang terjadi saat di rumah. Bayangkan di rumah! Rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman ketika pulang atau tempat nyaman saat bersandar. Bagaimana ini bisa terjadi?
Atau peristiwa memilukan lainnya yang terjadi di Malang, Jawa Timur. Satu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, seorang anak berusia 12 tahun bunuh diri. Dan, kejadian tragis itu pun lagi-lagi terjadi di rumah!
Menjadi pertanyaan bagaimana bisa seorang ayah yang notabene seorang guru yang dinilai banyak orang sebagai sosok yang ramah dan taat beribadah bisa mengambil jalan pintas mengakhiri hidup bersama isteri dan anaknya?
Ada juga kasus lainnya yang menimpa jamaahnya. Seorang perempuan berstatus isteri, yang telah menikah selama 17 tahun, dan mendapati suaminya berselingkuh! Selingkuh dengan seorang lelaki, bukan seorang perempuan! Betapa hancur hatinya.
Kasus lainnya, ada seorang isteri sebulan setelah menikah menggugat cerai suaminya karena ternyata suaminya hanya bergaji Rp3 juta.
Ada juga kasus seorang suami membunuh isterinya yang kemudian dicor di dalam rumah. Setelah tiga tahun kemudian baru diketahui orang yang dinyatakan hilang itu telah dibunuh oleh suaminya sendiri.
"Ini real Bu. Bukan di Amerika tapi di Indonesia," ucap Founder Cinta Quran Foundation ini.
Menurut ustadz, kasus-kasus tersebut hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus. Menjadi pertanda "sejiwa tapi tak serumah". Salah satu cirinya adalah kurang atau tidak adanya komunikasi antara suami dan istri, juga dengan anak-anak atau anggota keluarga lainnya.
"Rumah tangga yang jarang ngobrol itu ciri-ciri jiwanya sudah mulai ngga sama. Ciri lainnya yaitu tingginya tingkat ketidakpedulian dan kesedihan yang terjadi di dalam rumah tangga. Mereka berumah tangga untuk saling menyakiti," tegas Ustadz Fatih.
Fisik saling berdekatan tapi jiwa saling berjauhan karena pikiran lebih kepada orang di luar rumahnya. Salah satunya lewat gadget. Pada faktanya mereka memang anggota keluarga, tapi ketika hati tidak terpaut, jiwa tidak terikat, maka terjadilah "serumah tapi tak sejiwa".
Suami yang tidak memiliki perasaan yang kuat terhadap istri sebatas hanya untuk pelampiasan syahwat. Sebagian besar mungkin laki-laki saat pulang memandang istrinya lebih kepada objek pelampiasan syahwat.
Tapi untuk kebutuhan emosional ternyata jiwa sudah terputus dari interaksi dengan pasangannya, dan beralih kepada orang lain. Seorang istri kecewa lahir dan batin pun melayani suami sebatas hubungan "transaksional" karena tidak memiliki keuangan secara personal.
Demikian juga anak-anak yang tidak memiliki kesejiwaan khusus dengan orangtuanya, yang lebih asyik kepada orang lain. Anak-anak yang tertutup, jarang bicara atau ngobrol.
Banyak orangtua yang terkaget-kaget mendapat laporan bahwa anaknya begini, anaknya begitu. Tiba-tiba didapatinya anaknya hamil di luar nikah, melahirkan saat ujian di sekolah, dibawa kabur dengan lelaki tidak bertanggung jawab, dan banyak lagi kasus lainnya.
Suami istri saja yang sudah mulai saling memproteksi handphone ini sesuatu yang menunjukkan sudah tidak ada kesejiwaan. Jiwa tidak saling terkoneksi, hilang dan membuat komunikasi menjadi semakin buruk.
Ketika orang merasa kebutuhannya tidak dipenuhi di dalam rumahnya, merasa  keluarga tidak mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pokoknya, di situlah muncul "peluang" orang melarikan diri.
"Maka penting bagi kita untuk mempelajari betul bagaimana sejatinya mewujudkan rumah tangga yang serumah dan sejiwa," tandasnya.
Penyebab dan solusi
Ustadz menyebutkan kondisi terjadinya "serumah tapi tak sejiwa" faktor utamanya lebih karena kurang atau tidak adanya komunikasi antara suami, isteri, maupun dengan anak. Ya sangat disayangkan jika di dalam rumah tangga tidak ada komunikasi sama sekali.
"Semua berawal dari tidak adanya komunikasi. Sudah tidak pernah ngobrol. Padahal, 97 persen pernikahan itu diisi dengan ngobrol, ngobrol antara suami ister dengan anak. Bayangkan kalau sudah tidak ngobrol! Akhirnya ngobrol sama orang lain," kata Ustadz.
Di dalam Alquran sendiri Allah berkali-kali berkata "qola" yang berarti ada komunikasi. Nabi Muhammad dengan isterinya komunikasi, Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail komunikasi, Nabi Musa berkomunikasi dengan Allah ya ngobrol.
"Ibu ngobrol didengerin seneng nggak? Sama, saya juga ngobrol kalau didengerin ya senang. Kalau ada suami, atau isteri atau anak ngobrol ya dengarkan dengan baik karena itu merasa dihargai," ucapnya.
"Serumah tapi tak sejiwa" selain karena tidak ada komunikasi, juga karena tidak ada canda tawa di rumah. Rumah juga sudah dianggap bukan tempat yang nyaman untuk pulang atau bermain. Ciri-cirinya ya jadi tidak betah di rumah.
Karena itu, suami isteri harus bangun komunikasi segitiga dengan Allah. Allahlah yang menguasai hati hamba-hambaNya. Maka saling berkomunikasi agar Allah saling mentautkan dua hati yang sudah terikat dalam tali pernikahan.
"Semakin dekat dengan Allah, maka semakin kuat hubungannya. Makin jauh dari Allah, maka makin hancur rumah tangga kita. Maka solusinya, bangun komunikasi dengan Allah. Coba biasakan puasa Senin - Kamis bareng, buka puasa bareng, shalat tahajud bareng, ikut kajian bareng," tutur Ustadz.
Ustadz juga menyarankan orang tua untuk sering-sering memeluk anak. Ketika orangtua memeluk anaknya ada hormon kebahagiaan yang keluar dari tubuh anak. Anak yang tidak sering mendapatkan pelukan dari orangtuanya biasanya akan mencari pelukan dari orang luar.
"Kami bersama pakar-pakar rumah tangga melakukan survey acak anak-anak perempuan usia remaja yang bandel-bandel. Ada yang ditindik, matanya ditato, hamil di luar nikah, yang murtad, dan macam-macam," ungkap Ustadz.
Ternyata apa kesimpulannya? Sembilan dari 10 anak perempuan hancur di luar karena punya hubungan buruk dengan bapaknya. Karena anak perempuan itu cinta pertamanya adalah ayahnya. Ayahlah yang menjadi penunjuk arah, tempat mengobrol, tempat berbagi.
"Faktanya, apa yang diharapkan tidak didapatkan dari ayahnya. Ayahnya mirip kanebo kering, kaku. Jadi rumah ini sudah problem," tukasnya.
Seperti halnya lagu Indonesia Raya "bangunlah jiwanya, bangunlah raganya", maka solusi dari "serumah tapi tak sejiwa" adalah dengan membangun jiwa terlebih dahulu, kemudian membangun fisik. Selama ini yang ia lihat dalam membangun rumah tangga lebih diutamakan membangun fisik.
"Ibu tahu masjid Nabawi? Awalnya masjid nabawi itu terbuat dari pelepah-pelepah korma tapi Madinah bisa menaklukkan Persia dan Romawi karena rasullullah membangun jiwa para sahabatnya," kata ustadz.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H