Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pengalaman Naik Pesawat Terbang dalam Keadaan Hamil, Begini Prosedurnya

6 Juli 2023   09:02 Diperbarui: 7 Juli 2023   01:50 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perempuan melahirkan bayi pada saat perjalanannya dari Jakarta menuju Surabaya di atas pesawat Pelita Air pada Selasa 27 Juni 2023. Syukurlah bayi terlahir dengan selamat meski proses kelahirannya bukan ditangani oleh tenaga kesehatan. 

Usut punya usut, ternyata si ibu tidak jujur kepada pihak maskapai perihal kehamilannya. Terlepas dari jujur atau tidaknya, seharusnya pihak bandara sudah bisa "membaca" seseorang dalam keadaan hamil atau tidak. Teknologi juga semakin canggih. 

Saya jadi teringat 17 tahun silam ketika saya hamil anak pertama dengan usia kandungan 36 minggu tetapi harus terbang ke Surabaya, Jawa Timur. Kebetulan, saya mendapatkan penugasan untuk menghadiri suatu kegiatan pameran di sana.

Waktu saya mendapatkan penugasan ini, saya tidak menolak. Saya memang tipe orang yang suka travelling, terlebih jika semua akomodasi ditanggung pihak pengundang hahaha...kan lumayan tuh sambil menyelam minum air. Bekerja sambil refreshing. 

"Tapi Mbak, saya lagi hamil 36 minggu, apakah nanti tidak bermasalah saat pemeriksaan di bandara?" tanya saya. Karena setahu saya, perempuan hamil tidak diperbolehkan untuk menaiki pesawat. Dan, ini pertama kalinya saya naik pesawat dalam keadaan hamil.

"Wah, sudah termasuk hamil tua itu ya. Begini aja, Mbak konsul dulu ke dokter yang biasa periksa kandungan Mbak, nanti tanyakan apakah aman terbang? Kalau diperbolehkan, nanti bawa surat rekomendasi dari dokternya ya," katanya. 

"Ok, Mbak," ujar saya.

Keesokan harinya, saya pun konsul ke dokter kandungan di RS Hermina Depok. Kebetulan memang jadwal kontrol juga. Dokternya perempuan berhijab yang ramah dan murah senyum. Namanya, dr. Mutia Prayanti, Sp.OG. (Waktu pertama kali kontrol saya sempat ditanya petugas administrasi apakah saya ingin ditangani oleh dokter perempuan atau ditangani dokter laki-laki juga tidak apa-apa? Saya bilang dokter perempuan saja).

Setelah diperiksa-periksa, kandungan saya dinyatakan baik-baik saja. Lalu saya bertanya apakah saya aman-aman saja jika naik pesawat terbang? Dokter bilang aman. Tidak masalah. Saya lalu dibekali surat keterangan dokter yang menyatakan saya aman untuk terbang. Alhamdulillah. Lega saya.

Saya menyampai hal ini kepada pihak pengundang. Karena sudah mengantongi surat dokter, saya pun dipesankan tiket dengan pesawat Garuda Indonesia Airways. 

Beberapa hari kemudian, hari keberangkatan saya ke Surabaya. Sesampainya di Bandara Soekarno Hatta, saya pun diperiksa-periksa oleh petugas. Karena saya hamil, saya pun diarahkan ke loket khusus. 

Di sini, saya ditanya-tanya perihal kehamilan saya. Sudah berapa minggu dan apakah ada surat rekomendasi dari dokter yang menyatakan saya layak terbang? Saya bilang ada. Kemudian saya dibawa ke klinik bandara yang jaraknya agak lumayan juga. 

Di klinik, saya diperiksa oleh petugas kesehatan yang sepertinya ditugaskan oleh Departemen Kesehatan yang terlihat dari seragam yang dikenakannya. Saya tidak tahu apakah dokter kandungan atau umum? Yang jelas tekanan darah saya dan kandungan saya diperiksa untuk menghitung masa kehamilan. 

Alat yang dipakai bukan USG melainkan alat yang menyerupai tabung bambu. Tabung ini ditempelkan di perut saya lalu di ujung tabung dokter menempelkan telinganya. Hasilnya, kandungan saya dinyatakan sehat dan dinyatakan kehamilan saya tidak berpotensi menimbulkan gangguan selama penerbangan nanti. 

Setelah pemeriksaan, ada biaya yang harus dikeluarkan. Kalau tidak salah Rp50.000 (atau di bawah itu?), tapi bukan saya yang bayar melainkan pihak pengundang. Syukurlah saya dinyatakan aman.

Alhamdulillah selama penerbangan, saya tidak mengalami hal-hal yang mengkhawatirkan. Semua baik-baik saja hingga tiba sampai tujuan.

Pulangnya di keesokan hari, saya juga melakukan prosedur yang sama. Mengisi form mengenai kondisi kandungan saya lalu diperiksa oleh petugas kesehatan di bandara. Alhamdulillah, selama perjalanan pulang hingga sampai di rumah semua baik-baik saja.

***

Saat saya hamil anak kedua, saya mendapat penugasan ke Bali. Saya lupa hamil keberapa minggu itu. Tidak beda jauh sih ketika hamil anak pertama. Karena sudah berpengalaman naik pesawat dalam keadaan hamil, jadi saya sudah punya gambaran. 

Alhamdulillah, di kehamilan anak kedua ini dokter kandungan yang memeriksa saya, yang kebetulan dokter yang sama, saya dinyatakan layak terbang. Akhirnya saya pun terbang tanpa kendala. 

Tapi, pulangnya saya sempat tidak boleh terbang oleh petugas yang khawatir jika kandungan saya terjadi apa-apa saat di pesawat. Entah lahiran entah mengakibatkan kondisi-kondisi lainnya. 

Jelas saya menolak. Masa saya harus naik darat yang butuh berhari-hari. Masa saya harus tinggal di sini sampai saya melahirkan? Jauh dari suami, jauh dari keluarga. Sendirian begitu. Masa suami harus menyusul? Berapa biaya yang harus dikeluarkan itu.

Setelah melalui "perdebatan" akhirnya saya pun diperbolehkan terbang. Dengan catatan, jika saya lahiran di pesawat maka saya harus bersedia menanggung biaya kompensasi semisalnya ambulans dan biaya di rumah sakit. Saya pun menandatangani semacam Surat Pembebasan Tanggung Jawab jika kondisi yang tidak diharapkan terjadi.

Saya juga menyatakan kesediaan menanggung "kerugian" semisal pesawat harus balik lagi ke bandara jika kondisi saya butuh penanganan lebih lanjut. Padahal dalam hati, saya ketar ketir juga berapa uang yang harus saya siapkan jika kondisi ini benar-benar terjadi.

Alhamdulillah, selama mengudara kondisi hingga tiba di rumah, kandungan saya baik-baik saja. 

***

Saat saya hamil anak ketiga, saya mendapat penugasan ke Bengkulu. Masih hamil muda, tapi sudah memasuki trisemester kedua. Setahu saya, usia kehamilan ini masih boleh terbang tanpa harus disertai surat keterangan dokter.

Tapi, buat jaga-jaga, saya tetap berkonsultasi dengan dokter kandungan yang buka praktik di komplek tempat tinggal saya. Nama kliniknya, Permata Hati. Dokter yang ternyata praktik juga di RS Hermina Depok. 

Wah senang dong saya ketika mengetahui ada klinik umum dan kandungan yang berada di area komplek rumah. Itu berarti saya tidak perlu repot-repot ke RS. Saya hanya perlu jalan kaki dari rumah sejauh 150 meter. Anggap saja olahraga

Setelah diperiksa, alhamdulillah kandungan saya baik-baik saja. Dokter juga menyatakan aman untuk dibawa terbang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, katanya. Tidak lupa dokter membuat surat yang menyatakan saya layak terbang.

Karena sebelumnya saya sudah pernah terbang dalam keadaan hamil, saya pun tidak terlalu gusar dan degdegdeg-an. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Untuk kehamilan yang ketiga ini saya tidak perlu diperiksa di klinik, cukup dengan menunjukkan surat pengantar dari dokter. 

***
Kapan sebaiknya ibu hamil terbang? Berdasarkan literatur yang saya baca yaitu saat usia kehamilan 14 hingga 27 minggu. Pada usia kehamilan 14 minggu, ibu hamil sudah melewati masa-masa mual dan sudah lebih kuat secara fisik. 

Sebelum usia kandungan mencapai 14 minggu, sebaiknya ibu hamil tidak naik pesawat. Di usia awal kandungan, biasanya ibu hamil masih sering mengalami mual dan pusing, yang bisa menimbulkan gangguan lainnya jika dipaksakan. Risiko keguguran juga lebih tinggi di usia awal kehamilan.

Saat usia kehamilan di atas 36 minggu, ibu hamil tidak lagi diperbolehkan naik pesawat terbang. Jika yang dikandung adalah kembar, maka batasnya menjadi 32 minggu. Batas usia kandungan tersebut diukur dari tanggal penerbangan pulang.

Tips terbang yang mungkin berguna bagi ibu hamil:

  • 1. Sebisa mungkin sebelum keberangkatan cek info seputar rumah sakit atau pertolongan medis di tempat tujuan.
  • 2. Sebaiknya ada pendamping pada hari keberangkatan dan saat penerbangan.
  • 3. Tibalah di bandara lebih awal agar ibu hamil lebih santai ketika melalui proses check-in dan security. Terburu-buru di bandara dapat memicu stress dan itu bukan awal yang baik untuk memulai penerbangan.
  • 4. Beritahu petugas di counter check-in bandara tentang kondisi kesehatan agar mereka dapat mempersiapkan kebutuhan penumpang sebaik mungkin.
  • 5. Pilihlah tempat duduk di dekat gang/aisle agar mudah keluar masuk saat ingin stretching atau ke toilet.
  • 6. Kenakan pakaian yang longgar dan nyaman, sepatu yang nyaman, dan compression stockings.
  • 7. Sebelum pesawat terbang usahakan untuk ke toilet terlebih dahulu. Ini berguna jika ternyata pesawat delay take off namun penumpang sudah tidak diperbolehkan ke toilet atau bolak balik ke toilet.
  • 8. Kenakan sabuk pengaman tepat di bawah perut dan selalu dipakai saat duduk.
  • 9. Perbanyak minum air dan jus. Hindari minuman yang menyebabkan dehidrasi seperti kopi dan teh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun