Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dulu Banget, Ketika KRL Tidak Senyaman Sekarang

1 November 2022   10:13 Diperbarui: 1 November 2022   10:20 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu banget, ketika KRL masih tidak senyaman sekarang. Tempat duduknya bangku yang memanjang, yang pelapisnya compang camping. Robek sana, robek sini. Tergores sana, tergores sini. Ada juga tempat duduknya yang reot, yang kalau bergoyang menderit. Mungkin dia menjerit kesakitan.

Jendelanya kerap susah ditutup. Jika hujan deras, penumpang yang duduk dekat jendela seketika berdiri. Saat berdiri, tempat duduk pun dibasahi oleh cipratan air hujan. Ada juga yang tetap duduk karena "berlindung" dari penumpang yang berdiri.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Ketika pintu-pintu gerbong tidak bisa ditutup. Entah karena efek ulah penumpang yang kerap mengganjalnya atau karena ada penumpang yang duduk di pintu gerbang.

Ketika hujan, gerbong kereta kerap mengalami bocor di sana sini. Karena tidak ada tempat berpijak lagi, maka penumpang pun pasrah. Membiarkan bajunya basah. Mau bagaimana lagi?

Beruntung kalau terjadinya di siang hari, yang kondisi penumpangnya tidak ramai. Beberapa penumpang, termasuk saya, memakai payung di dalam gerbong agar tidak terkena tetesan air. Ada juga yang berpindah tempat duduk mencari yang aman dari cipratan air hujan.

Jika kondisi ramai dan disesaki penumpang, maka siapkan fisik karena untuk berpijak saja susah. Jangankan untuk berdiri, untuk berpegangan juga sulit. Terkadang tubuh terdorong dan terhempas.

Untuk membuktikan tulang kuat sepertinya tidak perlu minum susu tinggi kalsium penguat tulang. Berjibaku dengan sesaknya penumpang bisa dijadikan latihan membentuk tulang kuat.

Ada kejadian yang sering saya alami. Saya berdiri entah di gerbong berapa, eh saya ke luar di gerbong berbeda karena terdorong penumpang. Pas mau turun saya jatuh terjerembab. Untung tidak terinjak-injak. Nah, kan sudah jatuh saja masih dibilang untung.

Biasanya, ketika melihat penumpang lain akan turun, ada aba-aba "ganti formasi". Maksudnya, meminta penumpang untuk berganti posisi berdiri, berpindah ke pijakan yang memungkinkan untuk memberi jalan penumpang yang akan turun. Namun, terkadang aba-aba tidak berlaku ketika penumpang begitu padat.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Para penjual berlaku lalang menawarkan jajanan. Ada yang jual makanan, minuman, mainan anak-anak, buah, pakaian anak-anak, dan ada juga yang jual perabot rumah semacam kursi bambu, lemari baju. Alamakkk, mirip di pasar.

"Yang haus, yang haus," teriak penjual sambil menenteng dagangan yang tersimpan di ember besar, ember bekas cat.

"Kacang, kacang... Kacang, kacang..." teriak pedagang yang lain di belakangnya sambil membawa dagangan yang dikemas menggantung dalam kaitan.

"Yang sayang anak, yang saya anak," seru penjual mainan seraya memainkan salah satu mainan. Tangannya menenteng  beragam mainan.

"Yang lapar, yang lapar... Lontong, lontong.  Tahu... tahu...," timpal pedagang lainnya.

Riuh.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Banyak sampah berserakan. Jorok. Ketika banyak penumpang membuang sampah sembarang. Sampai saya bergidik melihatnya. Sampah bungkus permen, lontong, air mineral, tisu, makanan kemasan, dan banyak lagi.

Memang ada yang membersihkan, yang tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Karena sampah-sampah yang disapu oleh pengemis itu, dibuang ke luar melalui pintu gerbong yang terbuka. Dan, tidak ada satu pun yang mengingatkan, termasuk saya. Mungkin karena berpikir orang itu membutuhkan uang.

Pengemis penyapu ini bagaikan parade. Berlalu pengemis yang satu, muncul pengemis yang lain dengan "modus" yang sama. Belum lagi pengemis-pengemis dengan modus yang lain.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Ketika pemandangan penumpang naik di atas kereta menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada ketakutan. Justru yang terlihat senyum mengembang. Ada canda, ada tawa.

Menjadi kengerian, ketika beberapa kali saya melihat penumpang di atas atap kereta tewas tersengat listrik. Terlihat percikan api.  Tubuhnya terbakar. Hangus. Korbannya, ada yang berjenis kelamin pria, ada juga yang berjenis kelamin perempuan. Mirisnya, perempuan muda itu tengah hamil. Tidak terbayang, buat apa mencari mati di atap kereta. Seorang perempuan, dan hamil pula.

Dampaknya, perjalanan kereta pun tersendat, tertunda. Perjalanan ke tempat kerja atau ketika pulang ke rumah pun menjadi terlambat. Menguras emosi, waktu, dan tenaga.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang, yang setiap pagi dan sore menjelang malam dipenuhi penumpang, dan ketika itu terjadi kebakaran di salah satu gerbong. Persis di belakang gerbong yang saya naiki.

Penumpang berhamburan, melompat. Ada kepanikan. Saya juga sempat panik, tapi akhirnya saya menenangkan diri. Saya teringat dengan kata-kata yang entah siapa yang mengucapkan, bahwa "jangan panik jika terjadi kepanikan. Jika ikut panik yang ada malah celaka".

Mengingat kata-kata itu, saya duduk, menenangkan diri sambil melihat orang-orang yang berhamburan karena panik. Syukurlah, dalam waktu yang tidak begitu lama, keadaan bisa terkendali. Perjalanan kereta pun dilanjutkan. Mungkin, jika saya ikut panik, bisa jadi saya jatuh dan terluka.

Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang, yang kondisinya masih sama ketika saya punya anak. Membawa anak kecil jelas sesuatu yang riskan, terlebih jika dalam keadaan padat penumpang.

Ketika itu, tidak ada yang menjaga anak saya. Kebetulan si Mbak tidak masuk karena sakit. Dan, kebetulan juga ibu saya dalam keadaan kurang sehat sehingga tidak bisa saya titipi anak saya. Jadi, mau tidak mau saya pun membawa anak saya kerja.

Nah, saat pulang, kereta penuh sesak, dan ketika akan turun di Stasiun Citayam, susah hingga akhirnya terbawa ke stasiun berikutnya. Saya menenangkan anak saya yang terlihat panik dan mau menangis. Mungkin dia shock melihat pemandangan yang tidak biasa. Ya anak sekecil itu pastilah kaget dan terkejut. Maklum, posisi sudah berdiri bersiap turun tapi tersikut, terdorong.

Saya akhirnya turun di stasiun dengan kondisi yang benar-benar aman dan nyaman buat anak saya. Terus naik kereta lagi menuju Depok. Tidak usah beli tiket lagi.  Kalau ada pemeriksaan tinggal bilang saja ke petugas, stasiun yang dituju terlewati.

Itu dulu. Duluuuu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun