"Yang haus, yang haus," teriak penjual sambil menenteng dagangan yang tersimpan di ember besar, ember bekas cat.
"Kacang, kacang... Kacang, kacang..." teriak pedagang yang lain di belakangnya sambil membawa dagangan yang dikemas menggantung dalam kaitan.
"Yang sayang anak, yang saya anak," seru penjual mainan seraya memainkan salah satu mainan. Tangannya menenteng  beragam mainan.
"Yang lapar, yang lapar... Lontong, lontong. Â Tahu... tahu...," timpal pedagang lainnya.
Riuh.
Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Banyak sampah berserakan. Jorok. Ketika banyak penumpang membuang sampah sembarang. Sampai saya bergidik melihatnya. Sampah bungkus permen, lontong, air mineral, tisu, makanan kemasan, dan banyak lagi.
Memang ada yang membersihkan, yang tetap saja tidak menyelesaikan masalah. Karena sampah-sampah yang disapu oleh pengemis itu, dibuang ke luar melalui pintu gerbong yang terbuka. Dan, tidak ada satu pun yang mengingatkan, termasuk saya. Mungkin karena berpikir orang itu membutuhkan uang.
Pengemis penyapu ini bagaikan parade. Berlalu pengemis yang satu, muncul pengemis yang lain dengan "modus" yang sama. Belum lagi pengemis-pengemis dengan modus yang lain.
Dulu banget, ketika KRL tidak senyaman sekarang. Ketika pemandangan penumpang naik di atas kereta menjadi sesuatu yang biasa. Tidak ada ketakutan. Justru yang terlihat senyum mengembang. Ada canda, ada tawa.
Menjadi kengerian, ketika beberapa kali saya melihat penumpang di atas atap kereta tewas tersengat listrik. Terlihat percikan api. Â Tubuhnya terbakar. Hangus. Korbannya, ada yang berjenis kelamin pria, ada juga yang berjenis kelamin perempuan. Mirisnya, perempuan muda itu tengah hamil. Tidak terbayang, buat apa mencari mati di atap kereta. Seorang perempuan, dan hamil pula.
Dampaknya, perjalanan kereta pun tersendat, tertunda. Perjalanan ke tempat kerja atau ketika pulang ke rumah pun menjadi terlambat. Menguras emosi, waktu, dan tenaga.