Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Perubahan Iklim Berdampak Negatif pada Kehamilan dan Bayi dalam Kandungan

13 Oktober 2022   21:30 Diperbarui: 13 Oktober 2022   21:36 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan iklim ternyata berdampak negatif pada kehamilan dan bayi dalam kandungan. Begitu laporan Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2022. IPCC adalah think tank dari PBB untuk perubahan iklim. 

IPCC juga menyampaikan perubahan iklim dan dampaknya sampai saat ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan dan lebih buruk dari yang diperhitungkan. Sudah banyak juga penelitian yang menunjukkan bukti-bukti ini.

Hasil laporan IPCC ini disampaikan oleh Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) Dr Ir Giwo Rubianto Wiyogo M.Pd dalam webinar Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Reproduksi, Kamis 13 Oktober 2022. 

PPI adalah organisasi kemasyarakatan yang peduli pada peningkatan kesehatan ibu hamil, melahirkan, nifas dan kesehatan bayi yang dibentuk pada 1999. Karena itu, PPI menegaskan kesehatan ibu hamil dan janin harus dilindungi dari dampak negatif perubahan iklim.

Webinar ini sendiri adalah hasil kolaborasi PPI, Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). 

Hadir sebagai narasumber Plt Deputi Bidang Klimatologi/Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dr. Ir. Dodo Gunawan DEA, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Dr Adib Khumaidi, Sp.OT, perwakilan PPI Dr Heru P Kasidi, MSc, dan perwakilan FKM UI Prof Dr Budi Haryanto MSPH, MSc.

Sebagai keynote speaker Dekan FKM UI Prof dr Mondastri Korib Sudaryo yang diwakili oleh Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura dan Administrasi Umum Dr Milla Herdayati, SKM.MSi. 

Giwo yang juga Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) menambahkan, perkumpulan profesi seperti FIGO (federasi internasional Ginekologi dan Obstetri) juga sudah memberikan perhatian.

Amerika Serikat sudah menerbitkan Undang-Undang tentang perlindungan ibu dan anak dari dampak perubahan iklim. Hal ini menunjukkan dampak tersebut memang sesuatu yang serius dan menjadi tantangan untuk masa kini dan masa depan.

Sebagian dampak dari perubahan iklim ini, menurut Giwo, sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Meski sudah ada upaya memperbaiki, namun masih harus mendapatkan kontribusi yang besar untuk memberikan dampak yang berarti.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Persoalan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi ini menambah sederet persoalan pembangunan kesehatan yang dihadapi Indonesia. Dan, ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

Angka Kematian Ibu (AKI) saja saat ini masih nomor 5 tertinggi di ASEAN, dengan separuh ibu hamil menderita anemia dan sepertiga ibu hamil masih mengalami kurang energi kronis.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu mencapai 4.627 jiwa pada 2020. Angka tersebut meningkat 10,25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang "hanya" 4.197 jiwa.

Jumlah kematian ibu di Jawa Barat tercatat paling banyak, yakni mencapai 745 jiwa pada 2020. Tentunya masalah ini akan semakin besar jika tidak kita tangani sedini mungkin.

Kesehatan neonatal juga, menurut Giwo, belum baik. Indikatornya, angka kematian bayi masih pada angka 19,5/1.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian neonatal masih pada angka 15/1.000 kelahiran hidup. Stunting pada balita masih berada pada angka 24%. 

"Keadaan ini masih menjadi beban bidang kesehatan di Indonesia. Yang lebih memprihantinkan lagi mereka ini adalah sumber dari calon sumber daya manusia generasi penerus. Padahal, pembangunan kualitas manusia telah ditempatkan sebagai prioritas pembangunan nasional," tukasnya.

Giwo menegaskan dampak perubahan iklim pada kesehatan ibu dan kesehatan reproduksi menjadi perlu untuk dibahas dan diangkat. Mengapa? Karena dampak perubahan iklim ini tidak dapat dikendalikan sampai saat ini dan masih akan berlangsung sampai waktu yang panjang.

Dikatakan, PPI sudah melakukan kajian berupa review literature dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan di dunia untuk menghimpun informasi tentang dampak perubahan iklim. PPI juga melakukan penelitian eksploratif di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Malang.

PPI yang merupakan organisasi dari aliansi Global White Ribbon Alliance (GWRA) -- berkedudukan di Washington D.C., ini juga terus membangun dukungan untuk dapat melakukan analisis data yang lebih besar. Terlebih data tentang masalah ini di Indonesia memang masih sangat terbatas.

Selain fokus pada upaya penurunan AKI sebagaimana menjadi target SDG's 2030, PPI juga berupaya menurunkan angka prevalansi stunting yang ditargetkan oleh Presiden tahun 2024 menjadi 14%. Saat ini, berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting berada di angka 24,4%.

"Saya menyampaikan apresiasi dan terimakasih kepada Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang telah bekerjasama dengan PPI untuk mencari jalan, bagaimana masalah dampak perubahan iklim dapat diangkat untuk mendapatkan perhatian dari kita semua," katanya.

Banyak dirasakan kelompok rentan

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura dan Administrasi Umum FKM UI Dr Milla Herdayati, SKM, M.Si, menyampaikan  dampak perubahan iklim banyak dirasakan oleh kelompok rentan, yakni perempuan dan anak-anak.

Menurut dia, perubahan iklim berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi, yaitu pada proses kehamilan, janin, hingga bayi yang dilahirkan.

Perubahan iklim berpengaruh pada frekuensi abortus dan kelahiran prematur yang kejadiannya adalah 20,6 per 1.000 kelahiran hidup dan 6,7 dari 100 kelahiran.

"Ini terjadi di India. Kemudian kejadian autisme di Finlandia dengan risiko sekitar 2,21 dan cacat lahir di China dengan risiko 6,5 sampai 7,18," ungkapnya.

Milla menambahkan, bencana kekeringan juga berpengaruh pada kejadian berat bayi lahir rendah (BBLR) di Bangladesh dan Malawi dengan penurunan sekitar 88,5 gram.

Sementara cuaca ekstrim seperti badai Hurricane juga berpengaruh pada BBLR, kelahiran prematur, fetal distress, fetal death, dan post traumatic stress disorder (PTSD). Ini banyak terjadi di Amerika Serikat, Thailand dan Polandia.

Menurutnya, perubahan iklim tersebut memberikan kontribusi terbesar terhadap kematian ibu dan anak di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Perempuan hamil  termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim, sebab gelombang panas bisa memengaruhi fisiologis kehamilan.

Sementara itu, ibu hamil dan bayi dalam kandungan sangat sensitif terhadap paparan polusi udara dan asap dari kebakaran hutan.

Orang tua dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya lebih rentan terhadap dehidrasi, stres panas, infeksi dan eksaserbasi penyakit jantung dan paru-paru.

Studi lainnya juga menemukan paparan asap dari kebakaran hutan dan lahan menggandakan risiko cacat lahir yang parah.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan kolaborasi banyak pihak, baik pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, industri dan pihak swasta.

Perlu penelitian lebih lanjut

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Meski dampak perubahan iklim terhadap kesehatan menjadi perhatian serius dunia Internasional, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) mengatakan tetap diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kesehatan ibu dan anak di Indonesia.

Dikatakan, perlunya penelitian lebih lanjut tersebut, karena data-data dampak perubahan iklim terhadap kesehatan ibu dan anak hanya berasal dari luar negeri. Kita sangat perlu ada data lokal, data nasional kita sendiri untuk menentukan langkah antisipasi.

"Jangankan antarnegara, antarprovinsi pun berbeda. Ada daerah yang lebih rawan gempa, ada yang lebih rawan banjir. Ini akan membuat sikap kita juga berbeda. Data lokal ini diperlukan untuk memetakan penanganan yang lebih tepat," kata dia.

Menurut dia, hasil penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan ibu dan anak di Indonesia nantinya dapat menjadi dasar langkah-langkah mitigasi yang diperlukan.

Langkah antisipasi pertama yaitu para orang tua agar menyiapkan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak. Contohnya, dengan pemberian imunisasi sesuai jadwal, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta memberikan makanan bergizi.

"Upaya-upaya promotif, preventif di bidang kesehatan ini bisa kita lakukan di samping upaya-upaya mitigasi terhadap perubahan iklim," kata Piprim Basarah Yanuarso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun