Saya termasuk tipe orangtua murid yang membiasakan diri memberikan bingkisan hadiah kepada guru, terutama wali kelas saat pengambilan rapor. Itu saya lakukan dari tiga anak saya di TK, SD, SMP yang sama, dan menyusul di SMA yang sama.
Anak pertama saya, Alhamdulillah naik ke kelas XI. Anak kedua, Alhamdulillah lulus dari SMP dan tengah persiapan melanjutkan ke jenjang SMA, yang diharapkan bisa satu sekolah dengan kakaknya. Anak saya yang ketiga, Alhamdulillah naik ke kelas V.
Jadi, bisa dibilang setiap tahun saya berikan hadiah untuk wali kelas. Hadiah yang saya serahkan ketika mengambil raport. Ini adalah moment yang paling saya tunggu. Karena, saya bisa mengucapkan terima kasih secara langsung kepadanya.
Bagi saya, memberikan hadiah buat guru atau wali kelas, sebagai bentuk ucapan terima kasih saya sebagai orangtua. Bentuk apresiasi saja. Karena berkat jasanya, anak-anak saya bisa sampai sejauh ini.
Saya saja belum tentu bisa mengajarkan anak-anak saya sebaik guru yang mengajarkan. Ya memang ada pepatah "sebaik-baiknya guru adalah ibu". Tapi tetap saja butuh sentuhan seorang guru dalam mentransfer ilmu-ilmu.
Okelah, guru terbaik adalah ibu. Tapi saya bisa apa? Ilmu apa yang bisa saya ajarkan? Kalau membaca, menulis, berhitung, belajar agama, bersosialisasi okelah. Itu mah gampang. Sombongnya, sambil merem juga saya bisa.
Untuk ilmu-ilmu yang lain bagaimana? IPS, IPA, Matematika, dan lain-lain? Saya kan tidak menguasainya. Materi yang diajarkan juga beda ketika saya usia sekolah. Hasilnya yang ada anak saya malah tambah tidak paham.
Zaman berkembang, ilmu pengetahuan berkembang, tentu saja butuh pengajaran yang disesuaikan dengan zamannya. Dan, itu hanya bisa dipahami oleh guru yang sesuai dengan kompetensinya. Guru yang menguasai ilmunya.
Kan tidak mudah juga guru mengajarkan anak-anak. Saya saja yang orangtua kandang mengalami kesulitan, apalagi guru dengan banyak isi kepala dan karakter yang berbeda. Hanya guru yang punya keahlian, kesabaran, kesungguhan, dan keikhlasan saja yang mampu mengajarkan anak-anak.
Pemberian hadiah ini, kalau menurut saya ya, bukan semacam gratifikasi, karena nilainya tidak sebanding dengan jasa-jasanya. Diberikan juga saat pengambilan rapor.
Jadi, tidak ada imbas yang saya dapatkan. Semisal agar anak saya mendapatkan nilai bagus di rapor atau juara kelas atau naik kelas. Kan, ini tidak. Ini murni hasil upaya anak saya belajar.Â
Guru hanya mengarahkan kalau mau nilainya bagus harus begini. Kalau tidak mau tertinggal kelas harus begitu. Kalau mau juara kelas harus begini, begitu. Selanjutnya bagaimana, ya kan tergantung anak didik.
Selain itu, guru atau wali kelas juga tidak tahu kalau saya (dan orangtua murid lainnya) akan memberikan hadiah. Karena memang tidak ada imbauan atau anjuran yang tersampaikan dari mulut wali kelas.
Hadiah yang saya berikan juga bukan barang mahal, yang harganya tidak sampai menguras isi dompet saya. Sangat tidak memberatkan saya. Seperti kue, penggorengan anti lengket, tas punggung, tas perempuan, tas laptop, travel bag, alat kosmetik, sembako, baju batik, kain batik.
Untuk barang elektronik seperti televisi dan rice cooker, baru kali ini saya berikan buat wali kelas anak pertama dan kedua saya. Itu juga bukan dapat beli, tetapi hadiah dari lomba penulisan yang saya juarai. Hadiah yang masih tersimpan dan belum digunakan.
Rice cooker saya berikan khusus untuk wali kelas anak pertama saya. Saya memang harus perlu mengucapkan terima kasih kepadanya secara langsung. Jadi, saya pun menjumpainya di sekolah pada Senin lalu, dua hari setelah pengambilan rapor.
Memang sih saat pengambilan rapor pada Sabtu 25 Juni 2022, suami yang ambil karena saya masih ada agenda kegiatan di Bandung, Jawa Barat.Â
Karena biasanya yang mengambil rapor itu saya, jadi seperti ada yang hilang jika bukan saya yang ambil. Jadi, saya merasa perlu berjumpa dengan wali kelas.
Karena berkat kesabaran dan perhatiannya, anak pertama saya bisa naik kelas. Bagi saya, ini adalah suatu pencapaian luar biasa anak saya dibandingkan semester awal.Â
Itu sebabnya, saya juga mengucapkan terima kasih kepada anak saya karena berhasil melaluinya. Berhasil membuktikan bahwa anak saya bisa menunjukkan "prestasinya".
Pada semester pertama, anak saya ini tidak ada semangat untuk sekolah, malas mengerjakan tugas, dan banyak "bolos". Entah, sudah berapa kali wali kelas menyampaikan ketertinggalan anak saya dalam mengerjakan tugas-tugasnya.
Tidak hanya itu. Anak saya menarik diri dari pergaulan. Mengurung diri di kamar dan tidak mau bertemu atau berkomunikasi dengan teman-temannya atau siapa pun selain keluarga. Teman dekatnya saja diabaikan.
Jelas saya khawatir karena tentu saja akan berpengaruh pada nilai rapor dan kehidupan sosialnya. Jika kondisi ini tidak berubah tentu akan berpengaruh pada naik tidaknya anak saya ke jenjang kelas berikutnya. Dan, tentu saja saya tidak ingin hal itu terjadi.
Kata wali kelas ada dua siswa di kelas yang menjadi catatan dirinya dan para guru lainnya. Yaitu anak saya dan satu siswa perempuan. Kedua ini "sepaket". Sering dipanggil guru BP dan kerap mengabaikan tugas-tugas.
Saya lalu berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater. Katanya, kondisi anak saya begitu bisa jadi karena tekanan selama mengikuti pembelajaran jarak jauh atau PJJ atau belajar online. Kesehatan mental anak saya terganggu karena penerapan belajar dari rumah.
Katanya, kondisi yang dialami anak saya, juga banyak dialami para pelajar lainnya. Ada yang mengalami gejala depresi dan kecemasan. Selama pandemi, sebagian besar yang berkonsultasi karena faktor belajar secara online. Banyak siswa yang stress.
Masa sih? Kenapa dua adiknya (sepertinya) biasa-biasa saja? Ya, karena karakter setiap anak berbeda. Tidak bisa disamakan.
Alhamdulillahnya, ketika sekolah menerapkan PJJ terbatas 50 persen, ada perubahan pada anak saya. Mulai rajin ke sekolah meski hanya 2 kali seminggu, meski juga tugas-tugas masih sering diabaikan. Setidaknya, saya melihat ada progres yang lebih baik.
Perubahan semakin terlihat baik ketika PTM diterapkan 100 persen. Rajin sekolah, rajin bertanya kepada teman-temannya mengenai ada tidaknya tugas-tugas sekolah. Kalau ada, ia selalu mengerjakan tugas-tugasnya.
Anak saya juga sudah mulai bergaul bersama teman-temannya. Mengajak teman-temannya bermain ke rumah. Baik teman semasa SMP maupun teman SMA-nya.
Saya mengucapkan syukur, kesehatan mental anak saya berangsur pulih. Sehat secara mental berarti memiliki kualitas hidup yang positif dan dapat beradaptasi dengan baik di rumah, di sekolah, dan di lingkungan.
Melihat kemajuan ini, tentu saja saya perlu mengucapkan terima kasih kepada wali kelas. Ia yang tidak pernah bosan membangkitkan semangat belajar anak saya.
Juga memberikan perhatian dan bimbingannya sehingga anak saya bisa menuntaskan pembelajarannya. Sesuatu yang ia lakukan tanpa berharap imbalan atau hadiah.
Sementara hadiah televisi 14 inchi saya hadiahkan buat wali kelas anak kedua saya. Karena selama tiga tahun ini sudah menjadi wali kelas dari kelas 7 hingga kelas 9. Ketika saya berikan, saya sampaikan ini persembahan dari orangtua murid kelas 9.Â
Kalau diperhatikan, bukan hanya saya saja yang demikian. Tapi banyak juga orangtua murid yang memberikan bingkisan kepada wali murid. Alasannya ya sama dengan apa yang saya kemukakan.
Saya juga memberikan hadiah bukan karena diminta oleh wali kelas. Ini sih murni sebagai bentuk ucapan terima kasih saya sebagai orangtua. Saya sampaikan kepada anak saya, biar paham bahwa jasa guru tidak boleh dilupakan begitu saja.
Pemberian hadiah kepada wali kelas juga terkadang dengan iuran dengan para orangtua murid. Tapi ini tidak memaksa. Bisa ikut iuran, bisa tidak. Tidak ada batas minimal untuk ikut menyumbang. Seikhlasnya.
Tidak hanya wali kelas yang saya perhatikan. Penjaga sekolah pun tidak lupa saya berikan bingkisan. Sama, sebagai ucapan terima kasih saya karena sudah menjaga anak-anak dengan baik. Biar hatinya senang dan merasa dihargai.
Demikianlah pandangan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H