Untuk membuktikan temuan di relief ini, malamnya kami pun diajak ke Omah Mbudur di Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari Taman Wisata Candi Borobudur.
Ini adalah destinasi wisata berupa Kampung UKM yang menampilkan kesenian tari hingga beragam kuliner dan kerajinan tangan.
Omah Mbudur ini menawarkan konsep otentik yang menghadirkan suasana pedesaan. Bangunannya sengaja di desain gaya tradisional Jawa. Pengunjung ke sini bisa juga belajar mengenai budaya lokal dan kelas memasak.
Di sini, kami disambut suara gamelan saat memasuki gapura Omah Mbudur dan tentu saja pemilik Omah Mbudur, Bapak Nuryanto, warga setempat. Seorang seniman pemahat patung dari Magelang yang memiliki usaha kerajinan di Bali.
Sambil bersantap, Pak Nur yang mengenakan pakaian lurik dan jarik, berkisah tentang perjalanan hidupnya dan juga upayanya melestarikan budaya leluhur yang sempat dianggap "gila" oleh para tetangganya.
Aneka makanan disajikan. Uniknya, di tiap meja yang tersaji makanan tersebut ada foto relief yang menggambar jenis pangan yang sama.Â
Itu menunjukkan, jenis makanan yang kami nikmati itu sudah ada sejak ribuan tahun lalu yang masih lestari hingga kini. Termasuk jamu.Â
Banyak yang harus digali
Relief yang terdapat di Candi Borobudur ini banyak. Ada ribuan. Perlu bertahun-tahun untuk bisa mempelajari semua relief itu. Menggali satu relief saja butuh waktu berjam-jam, mungkin juga berhari-hari. Bagaimana dengan ribuan?
Jadi, sangat disayangkan saja jika pemerintah tetap ngotot  menetapkan harga tiket naik ke Candi Borobudur sebesar Rp750.000.Â
Saya bisa pastikan dengan tiket sebesar ini akan membuat orang enggan belajar sejarah kehidupan masa lalu. Padahal, bisa jadi kesadaran untuk mempelajari relief candi mulai tumbuh. Tapi karena terbentur dana, jadi layu sebelum berkembang.Â