Harga tiket masuk ke Candi Borobudur Rp750.000 untuk turis lokal. Sementara untuk wisatawan mancanegara dikenakan tarif 100 dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 1,44 juta.
Meski tarif ini ditujukan untuk mereka yang ingin sampai ke candi, tetap saja memunculkan kegaduhan.Â
Kegaduhan ini muncul karena pengenaan HTM ini dinilai tidak berkeadilan sosial. Ada perbedaan perlakuan. Seperti ada pembagian "kasta". Padahal dalam ajaran agama Budha sendiri tidak mengenal adanya kasta.Â
Candi Borobudur kan candi-nya umat Budha. Sementara Budha mengajarkan semua orang memiliki nilai yang sama. Karena itu, tidak ada sistem kasta yang diakui dalam agama Buddha. Semua dianggap sama.Â
Kan, aneh jadinya. Umat Budha tidak mengenal kasta, lha pemerintah malah akan menerapkan "kasta".Â
HTM Rp750.000 ini juga tidak mencerminkan sila kelima Pancasila "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Apakah itu tidak berarti menciderai nilai-nilai Pancasila?
Memang sih HTM tidak naik. Tetap Rp 50.000 untuk dewasa dan Rp 25.000 untuk anak-anak. Tapi dengan catatan pengunjung tidak bisa naik ke Candi Borobudur. Batasnya hanya sampai kaki atau pelataran candi.Â
Kenaikan tarif juga memang tidak berlaku bagi pelajar. Untuk naik ke Candi Borobudur hanya dikenakan Rp 5.000 saja. Tapi akses bagi pelajar dibagi sebanyak 20-25% dari kuota perhari.Â
Pertanyaannya, bagaimana dengan masyarakat umum? Bagaimana juga dengan umat Budha yang akan bersembahyang di Candi Borobudur, apakah dikenakan tarif yang sama?
Sampai saat ini kan Borobudur masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan dan dijadikan tempat untuk memeringati Tri Suci Waisak setiap tahunnya oleh umat Buddha di Tanah Air.
Apa tidak bisa dikatakan "berkasta" kalau tarifnya sendiri ada pembatasan? Kasarnya, kaum pinggiran hanya sampai pinggiran saja, kaum bawah hanya di bawah saja, kaum atas bisa sampai ke atas.Â
Wisatawan yang ingin menikmati keindahan Candi Borobudur dari atas masa harus merogoh kocek lebih dalam? Berapa banyak uang yang harus dipersiapkan jika mengajak keluarga?
Ini kan jadi tidak adil namanya. Biar adil ya sekalian saja ditutup akses ke candi. Semua orang dilarang naik ke candi. Titik. Terlepas orang tersebut berduit atau tidak berduit.
Jangan mentang-mentang orang tersebut punya duit lantas diperbolehkan naik. Sementara orang yang tidak berduit hanya bisa melihat dari kejauhan. DL. Derita loe sebagai "kasta rendah"? Begitu?Â
Apakah itu tidak akan memunculkan kecemburuan sosial? Si kaya karena membayar mahal jadi boleh naik ke candi, foto-foto, dishare di media sosial, yang akan membuat iri orang lain. Sementara, yang tidak berkecukupan harus menelan ludah?
Tarif mahal akan memicu ketidakadilan dalam menikmati wisata. Hanya orang berduit saja yang bisa menikmati keagungan relief candi.Â
Sementara yang lain untuk berwisata ke Candi Borobudur saja ada yang sampai harus menabung terlebih dahulu. Menyisihkan sebagian uang untuk berwisata ke sini.Â
Kalau untuk bisa naik ke candi harus mengeluarkan Rp750.000 per orang, ya pasti mikirlah. Mending juga buat keperluan lain yang lebih mendesak.
Bagus sih tujuannya demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Juga agar kontur tanah Candi Borobudur tetap terjaga dari beban pengunjung yang berlebih.
Tapi, kalau tujuannya seperti itu ya tidak perlu juga harus dengan menaikkan tarif. Jika memang mau melindungi situs sejarah, batasi pengunjung, ya tegakkan saja aturan.Â
Setop tidak boleh naik ke candi! Cukup sampai pelataran saja. Tidak pandang bulu. Bulu orang kaya, bulu orang miskin, harus diperlakukan sama. Kecuali khusus umat Budha yang akan bersembahyang di sana.
Semua pengunjung yang tidak berkepentingan dilarang naik ke candi atau stupa. Hanya boleh sampai tangga atau pelataran. Foto-foto deh dengan latar Candi Borobudur.Â
Beres kan? Adil kan? Candi Borobudur aman deh dari kerusakan tangan-tangan jahil atau keausan atau kerusakan akibat kunjungan wisatawan.
Kalau cuma begini mah tidak perlu juga harus bayar sebenarnya. Digratiskan saja.
Negara harus menggratiskan. Toh cuma sampai pelataran saja. Dari kejauhan.Â
Bagaimanapun Borobudur itu milik kita semua. Si kaya, si miskin punya kesempatan sama untuk belajar tentang indahnya keberagaman Indonesia.Â
Candi Borobudur adalah wisata budaya, wisata edukasi, bukan wisata komersial. Secara normatif budaya bisa dinikmati semua orang. Â
Sebagai wahana cagar budaya, Candi Borubudur harus menjadi model pendidikan budaya nasional untuk seluruh anak bangsa.Â
Jadi, semua warga boleh masuk Candi Borobudur. Jika dikhawatirkan dapat merusak kelestarian situs dan cagar budaya, semua wisatawan baik nusantara maupun mancanegara, tidak boleh masuk ke candi. Apapun status sosialnya. Sekalipun dia sanggup membayar mahal.Â
Jadi, menurut saya, pemerintah harus meninjau ulang rencana menaikan tarif wisata ke  Candi Borobudur. Karena ini sangat membebani wisatawan. Tidak sejalan juga dengan prinsip pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.
Upaya menjaga kelestarian situs bersejarah ini tidak harus dengan menaikkan tarif. Perbanyak saja petugas yang bisa mengawasi kedisiplinan turis selama berada di area wisata agar kelestarian candi tetap terjaga dengan baik.
Kalau ada yang terbukti melanggar kenakan saja sanksi sosial semisal dengan dihukum membersihkan area Borobudur atau denda sebagai efek jera. Sosialisasikan sanksi ini di papan informasi yang dipasang di banyak titik agar bisa dibaca semua wisatawan.Â
Demikian pandangan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H