Puasa di bulan Ramadan 1443H telah berakhir. Bulan yang juga disebut sebagai bulan tarbiyah atau bulan pengajaran. Banyak sudah mengajari kita.Â
Mulai dari membiasakan beribadah lebih giat, membiasakan diri berpuasa, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya.Â
Puasa Ramadan sendiri adalah bukti dari kontinuitas ajaran agama-agama yang diturunkan Allah sebelum Islam yang dibawa Rasulullah Saw.
Pertanyaannya, apakah setelah Ramadan kita akan terus mempertahankan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut? Ataukah malah sebaliknya?
Bagaimana kita bisa menghadirkan spirit Ramadan di luar bulan Ramadan? Hal inilah yang menjadi pembahasan Webinar Seri V Ramadhan Mubarak 1443, Jumat 29 April 2022 malam.Â
Webinar ini diadakan Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Literasi Sehat Indonesia, Klinik Budhi Pratama, RS. Sandi Karsa Makassar, dan Bakornas LKMI HMI.Â
Dalam pengantarnya, dr. Zaenal Abidin, SH, MH, M.Sc, menyampaikan, berpuasa melatih orang mukmin untuk selalu berprasangka baik kepada Allah dan rasul-Nya, serta kepada dirinya sendiri.Â
Berprasangka baik itu sangat bermanfaat bagi perbaikan kesehatan mental dan fisik dan penyembuhan penyakit.Â
Terkait dengan penyembuhan ini, bukan hanya manusia memilih berpuasa untuk kesehatan dan penyembuhan penyakitnya, bahkan hewan pun lebih sering memilih melakukannya.
Islam tidak hanya mengajarkan puasa wajib Ramadan, yang hanya satu bulan dalam setahun. Islam pun mengajarkan beragam puasa sunnah.Â
Ada puasa sunnah  enam hari puasa Syawal, puasa Ayyamul Bidh yang biasa dilakukan setiap tanggal 13, 14, 15 bulan Hijriyah. Ada puasa Senin - Kamis, ada puasa Nabi Dawud, ada puasa sunnah lain karena tiba-tiba ingin puasa.
Demikian halnya shalat lail, tilawah Alquran, berbuka bersama keluarga, semuanya dapat dilakukan setiap hari di luar Ramadan.Â
Pada akhir ibadah puasa, umat Islam diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Sekalipun manusia terlahir suci, namun tetap saja diperintahkan untuk mengeluarkan zakat pribadi dengan tujuan pensucian diri.Â
"Maknanya adalah untuk membantu memberi makan masyarakat yang kekurangan makan, fakir miskin dan anak yatim," katanya.Â
Di luar zakat fitrah yang diperintahkan di dalam bulan Ramadhan masih ada zakat harta yang wajib dikeluarkan. Ada pula infak dan sedekah.Â
Artinya, dari segi kerinduan akan ibadah sosial pada bulan Ramadhan, Islam pun masih menyediakan jawaban atas kerinduan tersebut di luar Ramadan.
"Semoga segala kebiasaan baik kita baik pola hidup, pola makan, serta ibadah ritual dan sosial, selama Ramdhan dapat kita amalkan di luar Ramadhan," kata Ketua Umum PB IDI periode 2012-2015 ini.
Ramadan dan spirit perubahan
Hadir sebagai narasumber Dr. Taufan Maulamin, SE, Ak., MM, Sekjen Aliansi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Indonesia dan Sekjen Asosiasi Akuntansi dan Keuangan Syariah Indonesia (AAKSI).
"Ketika bulan Ramadhan ada beberapa kewajiban yang harus kita tuntaskan. Pertama, haknya Alquran itu dikhatamkan dua kali dalam setahun," jelas dr. Taufan yang juga Direktur Pascasarjana Institut STIAMI ini.
Artinya, ketika kita dalam bulan Ramadan belum bisa mengkhatamkannya sampai Ramadan yang akan datang, kita punya kewajiban untuk mengkhatamkannya sebanyak dua kali.
Kedua Tadabbur. Ramadan harusnya menjadikan kemampuan intelektual kita, cendikiawanan atau dalam bahasa Alquran disebut ulil albab, itu harus terasah.Â
Kalau bisa harus direset ulang dengan bacaan-bacaan Alquran sehingga pikiran-pikiran yang mungkin tidak paralel dengan Alquran pada Ramadan haruslah diselaraskan dengan nilai-nilai Alquran.Â
"Ramadan akan menjadi bulan yang penuh dengan bacaan Alquran dan bagaimana proses-proses menyelaraskan nilai-nilainya bagi kehidupan sehari-hari," tuturnya.
Menurutnya, momentum Ramadan harus menjadi spirit perubahan pada bulan-bulan berikutnya. Kebiasaan-kebiasaan sepanjang Ramadan haruslah tetap di pertahankan pada bulan-bulan selain Ramadhan.
Seperti membaca Alquran, sholat berjamaah, shodaqoh dan rasa empati kepada sesama. Sehingga ketika hal-hal ini tetap dipertahankan umat muslim akan mampu menjadi umat yang berkemajuan.
Saat ini, terjadi pergeseran nilai dalam keluarga Islam. Banyak ditemukan keluarga yang tidak bisa membaca Alquran. Berdasarkan data sebanyak 65 persen umat Islam tidak bisa membaca Alquran.
Ia pernah mewawancarai calon pegawai dari salah satu PTN keagamaan, ternyata hampir sebagian besar tidak bisa membaca Alquran dengan baik dan benar sesuai tadjwid.Â
Hal ini, menurutnya, sesuatu yang sangat disayangkan mengingat Alquran adalah pedoman hidup kita. Salah membaca, berarti mempengaruhi arti ayat secara keseluruhan.
"Coba para suami dan isteri saling mengetes imcara membaca surat Alfatihah, apakah sesuai tadjwid? Ini penting karena cara membaca Alfatihah salah berarti shalat yang kita kerjakan juga tidak sah mengingat surat Alfatihah wajib dibaca di setiap shalat," tandasnya.
Ia juga menyarankan untuk membiasakan tadarus bersama dengan isteri, suami, anak-anak. Setidaknya, minimal sekali dalam seminggu sehingga ruhaniah terisi tanpa kekosongan.
Seperti halnya ketika baterai hp tinggal sebaris, kita buru-buru untuk menchargenya, sehingga full dan hp pun kembali bertenaga untuk melakukan fungsinya.
"Masa jiwa kita tidak dicharge juga? Padahal jiwa penting untuk menata kehidupan di dunia dan akhirat," tandasnya.Â
Puasa cara hindari berbagai penyakit
Narasumber lainnya, dr. Tirta Prawita Sari, SpGK, yang membahas dari segi kesehatan. Pola makan, Â salah satu upaya menghindari berbagai macam penyakit kronis dan katastropik yang membutuhkan biaya banyak.Â
Stroke, diabetes, jantung dan hipertensi sebenarnya bisa dicegah dengan cara diet atau puasa. Dengan berpuasa, kita melatih eating pattern atau pola makan kita.
Orang dengan obesitas misalnya, mereka memiliki resiko lebih besar menderita penyakit kronis. Adanya hiperinsulinemia akan menyebabkan situasi yang tidak menguntungkan.
Yaitu, gangguan metabolisme glukosa dan beberapa gangguan metabolisme lain seperti, gangguan metabolisme Asam urat, gangguan profil lipid darah/dislipidemia, serta gangguan hemodinamik.Â
Sehingga nantinya seseorang dengan obesitas itu rentan mengidap penyakit-penyakit kronik tersebut. Karena itu, mencegah obesitas berarti mencegah terjadinya penyakit kronis.
Dokter Spesialis Gizi Klinik di RS. Pondok Indah ini mengungkapkan, puasa adalah cara detoksifikasi tubuh yang murah dan mudah. Puasa dapat menyebabkan kadar glukosa darah mengalami penurunan.
"Tubuh pun mengambil cadangan energi lain dalam bentuk lemak atau free fatty acid sebagai sumber energi dan itu baik sebagai upaya membersihkan atau detokfikasi tubuh," terangnya.
Saat berpuasa Ramadan kita diatur untuk berpuasa dalam 13-14 jam dan berbuka setelahnya. Pola ini mirip dengan pola makan-puasa yang baik yaitu intermitten fasting.Â
Ada beberapa contoh intermitten fasting. Seperti, alternate day fasting, puasa berselang seling seperti puasa Dawud. Bedanya, saat hari puasa itu hanya boleh makan 500 kalori, dan hari berikutnya adalah feast day yang boleh dalam jumlah yang kita inginkan tanpa perlu memusingkan kalori.
Ada juga pola The 5:2 diet yaitu, 5 hari tidak berpuasa, 2 hari berpuasa. Kalau dalam Islam bisa kita aplikasikan pada puasa Senin Kamis. Tapi dalam ketentuan ketika berbuka pada hari Senin dan Kamis itu intake kita hanya 500 sampai 1000 kalori, 5 hari lainnya feast day.Â
Kenapa hanya 500-1000 kalori? Ini adalah jumlah kalori minimal yang kita butuhkan sehingga aktifitas dasar tetap bisa kerjakan.
"Badan kita itu menyukai sesuai yang rutin. Karena ada pembiasaan maka harusnya setelah lebaran aktifitas puasa itu harus dikembalikan agar kita masih terbiasa dengan kebiasan puasa, terbiasa untuk pola makan yang sehat," jelas dr. Wita yang juga Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi.
Demikian, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H