Dokter Djoko Widyato menambahkan, MKEK sendiri mencatat setidaknya ada beberapa alasan mengapa dr. Terawan harus diberi sanksi pemberhentian sebagai anggota IDI kepada mantan tim dokter kepresidenan itu.
Kesalahan pertama, dr. Terawan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi etik MKEK yang diberikan pada 2018. Saat itu, dr. Terawan terbukti melanggar etik untuk terapi pasien stroke dengan metode intra arterial heparin flushing (IAHF) atau metode cuci otak.Â
Berdasarkan hasil investigasi Satuan Tugas Kementerian Kesehatan dan juga pandangan berbagai pakar IDI, metode tersebut tidak memiliki bukti ilmiah. Karena itu, terapi untuk pasien tersebut dinyatakan melanggar etik kedokteran.
Kesalahan kedua, yang bersangkutan sudah mempromosikan vaksin Nusantara ke masyarakat, padahal risetnya belum tuntas. Termasuk bagaimana hasil uji klinisnya.
Kesalahan ketiga, ia bertindak sebagai Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI) tanpa melalui prosedur IDI.Â
Terawan juga melalui posisinya sebagai Ketua meminta semua cabang PDSRKI tidak menghadiri acara Pengurus Besar IDI.
Jadi, melihat kesalahan-kesalahan tersebut, maka keputusan pemecatan dr. Terawan dari keanggotaan IDI sudah menjadi keputusan muktamar yang disetujui pemilik hak suara, yaitu 450 cabang IDI.Â
Keputusan pleno ini adalah perwujudan dari aspirasi IDI dari seluruh Indonesia yang diwakili utusan cabang-cabang.
Sesuai dengan AD/ART dan Ortala (organisasi tata laksana) IDI bahwa "muktamar mempunyai kekuasaan dan wewenang mengesahkan pemberhentian tetap anggota IDI".
Dokter Joko Widyarto menyebutkan profesionalisme dokter meliputi tiga komponen. Salah satu komponennya adalah professional attitude atau etika kedokteran.
Sebagaimana bunyi sumpah dokter di kalimat terakhir adalah "saya akan menaati kode etik kedokteran Indonesia". Kode etik kedokteran ini berlaku bagi dokter Indonesia dan dokter di seluruh Indonesia, baik dokter WNI ataupun WNA.