Saya pun datang ke lokasi TPS. Saya mengisi daftar hadir sesuai blok tempat tinggal. Saya lalu diberikan surat suara yang berisi dua kandidat Ketua RT.
Kemudian saya diarahkan untuk memberikan suara di bilik suara (bisa dicontreng, disilang, dicoblos di lembaran area kandidat). Setelah itu, baru deh masukkan ke kotak suara.
Sudah. Prosesnya tidak sampai 5 menit, menurut hitungan saya. Oh iya, yang berhak memberikan suara hanya suami dan istri, atau suami atau istri saja. Suami yang tidak bisa hadir, bisa diwakilkan kepada istrinya. Begitu pula sebaliknya.
Setelah memberikan suara, saya tidak langsung pulang. Tetapi berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Sementara para suami ya dengan golongannya juga hahaha...
Setelah bertahun-tahun membatasi diri berkumpul karena pandemi Covid-19, akhirnya kami memanfaatkan momen ini untuk berkumpul dan bersilaturahmi, sambil menikmati hidangan yang tersaji.
Hingga akhir waktu, setelah direkap ternyata suara yang masuk hanya 62 persen. Sisanya yang 38 persen yang menurut saya cukup banyak, tidak memberikan hak suaranya.
Entah mengapa mereka tidak memberikan suaranya. Masa tidak bisa meluangkan waktu sebentar? Kan tidak sampai 5 menit. Bisa langsung pulang setelah memberikan suara.
Ada yang mencoba menelepon warga yang belum hadir. Menelepon sesuai blok. Misalnya warga Blok A menelepon warga Blok A yang belum hadir. Begitu pula warga Blok B, dan seterusnya. Sayang, tidak ada respon.
Ya sayang saja. Pesta rakyat tingkat RT saja dilewatkan begitu saja. Pesta yang tidak tiap tahun diadakan. Pesta yang hanya bisa dinikmati 5 tahun sekali. Dan, itu diabaikan begitu saja? Sungguh ter-la-lu. Menurut saya.
Bagaimana pun sebagai warga, kita pasti berurusan dengan Ketua RT. Terutama, ketika mengurus administrasi kependudukan atau untuk keperluan lain. Jadi, mana kepeduliannya?