Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Gelombang 3 Covid-19, Lelah Sih, tapi Bukan Berarti Menyerah

8 Februari 2022   21:32 Diperbarui: 10 Februari 2022   21:30 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin, 7 Februari 2022, sore, anak saya yang kecil mulai belajar Alquran secara online. Biasanya, di Masjid Al Ihsan pukul 16.00 - 17.30. Dari Senin hingga Kamis. Jarak masjid cukup dekat dari rumah. 

Guru mengaji sudah menginformasikan perihal perubahan ini. Alasannya, mengantisipasi penyebaran virus Corona Covid-19 varian Omicron. Ok, sebagai orangtua, saya bisa dimaklumi.

Sebenarnya sih belum ada data pasti berapa jumlah temuan kasus positif di lingkungan kompleks tempat tinggal saya. Yang jelas, di lingkungan sektor saya saja, temuan kasus bertambah lagi dari seminggu lalu. 

Baca juga: Warga Kembali Dikepung Covid-19, Gelombang Ketiga?

Per hari ini saja, Selasa, 8 Februari 2022, sudah ada 3 warga dalam satu keluarga yang diinformasikan positif Covid-19. Informasi disampaikan ibu RT di group. Mereka saat ini tengah melakukan isolasi mandiri.

Jika di sektor saya saja ada temuan kasus, bisa jadi di sektor lain ditemukan pula kasus serupa. Di kompleks tempat saya tinggal, selain sektor Berlian, ada sektor Mutiara, Jamrud, Mirah, Safir, Kumala, Pirus, Nilam. 

Jika di satu sektor ditemukan 10 kasus, maka ada sekitar 80 warga. Lumayan banyak juga. Apalagi varian Omicron ini lebih cepat penularannya. 

Baca juga: Efikasi Vaksinasi Covid-19 Menurun, Vaksin Booster Menguatkan Kembali

Mudah-mudahan saja kekhawatiran saya tidak terbukti. Kalau pun ada, sepertinya masih bisa dikendalikan. Setidaknya, di sektor tempat tinggal saya, warga yang positif dilaporkan melakukan isolasi mandiri. 

Saya juga minta si kecil, untuk tidak bermain dulu dengan teman-teman rumah. Tidak usah dulu shalat berjamaah di masjid. Biasanya, menjelang Maghrib dan Isya, teman-temannya menjemputnya untuk shalat berjamaah.

Sepertinya, ancaman gelombang ketiga Covid-19 bukan hanya bualan semata atau isapan jempol. Anak saya yang SD, mulai Senin kemarin kembali menerapkan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) 50 persen. 

Jadi belajar dua kali dalam seminggu. Sesi belajar dibatasi hanya 2 jam. Selebihnya belajar daring. Ya, seperti PTMT sebelumnya. 

Kakaknya yang SMA juga begitu. Sementara kakaknya yang SMP malah masih belajar dari rumah. Entah sampai kapan. Terlebih, dua hari lalu ada satu teman kelasnya yang terkonfirmasi positif setelah swab antigen.

Keluyuran

Sementara itu, kawan saya yang tinggal di wilayah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, bercerita, di lingkungan sekitar rumahnya juga ada beberapa yang terkena Covid-19. Cuma, persoalannya, mereka tetap keluar rumah.

"Ada beberapa anak yang kena Covid, cuek aja pada main sama yang lain. Sama emaknya kagak dilarang. Emak-emak yang lain pada cuek juga tuh. Pakai masker sih emang, cuma bagaimana yak," ceritanya.

Ia menduga, para tetangganya ini sudah menganggap Covid-19 ya sebagai flu biasa. Mungkin sudah pada lelah dan bosan. 

Apakah karena tempat tinggal kawan saya berada di "perkampungan" sehingga pengawasan kurang melekat. Dampaknya para warga juga jadi semakin tidak peduli? Entahlah.

Tidak diperiksa

Teman saya yang lain bercerita, beberapa hari lalu, ketika ia akan ke Yogyakarta naik kereta listrik dari Stasiun Gambir, ia tidak diperiksa-periksa. Tidak ditanya sertifikat vaksin dan identitas. Tidak diminta untuk check in di aplikasi PeduliLindungi.

"Gue perhatiin, yang lain juga begitu. Petugasnya kagak periksa-periksa tuh. Sudah lelah juga kali ya menghadapi Covid-19," kata teman saya yang tinggal di Mampang Selatan, Jakarta Selatan, ini. 

Saya sendiri juga beberapa hari lalu ketika masuk stasiun tidak diperiksa kelengkapan persyaratan perjalanan . Padahal, ada petugas yang standby berdiri dekat scan aplikasi PeduliLindungi. 

Namun, di beberapa stasiun lainnya petugas masih memeriksa kelengkapan persyaratan perjalanan. Masih setia menanti saya mencari-cari foto sertifikat vaksin di galeri hp. Soalnya saya tidak pakai aplikasi PeduliLindungi. Memori hp full.

Beberapa hari lalu saya dan anak-anak juga sempat mampir ke beberapa mall di sekitaran Depok, saya masuk-masuk saja tuh. Tadinya, mau ngetes saja, bakal diperiksa atau tidak. 

Ternyata, petugas keamanan mempersilakan saya masuk begitu saja. Padahal, ada scan QR PeduliLindungi terpajang di depan mall. Apakah hanya sekedar aksesoris?

Baca juga: Susahnya Berburu Ruang ICU Covid-19

Tidak percaya Covid-19 tapi kena

Keluarga kawan saya yang tinggal di sekitar Condet, Jakarta Timur, termasuk yang tidak percaya ada Covid-19. Kawan saya sebenarnya, percaya tapi tidak percaya. Suaminya malah tidak percaya.

Dalam pemikirannya, Covid-19 hanya pesanan asing agar kita panik. Ini hanyalah persaingan dalam perdagangan global. Itu sebabnya, ia sendiri tidak terlalu peduli mengenai prokes.

Ibu kawan saya itu juga tidak percaya dengan adanya Covid-19. Masih sering pergi-pergi. Wara wiri ke sana ke sini. Tanpa protokol kesehatan. Masih sering berkerumun.

Berulang kali sudah saya ingatkan untuk diam-diam saja di rumah. Lansia dan komorbid diabetes sangat beresiko tertular. Jika sekarang merasa baik-baik saja, belum tentu di hari-hari besok demikian adanya.

Akhirnya kejadian juga. Kawan saya bersama anaknya, sekarang lagi isolasi mandiri karena terkonfirmasi positif Covid. 

Dia tertular dari ibunya yang sekarang tengah dirawat di RS. Satu anaknya bersama suami diungsikan setelah hasil antigen dinyatakan negatif.

Apakah harus positif dulu baru percaya Covid-19 benar-benar ada?

Baca juga: Apakah Biaya Pasien Positif di RS Non Covid-19 Ditanggung Pemerintah?

RS kembali penuh?

Saya belum bisa memastikan apakah tingkat keterisian bed RS penuh? Tapi berdasarkan cerita kawan saya yang tinggal di sekitar Serpong, Tangerang Selatan, beberapa RS sakit di Tangerang, Banten, menyatakan penuh.

Ia bercerita, ibu temannya positif Covid-19, dibawalah ke RS, tapi belum bisa masuk IGD. Si ibu masih "terlantar" di sekitar RS, menunggu. 

Kawan saya lantas mengirimkan foto si ibu yang dimaksud, yang tengah duduk menunggu kepastian.

Nah, hal yang sama dialami anak kawan saya ini. Anaknya hari ini dinyatakan positif Covid-19. Dibawa ke sejumlah RS, tapi penuh. 

Akhirnya, dibawalah ke RS yang katanya, lokasi RS itu tidak begitu jauh dari rumahnya. Cuma, pengobatan Covid-19 tidak dicover BPJS Kesehatan. Jadi, harus bayar mandiri.

Saya sampaikan pasien Covid-19 semua biaya pengobatan dicover BPJS Kesehatan. Mulai dari dinyatakan positif saat swab antigen hingga dinyatakan sembuh. Apakah dirawat di RS yang bermitra dengan BPJS atau tidak, tetap dicover.

Itu berkaca pada kasus ibu saya, yang tahun lalu dirawat di ruang isolasi di salah satu RS swasta di bilangan Cinere, Depok. Selama seminggu dirawat, semua biaya dicover BPJS Kesehatan. 

Padahal, RS itu bukan RS khusus Covid-19, bukan juga RS rujukan Covid-19. Jika ditotal biayanya sebesar Rp170 juta. Kalau bayar sendiri bisa-bisa semakin banyak orang jatuh miskin.

Hingga akhirnya ibu saya wafat di RS lain, tidak ada biaya yang kami keluarkan. Kecuali biaya ambulans karena jenazah diantar ke Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat.

"Gue sudah telepon Kemenkes, semua pasien Covid-19 biayanya dicover pemerintah. Kalau ada RS yang menagih pembayaran, laporkan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan," kata saya mengutip penyataan pihak Kemenkes.

Sudah lelah

Tidak dipungkiri memang, pandemi Covid-19 yang sudah 2 tahun berjalan ini, membuat banyak orang lelah. Ditambahkan kondisi perekonomian dalam skala rumah tangga yang juga tidak kunjung membaik bagi sebagian besar masyarakat kita.

Belum lagi banyaknya berita negatif yang beredar di media sosial. Seperti adanya tudingan bisnis PCR yang dikelola menteri, atau bisnis RS yang sengaja mengcovidkan pasien, dan tudingan-tudingan miring lainnya.

Bahkan hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang mempertanyakan apakah Covid-19 itu benar ada?

Belum lagi, adanya kerumunan saat Presiden Jokowi berkunjung ke suatu daerah. Menurut saya sih ini tidak memberikan contoh yang baik. 

Adanya kerumunan tersebut justru membuat masyarakat semakin merasa yakin bahwa situasi memang baik-baik saja. Prokes pun kian longgar. 

Lonjakan kasus Covid-19 saat ini bagaimanapun tidak hanya terjadi akibat karakter virus, tetapi juga perilaku manusia. 

Perilaku ini datang dari pejabat yang meremehkan pandemi, dan masyarakat yang mengabaikan prokes.

Ya, pandemi tanpa ujung ini membuat sebagian besar orang kelelahan. Banyak yang jadi tidak peduli risiko, masa bodoh, dan pasrah. Mengabaikan konsekuensi atas tindakan tersebut.

Seharusnya tidak terjadi gelombang ke-3

Belajar dari pengalaman. Begitu kata pepatah yang mengingatkan kita untuk bisa mengambil hikmah atau pelajaran dari pengalaman atau kasus sebelumnya. 

Gelombang kedua kasus Covid-19 yang pernah melanda pertengahan tahun lalu, seharusnya menjadi pelajaran penting yang tidak boleh terulang. Harusnya sih, menurut saya, gelombang ketiga ini tidak perlu terjadi. 

Memang, pandemi Covid-19 sudah berlangsung lama. Membuat masyarakat lelah dan bosan. Terlebih, dengan dampak perekonomian yang dialami. 

Seharusnya sih kondisi tersebut jangan membuat masyarakat abai menerapkan protokol kesehatan. Jika kita tetap prokes ketat, termasuk para pejabat, kemungkinan besar gelombang ketiga tidak akan terjadi.

Tapi, kita tidak boleh menyerah. 

Perlu ada pemahaman bersama bahwa menjaga diri, keluarga dan lingkungan dari penularan virus Corona, sama artinya dengan kita menjaga bangsa ini dari ancaman pandemi. 

Dengan demikian, kita secara tidak langsung ikut memperkuat upaya pengendalian Covid-19 di Tanah Air. 

Ayo, yang belum divaksin segera vaksin. Ingat virus Corona ini moodnya selalu berubah-ubah, begitu juga sifatnya. Itu sebabnya, tuh virus sukanya bermutasi. 

Tidak lupa jaga kesehatan.  Sehat fisik, sehat mental, sehat spiritual, dan sehat sosial. Juga rutin berolahraga, diet seimbang, istirahat cukup, dan kelola stres.

Bismillah, kita bisa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun