Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akses Pelayanan Kesehatan, Beda Dulu dan Sekarang

7 Februari 2022   14:18 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:27 2497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Klinik dr. Salma (Dokumen pribadi)

"Teh, lagi di rumah? Aa Bapak sakit, minta dibawa ke rumah sakit. Mobil lagi dipakai teu," kata adik pertama saya saat menelepon saya beberapa hari lalu. Saat itu, saya sedang menuntaskan ketikan di hp. 

Di rumah, Abah, begitu biasa saya memanggil Bapak saya, hanya berdua dengan adik bungsu saya. Kebetulan lagi work from home atau wfh. Sementara abang saya pertam belum pulang dari kerjanya. 

Adik saya menelepon karena di rumah Abah tidak ada kendaraan mobil. Adanya motor. Sementara adik bungsu saya tidak bisa mengendarainya. 

Mungkin karena "panik", adik saya tidak terpikir untuk naik taksi online. Atau, bisa jadi belum ada pengalaman bagaimana mengurus orang sakit ke rumah sakit. Selama ini, abang saya yang menemani.

Baca juga: Berobat ke IGD Pakai BPJS Kesehatan Ditanggung Kok, Asal...

Saya bergegas menghampiri suami yang saat itu tengah mengobrol dengan teman semasa SMP-nya di teras samping. Saya sampaikan bahwa Abah perlu segera dibawa ke rumah sakit.

Suami pun minta maaf ke temannya tidak bisa menemaninya lebih lama lagi. Lalu kami ke rumah Abah. Saya temukan kondisi Abah baru ke luar dari kamar mandi dengan wajah meringis menahan sakit.

Kata adik saya, Abah dari tadi siang muntah-muntah dan buang-buang air besar. Entah karena makan apa. Melihat wajah Abah yang meringis, saya putuskan bawa ke rumah sakit. 

Terlebih Abah lansia. Umurnya 83 tahun. Jika dibawa ke RS, pemeriksaan akan lebih lengkap. Dengan demikian, akan diketahui Abah sakit apa. Tidak lagi menduga-duga. 

Belum tentu juga dikasih obat bebas bisa segera membaik. Belum tentu juga dosisnya sesuai dengan usia Abah. Iya, kan? Usia lanjut memang butuh penanganan serius.

Saya sudah sering berurusan dengan RS dan klinik faskes pertama. Setidaknya sejak 2018 ketika saya didiagnosa terkena kanker payudara stadium 3. Sejak itu, saya bolak balik ke RS. Jadi paham prosedurnya seperti apa.

Baca juga: BPJS Juga Tnggung Pelayanan Kesehatan Jiwa, Begini Prosedurnya

"Kartu Askes-na Abah mana, jeng KTP," kata saya pada adik saya. Abah menunjuk laci lemari. Di laci ada dompet hitam Abah. Saya buka. Kartu Askes dan KTP saya ambil. Abah masih pegang Kartu Askes karena pensiunan pegawai negeri.

Bagi saya, kartu Askes atau BPJS Kesehatan sangat penting dalam kondisi kegawatdaruratan. Dalam kondisi ini, kita bisa berobat di IGD rumah sakit mana saja. Meski RS yang dituju bukan RS rujukan kita berobat. 

Dalam kegawatdaruratan, pilihan saya bukan lagi klinik atau puskesmas. Terlebih, hari sudah menjelang sore. Kebetulan di sekitar wilayah kami ada beberapa RS yang dekat: RS Mitra Keluarga, RS Hermina, dan RS Bunda Aliya.

Dari sekian RS ini, RS Bunda Aliya yang paling dekat. Jadi, kami memutuskan ke sini. Abah saya "larikan" ke IGD lalu direbahkan di bed. 

Adik saya yang mengetahui riwayat Abah sakit diminta tetap di IGD. Suster ingin mengetahui lebih jauh keluhan pasien yang ditindaklanjuti dengan menginfus Abah untuk mencegah dehidrasi.

Sementara itu, saya mengurus administrasi di bagian pendaftaran. Suami, saya minta tidak perlu ikut menunggu karena di rumah tidak ada yang menjaga anak-anak. 

Setelah mengantre sekitar 30 menit, saya pun mengisi data-data Abah di loket pendaftaran mengingat Abah pasien baru. Abah memang belum pernah menjadi pasien di sini. 

Prosesnya mudah, pelayanannya ramah. Petugas selalu meyebut saya dengan "Bunda". Mungkin karena nama RS-nya? Data-data saya sesuaikan dengan Kartu Askes dan KTP Abah.  

Petugas lalu menginformasikan, biaya pengobatan Abah akan dicover oleh BPJS Kesehatan atau tidak tergantung hasil pemeriksaan dokter. Kalau butuh perawatan lebih lanjut maka dicover. Jika tidak, maka bayar mandiri.

Ok, tidak masalah. Terpenting Abah tertangani dengan baik. Lagi pula berdasarkan pengalaman saya yang beberapa kali ke IGD, biaya pengobatan tetap dicover BPJS Kesehatan meski tidak sampai harus dirawat, selama memang itu masuk dalam kategori kegawatdarutan medis. 

Di Klinik dr. Salma (Dokumen pribadi)
Di Klinik dr. Salma (Dokumen pribadi)

Setelah melalui sejumlah pemeriksaan di IGD, seperti cek darah, Abah dinyatakan harus dirawat di RS beberapa hari. Dokter mendiagnosa ada infeksi saluran pencernaan. Karena itu, perlu dirawat untuk diperiksa lebih lanjut.

Setelah dirawat 2 hari, Abah diperkenankan pulang dan rawat jalan. Abang pertama yang mengurus kepulangan Abah. Karena tidak paham, abang bertanya-tanya mengenai hal ini.

Saya sampaikan yang mengurus berkas-berkas kepulangan pasien adalah perawat, bukan keluarga pasien. Pasien baru mengurus berkas-berkas ketika akan kontrol ke dokter. 

Selain itu, karena biaya pengobatan Abah dicover BPJS Kesehatan, maka tidak ada biaya yang dikeluarkan pasien, kecuali jika ada obat-obat yang tidak dicover BPJS. 

Jika menilik sakit Abah sih sepertinya dicover. Dan, memang tidak dipungut biaya apa-apa sepeserpun, termasuk biaya swab antigen. 

Dua hari berselang, saya menengok Abah di rumah. Alhamdulillah, sudah membaik. Sudah mau makan juga setelah saya pesan makanan sop iga sebagaimana permintaannya.

"Benar ya kata Neneng, nggak bayar. Bapak baru tahu ini," kata Abah dengan tersenyum lebar. 

Saya jelaskan, Kartu Askes harus siap sedia di dompet atau harus dibawa ke manapun Abah pergi. Jadi, ketika Abah dalam kondisi kegawatdaruratan di luar Kota Depok, bisa langsung dibawa ke IGD RS mana saja. Selama ada Kartu Askes, maka selama itu dicover BPJS. 

"Ke luar kota ka mana? Geus kolot kieu," kata Abah.

"Ya siapa tahu Abah lagi jalan-jalan liburan sama kita, atau lagi di lembur atau di rumah saudara Abah. Pokoknya, jangan sampai ditinggal-tinggal kartu Askesnya. Penting banget soalnya," kata saya.

Lantas saya tanya jadwal kontrol Abah. Lalu saya jelaskan, sebelum kontrol ke RS Bunda Aliya, Abah harus ke faskes (fasilitas kesehatan) pertama dulu untuk dibuatkan surat rujukan. Berhubung berobatnya pakai BPJS, maka prosedurnya seperti itu.

"Abah faskes pertamanya di mana? Puskesmas atau klinik?" tanya saya.

"Puskesmas Pancoran Mas," jawab Abah.

"Abah nanti bawa surat keterangan kontrol ini ke puskesmas, nanti dibuatkan surat rujukan. Tanpa surat rujukan, Abah nggak bisa kontrol, kecuali jika bayar mandiri," kata saya. 

"Oh, kitu. Ka puskesmas-na teu kudu jeng Abah pan?" tanyanya. 

"Harus sama Abah. Pan pasiennya Abah. Bikin surat rujukan, pasiennya harus ada. Pan diperiksa-periksa oge," kata saya.

Saya ingatkan untuk tidak lupa memfotocopy surat rujukan dan kartu Askes saya kontrol. 

Abah pun kontrol di hari yang dijadwalkan ditemani abang saya. Alhamdulillah, Abah dinyatakan baik-baik saja. 

Akses Pelayanan Kesehatan, Dulu dan Sekarang

Lain dulu, lain sekarang. Jika dulu akses ke fasilitas kesehatan masih sangat terbatas, kini tidak lagi. Jika dulu masih sebatas Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), dan RSUD yang jaraknya cukup jauh, sekarang beragam. 

Di wilayah tempat tinggal kami saja di  Kecamatan Cipayung berdiri banyak faskes, mulai dari klinik maupun RS tipe C. Hal inilah yang memudahkan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. 

Klinik dr. Salma, faskes pertama saya yang berlokasi persis di belakang rumah saya, juga memberikan pelayanan gratis bagi petugas kebersihan, petugas keamanan, dan asisten rumah tangga yang bekerja di wilayah kompleks perumahan. 

Bila dulu pelayanan kesehatan sangat sulit terjangkau, fasiltasnya sedikit, dokter spesialis tidak banyak, sekarang tidak lagi. Setidaknya, masih lebih baik dibanding puluhan tahun berlalu.

Saya jadi ingat dulu, waktu saya kecil saat tinggal di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.  Kira-kira usia 5 atau 6 tahun. Ketika itu, saya berdiri di atas pagar tembok setinggi 1,5 meter. 

Waktu itu, saya nyanyi lagu "Bintang Kecil" sambil kaki bergerak ke kiri ke kanan. Eh, ketika kaki saya mau menjejak, bukan menapak ke tembok, melainkan di luar tembok.

Jatuhlah saya. Kepala saya bocor, darah bercucuran. Ketika saya digendong Ayah, ceceran darah membasahi bajunya. Saya lalu dibawa ke RS yang entah lupa namanya. 

Kepala saya pun dijahit. Percaya tidak, waktu kepala saya dijahit di ruang operasi, saya tidak dibius sama sekali. Dibius lokal pun tidak. 

Kaki kanan, kaki kiri dipegang perawat. Tangan kiri, tangan kanan, juga begitu. Nangis dong saya. Jadi, setiap sekali jahit saya menangis menjerit karena kesakitan. Bayangkan, ini rumah sakit lho, bukan Puskesmas.

Sampai sekarang peristiwa itu masih terekam dalam memori saya. Apalagi bekas jahitan sepanjang 15 cm itu juga meninggalkan bekas. Jadi, terlihat pitak. Tapi, meski, tanpa dibius, Alhamdulillah sampai sekarang baik-baik saja. 

Perbedaan lainnya, jika dulu untuk berobat saja perlu mengeluarkan dana yang tidak sedikit, sekarang setelah ada BPJS Kesehatan, pengobatan menjadi universal. 

Tidak ada lagi istilah "orang miskin dilarang sakit". Sepertinya sih, begitu. Semoga saja demikian adanya. Saya berharap, ke depannya, askes pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia semakin lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun