"Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga," jelasnya.
Indonesia sendiri memiliki Undang--Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan.Â
UU PKDRT ini dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh UU sebelumnya.Â
Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT mencakup bentuk--bentuk tindak pidana dan dalam proses beracara, antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk.Â
Diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik dapat dihilangkan.Â
UU PKDRT ini juga mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali (Pasal 15 UU PKDRT).Â
Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata. Bahkan ini menjadi urusan negara karena telah diatur dalam UU PKDRT.Â
KDRT juga bukanlah sebuah hal yang dapat dinormalisasi. Terlebih akhir cerita KDRT juga seringkali tidak seindah dongeng. Â Dengan ditutupinya KDRT tidak jarang justru membuat pelaku semakin menjadi-jadi.Â
Perlindungan pada perempuan dan anak adalah satu dari 5 isu prioritas arahan. Karena itu, KemenPPPA membutuhkan dukungan dan kerjasama dari semua pihak dalam upaya mencegah terjadinya KDRT.
Tokoh agama, tokoh masyarakat, influencer, publik figur, ataupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh dalam memberikan edukasi ke masyarakat. Tentu saja termasuk lembaga layanan dan masyarakat.Â
Untuk itu, perempuan dan anak yang menjadi korban untuk tidak takut melapor. Begitu juga masyarakat yang melihat tindak KDRT di sekeliling mereka.Â