Ketiga, kekerasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan seksual secara verbal, gurauan porno, ejekan dengan gerakan tubuh jika kehendak pelaku tidak dituruti korban.
Keempat, penelantaran Rumah Tangga semisal akses ekonomi korban dihalang-halangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan atau memanipulasi harta benda korban.Â
Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menegaskan KDRT adalah tindak kekerasan yang serius.Â
"Selama ini, kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga," tegasnya, Â Kamis, 3 Februari 2022, menanggapi kasus tausyiah ustadzah yang viral itu.
Banyak kasus KDRT yang terjadi di lingkungan kita, namun para korban KDRT biasanya tidak mau  melaporkan dengan banyak alasan.Â
Salah satunya, karena takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban atau mengganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar.
Ratna menuturkan KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya.Â
Kondisi ini bisa semakin diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Alasannya, KDRT adalah masalah domestik sehingga jika ada kejadian KDRT, orang lain tidak perlu campur tangan.
"Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya," tegasnya.
Maka, tidak heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak.Â
Tidak hanya itu. Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru saat mereka dewasa.Â