Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Andai Waktu Bisa Berputar, (Mungkin) Saiful Jamil Tak Begini

8 September 2021   19:34 Diperbarui: 9 September 2021   07:38 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Andai waktu bisa diputar kembali:

Saiful Jamil bebas dari penjara, Jumat (2/9/2021). Disambut biasa-biasa saja. Tidak dijemput mobil mewah. Tidak ada pengalungan bunga. Tidak ada keriuhan. Tidak ada media, tidak ada pemberitaan. Hanya pihak keluarga dan teman dekat yang menjemput.

Diam-diam saja. Tidak ada selebrasi. Tidak ada glorifikasi. Layaknya masyarakat biasa yang bebas dari penjara yang disambut biasa-biasa saja. Selain ucapan syukur dan pelukan kebahagiaan karena bisa berkumpul kembali bersama keluarga.

Tidak ada pernyataan "Saya tidak dendam dengan orang yang memenjarakan saya" yang ke luar dari mulutnya saat bebas dari penjara seperti yang diucapkannya tempo lalu. Tidak banyak kata.

Begitu pula tidak ada undangan dari stasiun televisi. Tidak menjadi bintang tamu untuk acara apapun. Tidak memberinya panggung untuk tampil ke publik. Setidaknya untuk sementara waktu, yang entah untuk berapa lama.

Biarkan Saiful Jamil pulang tanpa terekspos. Dalam keheningan. Lalu bekerja di balik layar. Tanpa sorot kamera seperti di studio televisi.

Ia bisa menghasilkan uang dengan menjual lagu ciptaannya yang namanya tersamarkan. Selama bertahun-tahun di penjara, berapa banyak lagu yang sudah diciptakan? Itu jika memang ia lakukan.

Memberi ruang dan waktu "sejenak" bagi Saiful Jamil untuk hilang dari peredaran. Bekerja dalam diam. Banyak juga kan orang yang bisa berkarya tanpa harus terpublikasi?

Andai Saiful Jamil tidak melakukan kejahatan seksual. Andai Saiful Jamil menolak tawaran tampil di televisi. Andai itu yang dilakukan, mungkin jalan ceritanya jadi lain. 

Tidak akan memantik cancel culture. Pemberian glorifikasi yang berlebihan inilah yang membuat sang artis kena cekal.

"Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak usia dini (pedofilia) masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih merasakan trauma...

Sungguh sangat berharap stasiun televisi melakukan hal yang sama dengan memboikot mantan narapidana pencabulan anak di usia dini (pedofilia) muncul. Semoga petisi ini membuahkan hasil yang memuaskan," begitu bunyi petisi yang mendapat dukungan lebih dari 500.000 tanda tangan itu.

Glorifikasi dalam rentang waktu yang begitu cepat. Seketika ada di stasiun televisi ini, dan tidak berapa lama ada di stasiun televisi yang lain.

Bagaimana tidak, pria 41 tahun itu langsung diajak bersafari ke dua acara: Bercanda tapi Santai (BTS) di Trans 7 dan Kopi Viral di Trans TV. Belum lagi hadir di acara rangkaian pernikahan Rizky Bilar dan Lesti Kejora di ANTV, yang disaksikan oleh se-Indonesia Raya dan mungkin juga dunia.

Baca juga: Saiful Jamil dan Hilangnya "Kewarasan"

Bagaimana orang bisa "lupa"? Bagaimana orang tidak geram, lalu menggalang petisi untuk mencekalnya. Ini sesuatu hal yang wajar. Karena penyambutan yang luar biasa dan banjirnya tawaran job itu menimbulkan kesan bahwa kejahatan seksual hal yang biasa.

Inilah yang tidak dipikirkan oleh para pendukungnya dan stasiun televisi yang dengan pongahnya mengabaikan empati sosial. Polemik yang ingin ditonjolkan agar meraih rating, tidak seperti yang dibayangkan. Justru memunculkan petisi penolakan Saiful Jamil.

Bukan salah masyarakat yang akhirnya mencekalnya agar tampil di publik. Kesalahan ada pada para pendukungnya dan stasiun televisi, juga pada sosok Saiful Jamil dan orang-orang di sekitarnya, termasuk managernya. 

Andai para pendukungnya mengalami kejadian serupa pada anaknya apakah akan melupakan begitu saja peristiwa kelam itu?

Jika saja korban dari Saiful Jamil adalah anak dari para pendukungnya atau orang-orang yang ada di stasiun televisi itu, apakah mereka tetap akan menyambutnya? Saya pastikan tentu saja tidak.

Ah, sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bubur pun masih bisa enak dimakan. Lha ini? Mau makan bubur saja dilarang. Dilepeh. Dibuang.

Ini bukan masalah bisa memaafkan atau tidak. Menerima atau tidak. Melupakan atau tidak. Berdamai dengan keadaan atau tidak. Ikhlas atau tidak.

Pokok persoalannya adalah tindakan kejahatan yang dilakukan. Jika perbuatan kriminalnya mencuri, misalnya, mungkin saja orang dengan mudah akan memaafkan.

Lihat saja para koruptor yang setelah bebas masih bisa menjabat. Padahal hasil kejahatannya bisa menyengsarakan masyarakat dan merugikan negara.

Atau misalnya penyalahgunaan narkoba, orang-orang mungkin dengan cepat akan melupakan. Berapa banyak artis yang tersandung kasus narkoba yang akhirnya masih bisa tampil di televisi dan disambut hangat publik. 

Jangan samakan dengan kasus video porno Ariel (Peterpan/Noah). Dalam kasus ini tidak ada korban. Sama-sama dewasa dan dilakukan tanpa paksaan. Meski perbuatan ini tidak dibenarkan secara norma agama, hukum, dan sosial,  seiring waktu orang-orang juga mulai melupakan dan menerima kembali karya-karyanya.

Tapi yang dilakukan Saiful Jamil beda: kejahatan susila. Terlebih korbannya adalah anak di bawah umur yang dilakukan oleh orang dewasa dengan sadar. Dilakukannya pun dengan paksaan dan ada unsur pemerkosaan.

Orang tua mana pun tidak akan bisa dengan mudah melupakan atau memaafkan. Trauma berkepanjangan yang dialami korban belum tentu bisa disembuhkan dalam waktu hitungan tahun. 

Ketika ia melihat pelaku tampil di televisi apakah tidak akan membuat jiwanya kembali terguncang? Kejiwaan orang tuanya pun saya yakin ikut terguncang.

Menampilkan selebriti yang melakukan tindak pelecehan seksual bisa berdampak buruk terhadap korban hingga masyarakat secara keseluruhan. Yang bisa memberi kesan pelaku pelecahan seksual adalah hal biasa dan orang akan menerimanya begitu saja.

Menurut saya, cancel culture ini ada baiknya juga. Bisa menjadi efek jera buat yang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Terlebih, kejahatan seksual pada anak masih menjadi persoalan serius di Indonesia, yang belum terselesaikan dengan tuntas.

Karena itu, diharapkan semua media dapat memberikan tayangan dan tontonan yang mendidik, mencerdaskan, menginspirasi sekaligus menghibur. Terlebih media penyiaran dapat diakses oleh semua usia.

Media harus turut bertanggung jawab terhadap semua tayangannya agar ramah anak tidak hanya sekadar mengejar rating atau jumlah penonton yang banyak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun