Ini hari ke-5 ibu saya wafat. Setelah selama 16 hari (mungkin lebih) berjuang melawan Covid-19, ibu saya akhirnya kalah dalam peperangan melawan musuh yang bernama virus Corona. Virus yang tidak terlihat oleh mata telanjang.
Perjuangan ibu saya bisa dibilang tanpa "bekal" alat peperangan. Tanpa bantuan ventilator dan tidak berada di ruang ICU sebagai benteng untuk bertahan hidup seperti halnya ketika berada di medan peperangan.
Ibu saya juga belum vaksinasi Covid-19, komorbid -- jantung, hipertensi, diabetes, dan lansia (74 tahun) membuat benteng pertahanan ibu saya kian lemah. Saturasinya terus menurun hingga akhirnya ke angka nol.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...
Ibu saya meninggal di RS DR Suyoto, RS rujukan Covid-19 yang berada di wilayah Jakarta Selatan. RS milik Kementerian Pertahanan. Dipindahkan di sini dengan harapan mendapatkan ruang ICU ventilator.
Ibu saya masih waiting list tapi mendapat prioritas. Di papan dituliskan "titipan karumkit" atau kepala rumah sakit. Adik saya juga sudah menandatangani surat persetujuan.
Mengapa dipindahkan ke sini? Karena RS Diagram Jantung Siloam Cinere, Depok, tidak maksimal memberikan penanganan pada pasien Covid-19.
RS ini memang bukan RS rujukan Covid-19 jadi penanganan yang diberikan kepada ibu saya ya standar penanganan pasien non Covid-19. Sementara ibu saya membutuhkan penanganan yang lebih dari standar.
Baca juga: Apakah Biaya Pasien Positif di RS Non Covid-19 Ditanggung Pemerintah?
Pihak RS memberikan dua opsi. Pertama, segera dipindahkan ke RS Rujukan Covid-19 dengan resiko terburuk meninggal di perjalanan. Kedua, tetap di RS dengan penanganan yang tidak maksimal, yang juga beresiko.
Abang saya yang ASN di Kementerian Keuangan lantas menghubungi Satgas Covid-19 Kemenkeu. Oleh pihak Satgas, ibu saya direkomendasikan dipindahkan ke RS DR. Suyoto.
Namun, tetap tidak bisa langsung dimasukkan ke ruang ICU ventilator karena memang penuh. Jadi, sesuai prosedur, pasien tetap harus melalui IGD terlebih dahulu.
"Bagaimana, mau diambil atau tidak?" tanya abang saya dalam pertemuan video call bersama abang dan adik yang lain.
Kami dilema. Saya menyarankan untuk tetap di RS Jantung Diagram kalau memang di sana ditempatkan di IGD juga. Apa bedanya dengan di sini?
Namun, abang saya tetap menyarankan dibawa ke RS DR. Suyoto. Dengan pertimbangan, ketika ada 1 bed di ruang ICU ventilator, ibu saya bisa langsung masuk. Tidak apa-apa di IGD, tapi ketika ada peluang bisa langsung segera masuk.
"Semuanya beresiko, ini bagian dari ikhtiar kita agar enin tertangani dengan baik," kata abang saya lagi.
"Ayo, buruan apa keputusannya. Kita diberi waktu 30 menit untuk mendiskusikan," kata adik saya yang kebetulan pada saat itu gilirannya "berjaga" di RS Jantung Diagram.
Setelah ditimbang-timbang akhirnya kami memutuskan ibu dipindahkan. Untuk keputusan ini pihak RS membutuhkan 3 saksi dari pihak keluarga untuk menandatangani surat persetujuan perpindahan.
Baca juga: Susahnya "Berburu" Ruang ICU Covid-19
Surat pernyataan ini dibutuhkan jika terjadi apa-apa dengan ibu saya selama perjalanan menuju RS DR. Suyoto, pihak keluarga tidak menyalahkan pihak RS mengingat kondisi medis ibu.
Kamis (22/7/2021) malam setelah urusan administrasi tuntas, meluncurlah ambulans ke RS DR. Suyoto.
Di IGD, saturasi oksigen ibu saya belum stabil, masih naik turun hingga Jumat (2/7/2021). Dua adik saya ikut menjaga di IGD. Tidak peduli jika harus berbaur dengan pasien Covid-19 lainnya.
Demi kesembuhan ibu, badai pun tetap diterjang, meski dengan resiko terpapar Covid-19 atau mengabaikan pekerjaan yang sudah berhari-hari terabaikan. Perawat sebagaimana disampaikan adik saya meminta keluarga untuk terus berdoa.
Kami pun membuat jadwal untuk bergantian berjaga. Kebetulan masa isoman saya berakhir pada Sabtu (24/7/2021). Abang saya juga sudah mengajukan cuti selama seminggu.
Jumat malam, suami juga sudah sempat membawakan pakaian dan laptop untuk adik saya. Maksudnya, biar adik tetap bisa fokus menjaga ibu tanpa harus mengesampingkan pekerjaannya.
Selepas maghrib, adik saya menemani ibu. Memijit kakinya yang kian dingin, memijit tangannya, memijit keningnya. Dengan harapan saturasi ibu naik dan tubuhnya menghangat. Adik juga membacakan surat Al Kahfi.
Lalu adik saya melihat layar monitor. Saturasi oksigen ibu kian menurun. Semula di angka 70, lalu turun ke angka 60, 50, 40, 30, 20, 10, dan berakhir di angka 0.Â
Garis lurus memajang terlihat di bagian saturasi. Tidak ada suara yang terdengar dari alat ini. Waktu menunjukkan pukul 22.22 WIB.
"Suster, suster, ini kenapa kok lurus?" tanya adik saya panik.
"Yang sabar ya Pak, ikhlaskan. Ibu meninggal dunia," kata suster.
Tangis adik saya pun pecah. Informasi ibu meninggal disampaikan di group keluarga, bertepatan saat suami saya tiba di rumah. Suami memberikan penghiburan kepada saya.
Saya, suami, lantas menjemput ayah dan abang saya untuk melihat ibu di RS. Melihat jenazahnya yang terakhir kali sebelum dimasukkan ke dalam peti mati. Menshalatkannya.
Adik saya berulang kami menanyakan posisi kami, untuk segera sampai. "Mamah sudah dimasukkan ke dalam peti mati," katanya saat menelepon.
Tibalah kami di sini. Mayat ibu saya sudah di dalam peti mati di kamar jenazah. Tapi syukurlah, petugas kamar jenazah berkenan membukakan peti jenazah yang sudah dipaku.
Setelah kami mengadzankan dan mendoakan, lalu mayat dikembalikan ke posisi semula. Peti mayat lalu ditutup, dipaku, kemudian dilapisi plastik wrapping.
Usai diwrapping, kami pun shalat jenazah. Kemudian menguburkannya di Cigereji, Cibadak, Sukabumi. Sebagaimana pesan ibu saya jauh sebelum terkena Covid-19.Â
Mengapa di sini? Karena di sinilah tempat ibu saya lahir dan dibesarkan, hingga menikah. Ibu saya ingin dimakamkan berdampingan dengan kakek nenek saya, yang tidak lain orang tua ibu saya.
Pemakaman di lahan pemakaman keluarga ini dilakukan oleh Satgas Covid-19 setempat dengan protokol kesehatan Covid-19 yang sangat ketat.
"Ya Allah, ampunilah ibu kami dan belas kasihanilah, selamatkanlah ia dan
maafkanlah ia, muliakanlah tempat kediamannya, luaskanlah tempat masuknya.
Bersihkanlah ia dari kesalahan-kesalahannya sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari kotoran, masukkanlah ia dalam surga dan lindungilah ia dari siksa kubur dan siksa neraka."
Aamiin...
Insyaallah enin wafat dalam keadaan husnul khotimah
Selamat jalan enin, ibu terbaik kami.
*Kepada rekan-rekan Kompasianer yang sudah mendoakan ibu saya dari awal hinggal akhirnya, kami sekeluarga mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga. Semoga rekan-rekan semua selalu sehat dan selalu dalam perlindungan Allah SWT
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI