"Lha itu tangan loe ngapain di tas gue. Mau nyopet kan?" kata saya.Â
"Lepasin kagak tangan loe atau gue teriak copet!" tantang saya. Seketika dia pun melepaskan tangannya.
"Minggir, gue mau turun," kata saya seraya mendorong tubuhnya dengan badan saya.
Sementara saya perhatikan, gerombolan pemuda di pintu belakang dan depan seketika juga diam. Mungkin karena mangsanya lepas, jadi lemas.
Sejak itu, saya selalu memperhatikan gerak-gerik orang-orang yang ada di dalam bus. Kalau mencurigakan hp dan dompet saya sembunyikan di tas yang saya gulung dengan sapu tangan handuk. Kalau mau turun tas saya peluk.
Entah kalau kekinian, apakah masih ada yang begitu? Sepertinya sih sudah tidak ada karena transportasi umum jenis ini sudah "bermetamorfosis" menjadi bus Trans Jakarta dengan berbagai rute.
***
Di kereta, penumpang begitu sesak. Maklum, jam pulang kerja. Kondisinya juga tidak seperti sekarang ini. Dulu, kereta ibarat toko berjalan. Apa saja ada. Dari jualan makanan, minuman, perabot, baju anak-anak, mainan, hingga buku-buku.
Sudah bisa diduga, kawanan pencopet bertebaran di sini, berbaur bersama para penumpang lainnya. Memanfaatkan celah di sesaknya para penumpang.
Saya sudah waspada sebenarnya. Tas ransel saya gemblog di depan dan saya jepit pakai satu tangan saya, tangan satunya lagi dipakai untuk berpegangan.
Ketika sebentar lagi akan masuk ke Stasiun Depok Lama, saya sudah berusaha mengubah formasi berdiri saya dengan menggeser kaki sedikit demi sedikit. Saat itu, saya merasa tas saya tertarik, dengan refleks saya tarik tas saya.