Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, dokter menyampaikan akan melakukan tes kulit tuberkulin atau tes Mantoux. Tes ini dilakukan untuk mengetahui apakah anak saya pernah terpapar bakteri tuberkulosis atau tidak.
Jika hasil tes tuberkulin positif, maka kemungkinan besar anak telah terinfeksi, apalagi saya positif TBC.
Dokter pun kemudian menyuntikkan larutan tuberkulin (protein kuman TB) di bawah kulit lengan kanan. Lalu dibekas suntikan itu, diberi lingkaran.Â
Hasilnya baru bisa diketahui selama 48 jam. Jika pada bekas suntikan muncul benjolan kurang lebih 10 mm atau melewati garis lingkaran, maka hasil tes dikatakan positif. Jika tidak ada benjolan, hasil negatif.
Selama itu, saya dag dig dug. Jangan sampai garis lingkaran yang ditandai dokter hilang. Setelah dua hari, Alhamdulillah dibekas suntikan itu, kulit anak-anak saya tidak ada benjolan dan hanya bekas suntikan biasa saja. Saya pun lega, setidaknya saya bisa menjalani pengobatan saya ini dengan tenang.
Tapi saya tetap meminta anak-anak saya untuk tidak dekat-dekat saya selama dokter menyatakan TBC saya sudah tidak berpotensi menularkan.Â
Kalau saya baca-baca di internet sih, satu bulan pengobatan pertama potensi penularan sudah tidak ada lagi, tapi bukan berarti sembuh total.
Selama 6 bulan saya minum obat tanpa putus. Tidak boleh terputus sehari pun. Kalau terputus karena lupa misalnya, maka pengobatan harus diulang dari awal.Â
Tidak boleh minum obat dirangkap pada hari berikutnya. Jadi, saya harus disiplin serta rutin minum obat walaupun batuk dan keluhan sudah tidak ada.
Setiap bulan saya dirontgen untuk memastikan saya benar-benar sembuh. Saya lakukan hingga bulan keenam berakhir. Saya kembali dirontgen.Â
Alhamdulillah, dokter menyatakan saya sembuh. Total biaya yang sudah saya keluarkan hampir 6 juta Rpuiah. Tidak apa-apa yang penting saya sembuh. Ah, lega saya. Seperti kembali melihat dunia.