Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cegah Pernikahan Anak Berharap pada Fatwa Agama

20 Maret 2021   15:11 Diperbarui: 20 Maret 2021   15:15 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum MUI Pusat Miftachul Akhyar (Dokumen pribadi)

Pernikahan dini atau pernikahan anak atau pernikahan di bawah umur yang sudah ditentukan, yang masih saja terjadi, cukup "memusingkan" pemerintah. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyadarkan orang tua atau pihak-pihak agar tidak membiarkan anaknya menikah dini sepertinya hanya angin lalu. 

Padahal, sejatinya larangan ini untuk kebaikan bersama. Terutama kebaikan anak yang bersangkutan. Dikatakan kebaikan bersama karena mencegah pernikahan dini sama artinya kita memutus mata rantai kemiskinan baru. Juga berarti menyelamatkan anak dan generasi berikutnya dari dampak buruk pernikahan dini. 

Pemerintah sejatinya sudah memberikan perlindungan. Salah satunya, adanya melalui revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan disahkan. Dalam UU ini batas usia minimum perkawinan bagi perempuan telah ditingkatkan menjadi 19 tahun. 

Namun, upaya ini belum membuahkan hasil dan tidak serta-merta menjamin perkawinan anak dapat dicegah. Terbukti, selama pandemi Covid-19 ini angka perkawinan usia anak di Indonesia justeru meningkat. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. 

Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.  Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 23.700 permohonan. Permohonan dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia 19 tahun berdasarkan Undang-Undang.

Maka sinergi sejumlah kementerian dan lembaga dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatasi persoalan ini patut diapresiasi. Kesemua pihak berkomitmen bekerja sama dan saling mendukung dalam melakukan berbagai upaya pendewasaan usia perkawinan dan peningkatan kualitas keluarga demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Juga, Kementerian Kesehatan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), bersama MUI berkomitmen untuk bersinergi, yang digelar secara offline dan virtual dari Kantor Majelis Ulama, Kamis (18/03). 

Sinergi dan komitmen tersebut juga direalisasikan dalam bentuk Deklarasi Gerakan Nasional dan Seminar Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, yang membuka kegiatan itu, menyampaikan perkawinan yang disiapkan secara matang akan tercipta keluarga harmonis yang bahagia. Untuk itu, hal paling utama yang harus disiapkan adalah adanya kematangan individu secara fisik dan mental dari kedua mempelai. 

Mantan Ketua Umum MUI ini berharap Gerakan Pendewasaan Perkawinan ini dapat membuka pemahaman masyarakat tentang tujuan perkawinan. Juga harus dapat memberikan advokasi masyarakat, bahwa usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi bolehnya saja. 

"Tetapi yang paling penting, mengedepankan tujuan perkawinannya yang harus memberikan maslahat, baik maslahat untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa," kata Wapres.

Kurangnya kematangan dalam memahami tujuan perkawinan akan menimbulkan dampak negatif bagi seseorang, seperti ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Wapres menegaskan, perkawinan adalah hal penting bagi manusia. Tahap ini berpengaruh besar pada perjalanan hidup seseorang di masa selanjutnya. Karena itu, perkawinan harus disiapkan dengan matang antara kedua belah pihak, sehingga dapat menciptakan keluarga harmonis dan bahagia.

"Sebaliknya, perkawinan tanpa persiapan dan perencanaan yang matang acapkali membawa dampak tidak baik pada kehidupan keluarga tersebut, seperti keluarga yang tidak harmonis dan tidak bahagia," tegasnya lagi.

Wapres menyampaikan, dalam ajaran Islam, pernikahan adalah hal luhur dan sakral, sehingga harus didasari dengan keikhlasan, tanggung jawab dan ketentuan hukum syariah serta hukum positif. Karena itu, sangatlah penting bagi yang hendak melangsungkan pernikahan untuk memahami petunjuk agama dan negara.

"Harus memiliki bekal pengetahuan yang memadai agar pernikahannya sesuai dengan syariah dan memiliki kesiapan lebih baik untuk memiliki keturunan serta rumah tangga yang sejahtera," ujarnya.

Kematangan mental dan kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai suami dan istri, menjadi hal paling utama yang harus dipersiapkan oleh kedua pasangan calon mempelai, selain pula kesiapan fisik untuk bereproduksi.

Ketua Umum MUI Pusat Miftachul Akhyar (Dokumen pribadi)
Ketua Umum MUI Pusat Miftachul Akhyar (Dokumen pribadi)
Ketua Umum MUI Pusat Miftachul Akhyar, menyampaikan di dalam Alquran disebutkan pernikahan harus bertujuan menciptakan sebuah kehidupan yang harmoni. Tidak asal cocok lalu menikah.

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kemaslahatan keluarga, umat, dan bangsa yang harmoni. Dari tujuan perkawinan ini akan mewujudkan generasi Indonesia yang berkualitas pula. Tidak semata-mata sakinah, mawaddah, warahmah.

MUI berpandangan maraknya perkawinan anak karena adanya berbagai faktor. Ia  menduga salah satunya karena banyaknya konten dewasa atau pornografi yang membuat anak terpapar konten tersebut. Karena itu, pencegahan perkawinan usia anak harus diatasi bersama sebagai tanggung jawab bersama.

Salah satu ikhtiar mengatasi pernikahan anak adalah dengan mendorong pendewasaan usia perkawinan. Dengan cara, meningkatkan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya kesiapan fisik, mental, spiritual, sosial-budaya, dan ekonomi dalam perkawinan agar tercipta perkawinan yang berkualitas, bahagia, dan kekal. 

"Pernikahan akan menanggung sebuah kehidupan yang harapannya melahirkan sebuah masyarakat unit-unit rumah tangga yang berkualitas. Dari unit-unit rumah tangga itulah terbentuk sebuah masyarakat. Maka kalau masyarakatnya berkualitas, maka lahirlah sebuah umat, bangsa, umat dan negara yang juga berkualitas," katanya. 

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Menteri PPPA Bintang Puspayoga, yang hadir dalam deklarasi tersebut, mengungkapkan, di masa pandemi Covid-19,  perkawinan anak justru semakin meningkat. Data dari Ditjen Badan Peradilan Agama Mahkaman Agung, membuatnya cukup mencengangkan.

"Berdasarkan data itu, dispensasi nikah anak pada 2020 yang dikabulkan melonjak 300 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2019 tercatat hanya 23.126 dispensasi. Selanjutnya di tahun 2020 tercatat sebanyak 64.211 dispensasi," ungkapnya.

Studi yang dilakukan Koalisi 18+ tentang dispensasi perkawinan mengungkapkan bahwa 98% orang tua menikahkan anaknya karena anak dianggap sudah berpacaran atau bertunangan. Sementara itu, 89% hakim mengatakan bahwa pengabulan permohonan dispensasi dilakukan untuk menanggapi kekhawatiran orang tua.

"Kegiatan ini  sebagai upaya penyelamatan anak bangsa yang terjebak dan terabaikan dalam perlindungan anak. Salah satunya terkait praktek perkawinan anak yang saat ini sangat memprihatinkan. Sinergi yang dapat memperjuangkan 84,4 juta anak-anak kita atau sepertiga dari total penduduk Indonesia agar mereka terpenuhi hak-haknya dan terlindungi," ujar Bintang.

Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan, selain peran pemerintah, perlu juga upaya dari lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memecahkan masalah perkawinan anak. Salah satu upaya yang perlu dilakukan, yaitu dengan menetapkan fatwa terkait perkawinan anak. 

Pemerintah, katanya, tidak bisa memecahkan masalah nasional ini sendiri. Perkawinan anak perlu fatwa dari MUI sebagai perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat nikah. Karena, sesuai ajaran agama setiap pernikahan hendaknya membawa kemaslahatan bagi laki-laki dan perempuan yang menikah, maupun bagi kedua keluarganya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
"Tujuan pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah dan memperoleh keturunan yang baik serta sehat. Kondisi tersebut, bisa tercapai pada usia di mana calon mempelai telah sempurna akal pikiran dan mental, serta siap melakukan proses reproduksi," tegas Muhajir.

Pernikahan anak, katanya, akan berpotensi menghasilkan bayi yang kurang sehat karena anak perempuan di bawah usia 18 tahun fisiknya belum siap untuk melahirkan. Orang tua berperan sangat besar untuk mencegah perkawinan anak. Karena itu, orangtua harus bijaksana dan memikirkan dampak panjang yang akan terjadi bila menikahkan anak.

Keputusan untuk menikahkan anak inilah yang mestinya dipertimbangkan secara bijaksana oleh orang tua. Karena itu, orang tua perlu diedukasi mengenai sosialisasi pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan perkawinan yang tidak tercatat, demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul. 

Dalam kesempatan itu, sejumlah pemuka agama -- Nasrani, Katolik, Hindu, Budha, Islam, Konghuchmenyampaikan dukungannya atas Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan. Menurut pandangan agama, pernikahan anak tidak sejalan dengan ajaran agama.

Ulama perempuan juga meminta pemerintah Indonesia mencegah dan menghapus perkawinan di bawah umur karena terbukti membawa kerugian dalam pernikahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun