Kendaraan ini mampu mengangkut dua hingga tiga orang penumpang yang duduk di belakang pengemudi.Â
Di negeri asalnya, India, kendaraan ini disebut dengan Tuk Tuk karena suara mesinnya yang berbunyi "tuk...tuk...tuk...tuk".Â
Nah, yang saya naiki ini BBB alias "Bajaj Berwarna Biru" atau "Bukan Bajaj Biasa" atau "Bukan Bajaj Bajuri". Saat melaju suaranya tidak sebising BMW.Â
Suara knalpotnya tetap berisik sih, tapi masih lebih halus. Jadi, saya masih bisa mengobrol dengan kawan saya dan supir bajaj.
Sebagaimana yang saya ketahui, bajaj merah atau oranye menggunakan bahan bakar bensin, mesinnya bersuara cukup bising dan knalpotnya cukup berasap.Â
Sedangkan bajaj berwarna biru menggunakan bahan bakar gas (BBG), yang suara mesinnya lebih lirih dan knalpotnya lebih sedikit asapnya sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan BMW.
"Pak, sudah lama jadi supir Bajaj?", tanya saya membuka percakapan. Tak ada jeda, langsung terjawab.
"Sudah cukup lama, bu. Ada 12 tahunanlah saya bawa", jawab supir bajaj yang mengaku bernama Soleh ini sambil mengambil arah jalan yang tak biasa karena rute yang biasa saya lewati diportal. Mungkin untuk membatasi pergerakan manusia sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.
"Ramai nggak sih pak sekarang yang naik Bajaj?", tanya saya penasaran.
"Sudah nggak terlalu, bu. Sejak ada ojek online sepi. Berkurang banyak. Ditambah Covid jadi tambah sepi", jawabnya sambil membelokkan arah stang kendaraan roda tiga ini ke kiri setelah melewati Hotel Cipta.
Moda transportasi bajaj ini seperti di antara hidup dan mati. Kalau kata pepatah hidup enggan mati pun tak mau, seiring dengan semakin menjamurnya moda transportasi online. Dibandingkan masa-masa jaya bajaj pada 2001-2016, jelas jauh berbeda.