Biasanya, jika ke kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, saya berjalan kaki dari Stasiun Gondangdia, yang memakan waktu tempuh sekitar 15 menit.Â
Termasuk dekatlah itu, menurut saya. Hitung-hitung anggap saja olahraga jalan kaki, meski kata dokter, baru bisa dianggap "bergerak" jika aktivitas minimal dilakukan selama 30 menit.
Namun, karena saya dan kawan saya sudah kesiangan, jadi rencana jalan kaki gagal total. Tidak enak juga sampai di sana telat banget. Apa kata dunia? Bisa-bisa kami menjadi pusat perhatian.
"Kita mau dijemput dari mana nih?", tanya kawan saya sesampainya di Stasiun Gondangdia. Tangannya sedang mengecek aplikasi ojek online.Â
"Ngapain naik ojek, kita naik bajaj aja. Kasihan juga tuh bajaj sepi penumpang. Apalagi kalau supirnya udah tua gitu", kata saya sambil menuruni anak tangga.Â
"Oh iya ya, bajaj aja. Sepi ya? Apalagi dalam keadaan Covid begini ya. Tarifnya berapaan mak?", tanya kawan saya, yang saya jawab tidak tahu. Lagi pula saya sudah lama tidak naik bajaj. Jadi, ingin kembali merasakan sensasinya.
Jakarta cukup cerah, mentari memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Sesampainya di tempat biasa bajaj ngetem, mata lelaki tua menatap harap ke arah kami, seolah berharap kami akan memakai bajajnya. Ah, tidak ditatap seperti itu, kami memang akan naik bajaj kok.Â
"Ke IDI berapa yak pak. Ikatan Dokter Indonesia, yang dekat Yayasan Kanker Indonesia", kata saya.Â
Supir bajaj yang rambutnya hampir dipenuhi dengan uban itu mencondongkan badan, lalu menjawab, "15.000, Bu".
Tanpa menawar, kami berdua lalu naik. Ini bukan BMW atau "Bajaj Merah Warna", yang dulu sering saya naiki. Entah bagaimana nasibnya kini ya? Mungkinkah sudah punah? Oh iya, mengapa disebut merah ya, padahal kan orange?
Kendaraan ini mampu mengangkut dua hingga tiga orang penumpang yang duduk di belakang pengemudi.Â
Di negeri asalnya, India, kendaraan ini disebut dengan Tuk Tuk karena suara mesinnya yang berbunyi "tuk...tuk...tuk...tuk".Â
Nah, yang saya naiki ini BBB alias "Bajaj Berwarna Biru" atau "Bukan Bajaj Biasa" atau "Bukan Bajaj Bajuri". Saat melaju suaranya tidak sebising BMW.Â
Suara knalpotnya tetap berisik sih, tapi masih lebih halus. Jadi, saya masih bisa mengobrol dengan kawan saya dan supir bajaj.
Sebagaimana yang saya ketahui, bajaj merah atau oranye menggunakan bahan bakar bensin, mesinnya bersuara cukup bising dan knalpotnya cukup berasap.Â
Sedangkan bajaj berwarna biru menggunakan bahan bakar gas (BBG), yang suara mesinnya lebih lirih dan knalpotnya lebih sedikit asapnya sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan BMW.
"Pak, sudah lama jadi supir Bajaj?", tanya saya membuka percakapan. Tak ada jeda, langsung terjawab.
"Sudah cukup lama, bu. Ada 12 tahunanlah saya bawa", jawab supir bajaj yang mengaku bernama Soleh ini sambil mengambil arah jalan yang tak biasa karena rute yang biasa saya lewati diportal. Mungkin untuk membatasi pergerakan manusia sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.
"Ramai nggak sih pak sekarang yang naik Bajaj?", tanya saya penasaran.
"Sudah nggak terlalu, bu. Sejak ada ojek online sepi. Berkurang banyak. Ditambah Covid jadi tambah sepi", jawabnya sambil membelokkan arah stang kendaraan roda tiga ini ke kiri setelah melewati Hotel Cipta.
Moda transportasi bajaj ini seperti di antara hidup dan mati. Kalau kata pepatah hidup enggan mati pun tak mau, seiring dengan semakin menjamurnya moda transportasi online. Dibandingkan masa-masa jaya bajaj pada 2001-2016, jelas jauh berbeda.
"Saat itu, banyak supir bajaj berhasil menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi karena pendapatan yang diraih tergolong lumayan. Ya, kalau sekarang mah sepi", tuturnya.
Dulu, sebagai angkutan yang merakyat, kehadiran bajaj di ibu kota Jakarta menjadi primadona. Ketika pergi kuliah, beberapa kali saya menaikinya. Oh iya, uniknya kendaraan ini ialah jika ingin berbelok, supir bajaj mengeluarkan tangannya karena tidak ada lampu sein.
Kendaraan ini pun mampu mengantarkan penumpang sampai ke perkampungan yang sulit dijangkau oleh mobil. Seperti yang sering saya temui ketika tengah berada di suatu perkampungan.Â
Waktu anak-anak masih kecil, beberapa kali saya ajak naik bajaj keliling Jakarta. Sepanjang perjalanan anak-anak saya tertawa karena badannya jadi bergetar saat kendaraan ini melaju.Â
Seolah-olah ketika berada di dalam bajaj dunia berguncang. Dan setelah turun pun masih terasa getaran itu.Â
Suaranya yang bising ternyata menjadi keseruan tersendiri bagi anak-anak. Terbukti, minta diajak lagi naik bajaj Hahaha...
Saya kalau naik "BMW" suka ketar ketir., terkadang supirnya ugal-ugalan dan melawan arah. Bajaj yang saya tumpangi pernah nyaris terserempet truk saat di kawasan Jakarta Barat. Saya sampai spot jantung.
Sekarang sepertinya bajaj merah tak ada lagi atau masih ada? Saya tidak terpikirkan untuk menanyakan hal ini pada Pak Soleh. Mau warnanya merah, biru, hijau, orange atau kuning sekali pun sepertinya tidak penting baginya.
Karena ia sendiri tidak berencana untuk beralih pekerjaan, mengingat dirinya tidak memiliki keterampilan lain apalagi sudah berumur. Apa lagi yang bisa dikerjakan?
Menjadi supir bajaj menjadi satu-satunya sumber penghasilannya yang ia alokasikan untuk dirinya dan keluarganya. Istrinya tidak bekerja, jadi otomatis hanya mengandalkan penghasilannya sebagai supir bajaj.
Menurut pengakuannya, sepinya penumpang bukan semata-mata karena dampak pandemi Covid-19, tetapi juga oleh ramainya pengguna transportasi dalam jaringan (daring) atau online. Terlebih tarifnya yang lebih murah dibanding bajaj.
Dengan maraknya alat transportasi yang mudah dipesan lewat aplikasi daring di gawai, sudah bisa pastikan menggerus pendapatannya. Belum lagi bus Trans Jakarta yang juga menawarkan kenyaman. Â
Satu-satunya pilihan untuk bisa mendapatkan penumpang ya dengan ngetem. Ya meski seringnya sepi juga. Karena itu, ia bersyukur saya mau menjadi penumpangnya.
Sebelum pandemi, setiap hari dia harus menyetor sebesar Rp 100 ribu pada pemilik bajaj, namun berhubung Covid-19, setoran diturunkan setengahnya, menjadi Rp 50 ribu per hari. Jadi, cukup berat terlebih di usianya yang mulai ringkih.
Darinya, saya belajar banyak, bahwa masih ada harapan di saat kita tetap mau berusaha. Sekecil apapun itu hasilnya, tetap harus disyukuri.Â
Ketika kita menaruhkan harapan pada sepenggal doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka biarkan doa itu yang bekerja. Kekuatan doa tak terletak pada ujung jari telunjuk atau jempol yang memainkan gawai.
Tak lama, kami pun sampai. Perjalanan yang tidak sampai 20 menit karena memang jaraknya dekat. Setelah membayar, saya pun mengucapkan terima kasih dan meminta izin untuk memotretnya.Â
Abang supir kembali mengegas bajajnya beberapa kali, kembali menjemput rezeki yang tersisa untuknya di antara denyut jantung ibu kota.
Bagaimanapun, saya tetap harus mengucapkan terima kasih pada bajaj dan abang supir karena sudah berjasa mengantarkan banyak orang.
Sampai suatu waktu, bajaj pun beristirahat karena tergerus zaman. Saat kekuatan jari dan jempol melalui gawai sanggup mengubah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H