Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Bajaj Riwayatmu Kini...

17 Maret 2021   20:53 Diperbarui: 18 Maret 2021   06:00 2746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya, jika ke kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) di Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, saya berjalan kaki dari Stasiun Gondangdia, yang memakan waktu tempuh sekitar 15 menit. 

Termasuk dekatlah itu, menurut saya. Hitung-hitung anggap saja olahraga jalan kaki, meski kata dokter, baru bisa dianggap "bergerak" jika aktivitas minimal dilakukan selama 30 menit.

Namun, karena saya dan kawan saya sudah kesiangan, jadi rencana jalan kaki gagal total. Tidak enak juga sampai di sana telat banget. Apa kata dunia? Bisa-bisa kami menjadi pusat perhatian.

"Kita mau dijemput dari mana nih?", tanya kawan saya sesampainya di Stasiun Gondangdia. Tangannya sedang mengecek aplikasi ojek online. 

"Ngapain naik ojek, kita naik bajaj aja. Kasihan juga tuh bajaj sepi penumpang. Apalagi kalau supirnya udah tua gitu", kata saya sambil menuruni anak tangga. 

"Oh iya ya, bajaj aja. Sepi ya? Apalagi dalam keadaan Covid begini ya. Tarifnya berapaan mak?", tanya kawan saya, yang saya jawab tidak tahu. Lagi pula saya sudah lama tidak naik bajaj. Jadi, ingin kembali merasakan sensasinya.

Jakarta cukup cerah, mentari memancarkan sinarnya tanpa malu-malu. Sesampainya di tempat biasa bajaj ngetem, mata lelaki tua menatap harap ke arah kami, seolah berharap kami akan memakai bajajnya. Ah, tidak ditatap seperti itu, kami memang akan naik bajaj kok. 

"Ke IDI berapa yak pak. Ikatan Dokter Indonesia, yang dekat Yayasan Kanker Indonesia", kata saya. 

Supir bajaj yang rambutnya hampir dipenuhi dengan uban itu mencondongkan badan, lalu menjawab, "15.000, Bu".

Tanpa menawar, kami berdua lalu naik. Ini bukan BMW atau "Bajaj Merah Warna", yang dulu sering saya naiki. Entah bagaimana nasibnya kini ya? Mungkinkah sudah punah? Oh iya, mengapa disebut merah ya, padahal kan orange?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun