Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ada Apa dengan Polisi Kita?

26 Februari 2021   19:32 Diperbarui: 26 Februari 2021   19:38 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang, kekagetan dan keterkejutan saya atas pemberitaan tertangkap tangannya Kepala Polisi Sektor (Kapolsek) Astana Anyar, Kota Bandung, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi bersama sebelas anggotanya, terkait dugaan pesta narkoba, belum reda.

Sampai sekarang saya masih belum percaya ada pimpinan yang bertugas memberantas narkoba justeru menyalahgunakan wewenangnya. Dan, dia sampai mengorbankan para anak buahnya. Bagaimana perasaan keluarga besarnya?

Eh, saya sudah dikageti lagi, bahkan lebih menggegerkan oleh pemberitaan aksi oknum polisi berlagak koboi, yang menembak membabi buta dar der dor empat manusia di kafe RM, Cengkareng, Jakarta Barat.

Jelas saya mengutuk aksi brutal tersebut. Bagaimana tidak. Tiga di antaranya tewas di tempat -- yang tentu saja meninggalkan luka teramat dalam pada keluarga masing-masing korban. Satu korban lagi masih dalam perawatan insentif.

Parahnya, oknum polisi yang bernana Bripka CS itu dalam keadaan mabuk setelah menegak minuman keras yang dipesannya senilai Rp3,3 juta itu. Saya sampai bergidik membayangkan kejadian itu yang dilakukan oleh polisi yang seharusnya mengayomi dan melayani.

Ada lagi kasus oknum polisi berpangkat Aipda yang bertugas di Polres Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, yang sudah menghilangkan nyawa dua perempuan bernama Rizka Fitria dan Aprilia Cinta yang jenazahnya ditemukan beberapa hari lalu.

Saya pastikan ini menjadi tamparan keras buat Kepala Polisi Republik Indonesia (Polri) Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo yang baru dilantik sebagai POLRI 1 sebulan ini. Dan, bisa saya pastikan juga ini akan membuat wajah Presiden Joko Widodo tercoreng.

Tak cukup Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran, yang menyampaikan permohonan maafnya terkait kasus penembakan tersebut. Kapolri dan Presiden juga, menurut saya, perlu meminta maaf atas peristiwa tragis yang memilukan hati ini.

Ada apa dengan Cinta? Eh ada apa dengan polisi kita? Persoalannya, kejadian memalukan yang merusak citra kepolisian Indonesia bukan kali ini saja. Sudah sering. Itu yang terblow up dalam pemberitaan. Yang "tersembunyi" mungkin lebih banyak lagi.

Jelas ini menjadi kegusaran saya (dan bisa jadi masyarakat lainnya), di saat banyak orang yang bersusah payah dan berdarah-darah untuk bisa menjadi seorang polisi, eh ini ada oknum polisi yang terpaksa harus kehilangan atribut polisinya karena kasus yang menjeratnya.

Sungguh memalukan. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah untuk menjadi seorang polisi itu tidak mudah? Banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Salah satunya sehat secara fisik yang dilalui dengan mengikuti serangkaian tes medis dan sehat secara rohani yang meliputi pemeriksaan secara kejiwaan.

Jika lolos melalui rangkaian pemeriksaan itu, berarti peluang untuk menjadi seorang polisi tinggal di depan mata. Sudah bisa dipastikan, mereka yang lolos menjadi polisi adalah mereka yang sudah dinyatakan sehat jasmani dan rohani. Begitu, bukan?

Bukankah para polisi itu orang-orang pilihan? Tidak semua orang bisa menjadi polisi. Orang-orang yang memiliki nilai karakter positif, juga kekuatan keimanan dan ketakwaan sesuai agama yang dianutnya.

Jadi, mengapa bisa tergelincir? Sementara banyak juga polisi yang jalan hidupnya lurus-lurus saja. Apa yang salah? Apakah karena kurang pengawasan atau kurang mendapat apresiasi? Apakah karena kendornya keimanan dan ketakwaan yang seharusnya menjadi benteng yang paling kuat?

Mengapa kasus seperti ini kembali berulang? Apakah pengawasan berjenjang dari pimpinan hingga tingkat bawah tidak berjalan dengan baik? Tidak berjalan maksimal? Apakah tidak ada pemeriksaan secara berkala, terutama menyangkut kondisi kejiwaan mereka?

Melihat begitu banyak kasus yang melibatkan para oknum, sepertinya wajah lembaga peradilan kita -- kepolisian, pengadilan, penjara, masih rapuh dan memerlukan pembenahan dengan lebih serius.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta Pane, menyampaikan pandangannya. Kata Neta, yang pernah menjadi atasan saya, akibat tidak maksimalnya pengawasan dari para pimpinan, anak buah tak jarang terkesan bertindak seakan tanpa kontrol.

"Saya kira masalahnya pengawasan, karena tidak maksimal maka anak buah di bawah pun seakan bersikap semau gue," ucapnya dalam percakapan group WhatsApp.

Ia pun menyarankan adanya penataan terkait pengawasan, sehingga kasus-kasus yang melibatkan oknum polisi seperti Bripka CS dan Kompol Yuni tidak kembali berulang.

Sebagai masyarakat awam, saya berharap aparat polisi siapapun itu yang terlibat dalam kasus kejahatan yang dapat merusak citra dan wibawa kepolisian kita layak dipecat dengan tidak hormat dan diganjar hukuman berat seberat-beratnya.

Mestinya polisi yang terlibat kasus narkoba diberi sanksi berat agar ada efek jera. Jika bandar narkoba divonis hukuman mati, maka seharusnya polisi yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba ya dihukum mati juga.

Ya kan dia tahu hukum, terlebih khusus lagi jika polisi tersebut diberi tugas untuk memberantas narkoba. Paham hukum, tapi menyalahi hukum. Iya, kan? Jadi, harus dihukum lebih berat daripada masyarakat biasa.

Hukuman berat juga untuk memunculkan efek jera saja sehingga aparat yang lain bisa berpikir berulang kali untuk melakukan suatu pelanggaran. Selama ini kan lebih seringnya sih dari pemberitaan yang saya baca dimutasi atau dicopot jabatannya. Sanksi yang kurang tegas dan tidak berat.

Sama seperti para koruptor karena hukumannya terlau ringan, bahkan mendapatkan remisi maka muncullah koruptor-koruptor baru. Efek jeranya tidak ada. Sanksi sosial berupa malu, lama-lama juga akan hilang bersamaan dengan stigma koruptor yang melekat di diri yang bersangkutan.

Ya memang tidak mudah ya. Semua solusi persoalan ini saya serahkan kepada pakarnya saja. Kalau saya mah ibarat tong kosong yang nyaring bunyinya. Mungkin harus ada pembenahan profesionalisme. Bagaimana, pak Kapolri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun