Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

"Mulutmu, Harimaumu", Ketika Elit Politik Tak Bisa Menjaga Lisan

11 September 2020   12:40 Diperbarui: 11 September 2020   15:50 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada apa dengan paha mulus? Kok jadi "pergunjingan" di ranah politik? Saya jadi penasaran. Saya tulis di FB saya "ada apa dengan paha mulus?" eh kawan saya malah balik bertanya, "Soal paha ayam ya?" 

Setelah saya cari-cari informasi (karena saking penasarannya), ternyata mengenai cuitan yang dibuat dibuat oleh elite Partai Demokrat Cipta Panca Laksana.

"Paha calon wakil walikota Tangsel itu mulus banget," demikian cuitan Panca pada akun Twitter-nya, @panca66, seperti dilihat detikcom, Sabtu (5/9).

Saya yang membaca cuitan itu lantas membayangkan paha mulus seorang calon wakil Walikota Tangerang Selatan. Pasti dia seorang perempuan, meski cuitan itu tidak menyebutkan nama. Seorang perempuan yang memakai rok lantas terlihat pahanya yang mulus.

Dalam benak saya paha mulus identik melekat pada sosok perempuan. Tidak mungkin juga kan seorang lelaki normal menulis cuitan seperti itu untuk paha seorang lelaki? 

Apa kata dunia seorang lelaki ("terpandang") mengomentari paha seorang laki-laki lain? Lha menulis cuitan seperti itu saja dunia perpolitikan seketika menjadi gaduh. 

Meski dia tidak menuliskan nama, sudah bisa dipastikan maksud cuitan itu menyasar paha seorang perempuan. Terlebih setelah ditelusuri calon wakil Walikota Tangsel itu seorang perempuan bernama Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. Nama yang sangat perempuan. 

Ya memang kandidat bakal calon Wakil Wali Kota Tangsel semuanya adalah lelaki, kecuali Rahayu. Tapi tidak masuk akal juga kan kalau cuitan itu diarahkan kepada lelaki?

Apa ada makna lain dari kalimat itu? Apakah kata paha mulus bermakna ganda? Apalagi kata itu disandingkan dengan "calon wakil walikota". Jadi, menurut saya sebagai orang awam, jelas untuk menggambarkan kondisi paha mulus seorang perempuan yang tak lain calon wakil Walikota Tangsel.

Bagaimana dia bisa tahu paha calon Wakil Walikota Tangsel mulus? Apakah dia melihat secara langsung saat perempuan itu mendaftarkan diri ke KPU setempat? Atau jangan-jangan dia melihat di lain kesempatan, ketika mungkin saja tengah berolahraga? Atau ia melihat dalam khayalannya saja?

Saya yang seorang perempuan saja membayangkannya seperti itu. Bagaimana dengan yang lain? Bisa jadi seperti yang saya bayangkan. Jadi, ciutannya itu menurut saya sudah mengarah pada "perbuatan asusila", "perbuatan cabul", perilaku tak senonoh, pelecehan seksual. 

Dan, yang menjadi persoalan, itu tidak pantas dituliskan oleh seorang politisi yang juga seorang dosen. Orang intelek yang berpendidikan. Terkesan tidak berkelas banget. Perilakunya ini jelas tidak memberikan contoh baik pada generasi muda. 

Terlebih ditulis di media sosial yang bersifat publik. Itu sama saja artinya dia sudah "menelanjangi" seorang perempuan di depan umum. Wah ini sih bisa disangkakan melanggar UU ITE. 

Okelah paha calon Wakil Walikota Tangsel mulus, tapi kan bukan berarti harus diulas oleh dia. Di media sosial lagi. Kalau memang terpesona, ya dalam hati saja, tidak perlu diumbar ke publik. Kan bikin malu.

Kalau saya dibegitukan, jelas saya malu. Harga diri saya terlecehkan. Bagaimana perasaan dia kalau ada pria yang menuliskan cuitan yang sama yang diarahkan kepada istrinya atau anaknya yang perempuan atau ibunya atau kerabatnya? Apakah biasa-biasa saja? Ah, saya ragu.

Saya gagal paham kalau dia bilang ciutannya itu tidak mengarah pada seseorang. Sudah jelas dia menulis "paha mulus" yang dilanjutkan dengan "calon wakil Walikota Tangsel". Dari kalimat ini saja sudah bisa dipastikan mengarah pada sosok tertentu.

Karena viral dan bikin gaduh, ciutannya itu pun dihapus. Dia pun meminta maaf yang permohonan maafnya pun tidak ditujukan kepada sosok yang ditulisnya. Kan koplak, tidak gentlemen, tidak ksatria, menurut saya.

"Mohon maaf kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan twit tersebut. Memang gaya saya di twitter seperti itu. Sekali lagi mohon maaf," kata Panca melalui akun Twitter @panca66, kemarin. 

Dari kalimat ini berarti dia sudah terbiasa dong ya menulis cuitan yang mengarah pada fisik  atau seksualitas seseorang? 

"Sehubungan twit pribadi saya mengenai paha mulus cawalkot Tangsel sudah terlanjur viral, dengan ini saya mendelete twit tersebut," lanjutnya.

Apakah dengan menghapus cuitan itu, persoalan lantas selesai? Ternyata tidak. Calon wakil Wali Kota Tangerang Selatan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo amat menyesalkan cuitan yang menyinggung paha mulusnya. 

Ia amat menyayangkan cuitan bernada seksis ini datang dari politikus sekelas Demokrat. Kekinian, ia juga tengah mempersiapkan langkah hukum terkait cuitan itu. Nah kan jadi panjang deh urusannya?

Kasus serupa juga dialami bakal calon wakil Wali Kota Depok, Afifah Alia, yang berpasangan dengan Pradi Supriatna dalam Pilkada Depok 2020. Ia mengaku telah dilecehkan secara verbal oleh lawan politiknya sesama calon wakil wali kota, yaitu Imam Budi Hartono. 

Insiden tersebut terjadi ketika kedua kandidat menjalani tes kesehatan di RS Hasan Sadikin, Bandung, Selasa (8/9/2020).

"Kamar kandidat Pilkada Depok bersebelahan. Saat petugas rumah sakit menginformasikan kamar saya, tiba-tiba Pak Imam Budi melontarkan ujaran, 'Sekamar sama saya saja, Bu Afifah'," ungkap Afifah melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Kamis (10/9/2020) siang.

"Di situ ada Pak Idris (pasangan Imam, calon wali kota Depok) yang mendengar, lalu tertawa terbahak-bahak sambil jarinya menunjuk Pak Imam," lanjut kader PDI-P tersebut. Imam adalah calon wakil wali kota yang berpasangan dengan inkumben Mohammad Idris. 

Ia juga kini tengah mempertimbangkan apakah akan dibawa ke jalur hukum atau tidak. Ia masih  menunggu permohonan maaf dari rivalnya itu. Kalau begini, panjang lagi urusannya.

Menurut saya, meski konteksnya bercanda, jelas candaan yang tidak berkelas yang dilontarkan oleh seorang calon pemimpin. Ini sama saja dengan melecehkan seorang perempuan, terlepas siapapun itu. Sangat tidak sensitif gender. Jelas amat memprihatinkan.

Kalau dia akhirnya terpilih, apa ada jaminan dia tidak akan melakukan hal serupa kepada perempuan lain? Kasus ini, menurut saya, menjadi gambaran betapa pelecehan seksual terhadap perempuan menjadi fenomena biasa yang tidak perlu terlalu dirisaukan.

Ya, lidah memang tidak bertulang. Karenanya, kita, terlebih jika kita adalah seorang calon pemimpin, harus berhati-hati dalam berlisan. 

Ibarat pepatah "mulutmu, harimaumu".  Yang artinya, kita harus waspada terhadap mulut sendiri. Bila kita tidak hati-hati, kata yang keluar justru akan mencelakai kita sendiri. Bak harimau yang tiba-tiba berbalik menerkam pawangnya.

Seperti halnya yang terjadi pada Ketua DPR RI Puan Maharani. Kalimat "Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila" menuai protes yang berimbas pada ditariknya dukungan terhadap Mulyadi dan Ali Mukhni yang diusung PDI-P. 

Pasangan Mulyadi-Ali Mukhni juga batal mengikutsertakan PDIP sebagai partai pengusung untuk pemilihan gubernur di Sumatera Barat. Hal itu tak lepas dari kekecewaan tokoh masyarakat setempat dengan pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP itu. PDIP dipastikan akan semakin sulit meraih hati masyarakat Sumbar pasca pernyataan Puan itu.

Bagaimanapun, kata-kata yang keluar dari mulut kita tidak dapat ditarik kembali. Meski ucapan sudah dihapus, tetap saja jejak digitalnya masih bisa diketahui. Meski permohonan maaf sudah disampaikan, tetap saja tidak bisa dilupakan begitu saja. Ada hati yang sudah tersakiti. Ada harga diri yang sudah tercederai. 

Pepatah "Mulutmu, Harimaumu" tidak hanya berlaku untuk kalangan politikus saja, tapi menyangkut semua kalangan, semua masyarakat. Termasuk kepada diri saya sendiri. Semua bisa berpotensi masuk dalam perangkap "mulutmu, harimaumu".

"Levelnya" saja yang berbeda. Menjadi gaduh karena bersinggungan dengan elite partai politik yang harusnya bisa memberikan contoh kepada publik. Apalagi biasanya dari para elite politik inilah yang akhirnya menjadi pemimpin suatu daerah. Entah itu, wali kota, bupati, gubernur, bahkan presiden. Belum lagi posisi menteri dan pejabat publik lainnya.

Sebagai calon pemimpin seharusnya memberikan pernyataan yang menyejukkan dan meneduhkan. Bukan perkataan yang melecehkan. Tidak ingin kan "track record" ini menjadi batu sandungan saat pencalonan diri dalam Pilkada nanti. Bukan begitu?

*Analisa ngasal saya (sambil nyengir kuda)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun