Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebenarnya Sudah Siapkah Kita Menjalani Fase New Normal?

8 Juni 2020   12:19 Diperbarui: 8 Juni 2020   14:52 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan ada enam kriteria yang perlu dipenuhi oleh suatu negara sebelum melonggarkan pembatasan dan memasuki era new normal. 

Pertama, negara harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan. Bila mengacu pada angka reproduksi (R0), situasi bisa dikatakan terkendali bila angka R0 di bawah 1. 

Kedua, sistem kesehatan yang ada sudah mampu melakukan identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, hingga melakukan karantina orang yang terinfeksi. Sistem kesehatan ini mencakup rumah sakit hingga peralatan medis.

Ketiga, risiko wabah virus corona harus ditekan untuk wilayah atau tempat dengan kerentanan yang tinggi. Utamanya, di panti wreda, fasilitas kesehatan mental, serta kawasan pemukiman yang padat.

Keempat, penetapan langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja. Meliputi penerapan jaga jarak fisik, ketersediaan fasilitas cuci tangan, dan penerapan etika pernapasan seperti penggunaan masker.

Kelima, risiko terhadap kasus dari pembawa virus yang masuk ke suatu wilayah harus bisa dikendalikan. 

Keenam, masyarakat harus diberikan kesempatan untuk memberi masukan, berpendapat dan dilibatkan dalam proses masa transisi menuju new normal.

Begitu yang disampaikan Prof Ridwan Amiruddin PhD, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, saat menjadi narasumber diskusi daring bertajuk "Pasca PSBB dan Kehidupan Normal Baru".

Diskusi daring ini diadakan bersama Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Komunitas Literasi Gizi, Literasi Sehat Indonesia, sadargizi.com dan Departemen Kesehatan Dewan Pengurus Pusat (BPP) Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, yang ikuti peserta dari kediaman masing-masing.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Indonesia sudah memenuhi keenam persyaratan untuk menerapkan "new nomal" atau "kenormalan baru" yang hari ini mulai berjalan? Kalau saya pribadi sih bilangnya belum.

Buktinya, tren kasus positif Covid-19 masih bertambah saja, meski angka kesembuhan juga meningkat, tapi tetap saja saya khawatir. Terlebih masih banyak masyarakat yang menganggap sepele Covid-19. Masih banyak juga yang enggan menggunakan masker.

Kalau yang kena saya seorang, misalnya, ya tak masalah. Tapi ketika saya menulari ke yang lain tanpa saya sadari, itu akan menjadi masalah serius. Bisa saja anak-anak saya tertular. 

Belum lagi orangtua saya. Belum lagi harus mengingat-ingat siapa lagi yang berinteraksi dengan saya dalam 14 hari ke belakang. Kalau cuma batuk, pilek, sakit kepala biasa sih tidak masalah, tapi ini kan bisa menyebabkan kematian. Ngeri saya.

Harusnya, menurut saya ya, sebelum memutuskan untuk menjalani fase "new normal", pemerintah harus terlebih dahulu mendengarkan pandangan dari kalangan epidemiolog.

Epidemiolog adalah pakarnya dalam menganalisis atau mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan, serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi keadaan tersebut.

Lantas bagaimana pandangan epidemiolog Prof Ridwan Amiruddin PhD? Katanya, kehidupan new normal hanya bisa dicapai ketika suatu negara telah memenuhi enam syarat sebagaimana yang dikeluarkan oleh WHO itu. Untuk syarat pertama saja, kata Prof Ridwan, R0 di Indonesia berada di kisaran 2,2-3,58. Jauh dari ketentuan WHO.

"Jadi sebelum negara memberlakukan konsep kenormalan baru harus dipertimbangkan dengan matang-matang," tandas Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi). 

Bila kriteria-kriteria ini tak bisa dipenuhi, negara disarankan untuk berpikir ulang karena sama saja artinya pemerintah berencana penerapan kelaziman baru.

Menurutnya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebenarnya cukup efektif untuk menahan laju kasus covid-19. Sayangnya, konsistensi pengambil kebijakan, penafsiran penegakan kebijakan dan tekanan psikologis masyarakat membuatnya jadi kurang efektif.

"Kebijakan yang dikeluarkan antar lembaga pemerintah tidak berada pada koridor pemerintahan yang solid. Kadangkala antara kebijakan kesehatan dan transportasi sering berbeda," katanya.

"Penegakan kebijakan PSBB sering ditafsirkan berbeda antara penyelenggara. Dan masyarakat mengalami tekanan psikologis tanpa solusi tepat, terutama kelompok marginal," tukasnya lagi.

Apakah Indonesia sudah memenuhi syarat? Prof. Ridwan, menegaskan jika suatu negara ingin menerapkan new normal maka harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan. 

Selain itu, sistem kesehatan yang ada dari rumah sakit hingga peralatan medis sudah mampu melakukan identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak hingga melakukan karantina orang yang terinfeksi. 

Risiko wabah virus corona juga harus ditekan untuk wilayah dengan kerentanan yang tinggi. Utamanya untuk rumah orang lanjut usia, fasilitas kesehatan mental maupun pemukiman yang padat.

Epidemiolog FKM UI dr. Syahrizal Syarif, M.PH., Ph.D, yang juga menjadi narasumber dalam diskusi tersebut, menilai kasus yang terus meningkat disandingkan dengan wacana pelonggaran PSBB terkesan terlalu dini. 

Jika melihat pada masing-masing wilayah yang berbeda dan belum mencapai puncak kasus, memasuki "new normal" jelas beresiko. Resiko kasus akan makin bertambah.

Arah ke depannya meski akan ada normalitas baru pada masyarakat di semua bidang, bukan berarti pandemi Covid-19 berakhir. Karenanya dibutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapinya.

"Misalnya dalam hal belajar, ibadah, dan bekerja begitupun dengan penggunaan masker untuk pencegahan infeksi, jaga jarak, menghindari kerumunan yang tidak bisa ditawar lagi," tandasnya.

Jika terjadi pelonggaran PSBB ataupun menghadapi new normal maka memakai masker, jaga jarak dan hindari kerumunan menjadi syarat yang tidak bisa ditawar lagi. 

Nah, sudahkah kita siap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun