Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sebenarnya Sudah Siapkah Kita Menjalani Fase New Normal?

8 Juni 2020   12:19 Diperbarui: 8 Juni 2020   14:52 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau yang kena saya seorang, misalnya, ya tak masalah. Tapi ketika saya menulari ke yang lain tanpa saya sadari, itu akan menjadi masalah serius. Bisa saja anak-anak saya tertular. 

Belum lagi orangtua saya. Belum lagi harus mengingat-ingat siapa lagi yang berinteraksi dengan saya dalam 14 hari ke belakang. Kalau cuma batuk, pilek, sakit kepala biasa sih tidak masalah, tapi ini kan bisa menyebabkan kematian. Ngeri saya.

Harusnya, menurut saya ya, sebelum memutuskan untuk menjalani fase "new normal", pemerintah harus terlebih dahulu mendengarkan pandangan dari kalangan epidemiolog.

Epidemiolog adalah pakarnya dalam menganalisis atau mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan, serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi keadaan tersebut.

Lantas bagaimana pandangan epidemiolog Prof Ridwan Amiruddin PhD? Katanya, kehidupan new normal hanya bisa dicapai ketika suatu negara telah memenuhi enam syarat sebagaimana yang dikeluarkan oleh WHO itu. Untuk syarat pertama saja, kata Prof Ridwan, R0 di Indonesia berada di kisaran 2,2-3,58. Jauh dari ketentuan WHO.

"Jadi sebelum negara memberlakukan konsep kenormalan baru harus dipertimbangkan dengan matang-matang," tandas Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi). 

Bila kriteria-kriteria ini tak bisa dipenuhi, negara disarankan untuk berpikir ulang karena sama saja artinya pemerintah berencana penerapan kelaziman baru.

Menurutnya, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebenarnya cukup efektif untuk menahan laju kasus covid-19. Sayangnya, konsistensi pengambil kebijakan, penafsiran penegakan kebijakan dan tekanan psikologis masyarakat membuatnya jadi kurang efektif.

"Kebijakan yang dikeluarkan antar lembaga pemerintah tidak berada pada koridor pemerintahan yang solid. Kadangkala antara kebijakan kesehatan dan transportasi sering berbeda," katanya.

"Penegakan kebijakan PSBB sering ditafsirkan berbeda antara penyelenggara. Dan masyarakat mengalami tekanan psikologis tanpa solusi tepat, terutama kelompok marginal," tukasnya lagi.

Apakah Indonesia sudah memenuhi syarat? Prof. Ridwan, menegaskan jika suatu negara ingin menerapkan new normal maka harus memiliki bukti bahwa penularan Covid-19 di wilayahnya telah bisa dikendalikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun