Toko buku lantai 3 pukul lima sore. Di sinilah tempat terakhirku melihat bayangannya. Tidak ada lagi yang membekas di tempat ini selain rak-rak yang dipenuhi buku-buku beraneka macam. Yah, hanya tersisa kenangan setiap kali aku datang ke sini. Tidak ada yang berubah sejak kejadian tiga tahun yang lalu setelah aku memutuskan untuk pergi. Beberapa karyawan yang mengenalku tersenyum menyapa. Tidak, aku tidak ingin diganggu. Aku hanya ingin sendiri.
Saat ini aku berdiri persis menghadap ke barat tempat di mana sunset  berada. Terakhir aku melihat kagum pemandangan ini dengan senyum mengembang tiga tahun yang lalu. Kini pemandangan itu hambar meskipun tetap menakjubkan. Cukup! Aku harus berdamai. Hidup harus tetap berlanjut.
Tempat ini tidak banyak berubah. Hanya buku-bukunya saja yang bertambah banyak. Aku selalu mengunjungi tempat ini seminggu sekali saat matahari akan terbenam di kaki cakrawala.
"Sendirian saja, mba?" tegur saah satu karyawan.
Aku menoleh. Tersenyum mengangguk lalu kembali memandang keluar. Dari sini kota yang besar akan terlihat. Jika malam tiba, siluet cahaya berpendar keheningan malam. Sunyi.
Aku teringat ketika dia mengajakku pertama kali ke sini. Dia sangat antusias memperlihatkan pemandangan kota yang diselimuti cahaya lampu di gelapnya malam.
"Ini sangat menakjubkan, Rey!" ucapku antusias. Aku bahkan tidak mengedipkan mata saat memandangnya.
"Apa aku bilang, kamu pasti suka." Dia tersenyum menang. "Jangan meremehkan suasana malam, Ra. Kan kamu jadinya melongo seperti itu." Reyhan tertawa mengejek melihatku takjub. Ya, memang aku jarang memperhatikan suasana malam. Aku terlalu sibuk dengan sunsetku. "Sudah cukup kamu takjub melihatnya. Saatnya kita pulang."
Eh? Cepat sekali?
Dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. "Terus mau sampe kapan berdiri di sini? Sampe toko buku ini tutup? Besok kan bisa ke sini lagi."
Aku menghembuskan nafas perlahan. "Baik, baik. Setidaknya kau beli satu buku dari sini." Aku melangkah menuju rak buku fiksi yang merapat dengan dinding sebelah timur.
"Aku? Hei, kau yang menatap puas memandangan itu. kenapa pula jadi aku yang beli? Kau curang, Rayya" pemuda itu menatapku kesal berhenti di belakangku.
Aku tidak menjawab. tanganku mencari-cari novel yang asik untuk dibaca. "Nah, lihatlah." Aku menyodorkan sebuah buku ke Reyhan.
Laki-laki yang memakai jaket levis itu menatapku semakin kesal.
"Ayolah. Kau yang mengajakku ke sini. Jadi kau juga yang harus mentraktir aku malam ini." aku memasang wajah polos tak berdosa. Nyengir.
"Kamu selalu bisa menggodaku, Rayya." Dia mengambil novel itu dari tanganku dan melangkah sambil mengomel menuju meja kasir. "Kenapa pula aku bisa berteman dengan mahluk menyebalkan seperti dia." Omelnya.
Selalu saja menyenangkan saat diajak kemanapun olehnya. Dia seperti tahu apa yang aku butuhkan. Tapi aku selalu saja tidak peduli dengannya.
Sampai saat itu tiba. Saat yang membuat semuanya berubah.
Lengang. Malam ini tidak banyak yang mengunjungi toko ini. mugkin mereka sibuk berlibur, menikmati weekend di pinggir pantai sambil menerbangkan lampion ke udara dengan mengharap sesuatu. Aku masih memandang ke luar. Sudah dua jam berlalu aku berdiri di sini. Jalanan mulai ramai oleh kendaraang. Kota ini semakin sibuk saat malam tiba. Kedai-kedai penuh oleh orang-orang yang kelaparan. Caffe pun tak kalah ramai oleh sebagian remaja yang suka nongkrong dengan teman-teman gengnya. Menghabiskan sisa malam dengan ngobrol sana-sini.
Aku menutup mata.
Saat itu, kali ke dua dia mengajakku pergi. Dengan suasana berbeda.
"Ayo ikut aku." Ajaknya. Dia sudah menarik lenganku sebelum aku menyetujuinya.
"Langit mendung, Reyhan. Kita harus pulang." Tapi Reyhan tidak mendengar kalimatku.
Kami berlari menyusuri taman. Tiba di tengah taman di mana ada air mancur di sana. Tangannya mengambil sesuatu dari balik jaketnya.
Sebuah kotak berukuran sedang berwarna biru. Dia menyodorkannya kepadaku.
Aku menatapnya heran. "Ambil ini. semoga ini bisa menemanimu."
Dahiku terlipat semakin tidak mengerti.
"Ambil saja. Nanti kamu juga bakal faham." Aku menerima kotak itu. memandangnya tak mengerti. "Buka saja. Itu hadiah dariku."
Aku perlahan membuka tutupnya. Apa? Sebuah bunga dan buku? Juga sebuah syal? Aku semakin tidak faham.
"Dengarkan aku, Ra." Reyhan menarik nafas. "Apa yang orang lain katakan tentang pertemanan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang murni berteman itu benar." Dia berhenti sejenak. "Kita sudah berteman lebih dari tiga tahun sejak pertama masuk kuliah. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Aku kira kalimat itu hanya omong kosong, tapi aku salah. Maafkan aku, Ra."
Aku menghembuskan nafas. Menutup mata. Menunduk. "Bukan ini yang aku inginkan dari pertemanan kita, Rey. Kita memang sudah berteman sangat lama. Bahkan kamu sudah dekat dengan orang tuaku, pun aku sudah mengenal orang tuamu. Tapi bukan ini yang aku inginkan." Aku menatap matanya. "Jujur. Aku selalu menepis saat perasaan itu muncul. Tapi kali ini kau berhasil menggagalkannya. Tapi bukan ini yang aku inginkan."
"Kau teman baikku, Rey. Sahabatku. Kau selalu ada saat suka maupun duka. Dan aku menyayangimu sebagai sahabat. Tidak lebih. Aku minta maaf." Aku menutup kembali kotak itu dan mengembalikannya ke Reyhan.
Dia sejenak menunduk kemudian tersenyum tipis ke arahku. "Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Dari awal aku memang seharusnya menahan emosi ini. tapi setidaknya kau simpan hadiah itu dariku. Karena besok aku mau pergi ke luar kota bersama orang tuaku. Papaku dipindah tugaskan ke kota lain. Aku takut kita tidak bertemu lagi. Jadi kau simpan saja, ya."
Sejenak aku memandang kotak yang berwarna biru itu. tersenyum. "Terima kasih, Rey. Jaga dirimu baik-baik. Aku pasti bakal rindu sama kamu. salam buat papa mama."
"Tentu saja kamu bakal kangen sama aku, Ra. Gak bakal lagi ada yang nunjukin tempat-tempat spektakuler di kota ini selain aku." Aku melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia bergurau seperti itu. dia tertawa melihat wajah kesalku.
Malam senyap. Awan mulai menumpahkan air ke bumi. Kami berlarian mencari tempat untuk berteduh. Kota ini masih ramai, meskipun dengan tumpahan air. Siluet cahaya berpendar-pendar  ditimpa air hujan. Kami akhirnya pulang dengan menerjang hujan deras.
Enam tahun kemudian.
Malam ini terasa berbeda. Padahal sudah beberapa kali aku ke sini sendiri, tapi tetap saja berbeda. Bukan toko bukunya yang berbeda, tapi suasana yang kurasakan.
Hujan turun. Deras.
Tanganku mengguratkan sebuah nama di jendela yang basah terkena tampias air hujan. Kenangan itu seolah kembali menari di pelupuk mata. Jelas. Aku menghembuskan nafas. Sebaiknya aku pulang. Tidak ada lagi yang bisa ku kerjakan di sini. Setengah jam lagi toko ini akan tutup. Sebaiknya aku bergegas.
Tanganku sembarang mengambil sebuah buku dari rak fiksi yang sekarang berada di tengah sebelah selatan. Satu buku tebal. Aku menuju kasir untuk membayar buku ini. lima menit kemudian, aku sudah melangkah menuju pintu keluar. Jalanan masih ramai. Hujannya semakin deras dan aku tidak membawa payung. Jika menunggu hujan reda, aku pasti pulang kemaleman. Mama akan cemas menungguku di rumah.
Baiklah, aku akan menerjang hujan ini. Toh, sudah lama aku tidak merasakan sensasi mandi hujan. Aku memasukan buku yang tadi kubeli ke tas kecil. Aku siap untuk berlari.
Tapi, saat aku hendak melangkah, ada yang menarik lenganku dari belakang. Siapa pula yang menahanku? Main tarik-tarik saja lengan orang? Â Aku menoleh ke belakang. Saat itulah mataku menatap tak percaya. Ya Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi ini.
"Kamu selalu saja bandel. Mamamu kan selalu bilang jangan hujan-hujanan. Tapi lihatlah sekarang, dengan santainya aku ingin menerjang hujan di malam hari?" suara itu, suara yang khas saat dia mengolok-olokku. Mataku mulai berkaca-kaca. Bajuku basah terkena tampias hujan.
Lihatlah, laki-laki berambut pirang yang suka memakai jaket levis kesukaannya sekarang berdiri di depanku. Dia mengembangkan payung yang dibawanya. "Ayo, aku antar kamu pulang. Mamamu pasti sudah cemas menunggumu."
Aku masih berdiri mematung. Menatapnya tak berkedip. Aku sungguh rindu. Tanpa bicara apapun, aku berhambur memeluknya. Membuatnya tertegun. "Hey, bilang-bilang dong kalo mau peluk, biar aku bisa mengembangkan payungnya nanti-nanti. Aku selalu saja menyebalkan." Tapi dia membalas pelukanku erat.
Aku melepas pelukannya. Mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
"Kau jangan heran melihatku, Ra. Aku kan sudah bilang, kamu jangan rindu padaku."
Aku tertawa mendengarnya. "Kau masih tetap sama." Aku memperbaiki sweater dan syal pemberiannya. "Aku memang sama. Masih tetep keren kan?" aku balas meninju perutnya mendengar kalimat itu. "Menyebalkan!" seruku sambil menjulurkan lidah ke arahnya lantar berlari menerjang hujan sambil tertawa.
"Hey tunggu! Kau harus pakai payung. Mama kamu akan marah nanti kalo tau aku membiarkanmu hujan-hujanan. Hey!" teriaknya. Dia sudah mengejarku dengan membawa payung yang dia bawa. Dan aku tidak mendengarkannya. Aku sudah berlari melewati haalaman toko buku ini.
Pukul sembilan malam. Kata-kata itu benar.
Aku rindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H