Mohon tunggu...
Lala LailatulBadriyah
Lala LailatulBadriyah Mohon Tunggu... Novelis - Jika Allah ridho padaku, maka tidak ada lagi yang lebih aku senangi.

Semakin besar suatu pohon, maka besar pula angin yang menerpanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Ufuk Barat

13 Mei 2020   09:32 Diperbarui: 13 Mei 2020   09:38 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tentu saja kamu bakal kangen sama aku, Ra. Gak bakal lagi ada yang nunjukin tempat-tempat spektakuler di kota ini selain aku." Aku melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia bergurau seperti itu. dia tertawa melihat wajah kesalku.

Malam senyap. Awan mulai menumpahkan air ke bumi. Kami berlarian mencari tempat untuk berteduh. Kota ini masih ramai, meskipun dengan tumpahan air. Siluet cahaya berpendar-pendar  ditimpa air hujan. Kami akhirnya pulang dengan menerjang hujan deras.

Enam tahun kemudian.

Malam ini terasa berbeda. Padahal sudah beberapa kali aku ke sini sendiri, tapi tetap saja berbeda. Bukan toko bukunya yang berbeda, tapi suasana yang kurasakan.

Hujan turun. Deras.

Tanganku mengguratkan sebuah nama di jendela yang basah terkena tampias air hujan. Kenangan itu seolah kembali menari di pelupuk mata. Jelas. Aku menghembuskan nafas. Sebaiknya aku pulang. Tidak ada lagi yang bisa ku kerjakan di sini. Setengah jam lagi toko ini akan tutup. Sebaiknya aku bergegas.

Tanganku sembarang mengambil sebuah buku dari rak fiksi yang sekarang berada di tengah sebelah selatan. Satu buku tebal. Aku menuju kasir untuk membayar buku ini. lima menit kemudian, aku sudah melangkah menuju pintu keluar. Jalanan masih ramai. Hujannya semakin deras dan aku tidak membawa payung. Jika menunggu hujan reda, aku pasti pulang kemaleman. Mama akan cemas menungguku di rumah.

Baiklah, aku akan menerjang hujan ini. Toh, sudah lama aku tidak merasakan sensasi mandi hujan. Aku memasukan buku yang tadi kubeli ke tas kecil. Aku siap untuk berlari.

Tapi, saat aku hendak melangkah, ada yang menarik lenganku dari belakang. Siapa pula yang menahanku? Main tarik-tarik saja lengan orang?  Aku menoleh ke belakang. Saat itulah mataku menatap tak percaya. Ya Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi ini.

"Kamu selalu saja bandel. Mamamu kan selalu bilang jangan hujan-hujanan. Tapi lihatlah sekarang, dengan santainya aku ingin menerjang hujan di malam hari?" suara itu, suara yang khas saat dia mengolok-olokku. Mataku mulai berkaca-kaca. Bajuku basah terkena tampias hujan.

Lihatlah, laki-laki berambut pirang yang suka memakai jaket levis kesukaannya sekarang berdiri di depanku. Dia mengembangkan payung yang dibawanya. "Ayo, aku antar kamu pulang. Mamamu pasti sudah cemas menunggumu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun