Prinsip Mulur dan Mungkret yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram merupakan cara pandang terhadap dinamika kehidupan dan kebutuhan manusia. Mulur berarti mengembang, yaitu ketika berbagai kebutuhan baru muncul dan berkembang sebagai respons terhadap pengalaman atau situasi tertentu. Sebaliknya, mungkret berarti menyusut, yaitu ketika kebutuhan yang dianggap tidak penting secara alami dilupakan dan hilang.
Mengakui berlakunya hukum mulur-mungkret ini akan membebaskan kita dari jeratan penyesalan dan kekhawatiran, sebab pada hakikatnya tidak ada bahagia dan celaka yang abadi. Rasa sama (raos sami), yang berarti menyadari bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki pengalaman hidup yang serupa. Setiap orang, pada titik tertentu dalam hidupnya, dapat mengalami kesedihan, kebahagiaan, kesulitan, atau keberuntungan. Ketika kesadaran ini tumbuh, akan muncul rasa empati yang mendalam terhadap sesama. Hal ini mendorong seseorang untuk memahami bahwa bahkan dalam keadaan bahagia sekalipun, ada rasa ketidakpastian atau ketidakamanan yang melekat dalam hidup.
Ki Ageng menekankan pentingnya waspada terhadap empat sifat buruk yang dapat merusak ketenangan hidup:
- Meri (iri hati): Ketidakmampuan untuk menerima kelebihan orang lain.
- Pambegan (sombong): Merasa diri lebih baik dari orang lain.
- Getun (penyesalan): Kecewa terhadap sesuatu yang telah terjadi.
- Sumelang (kekhawatiran): Merasa was-was terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi.
Karena sifat-sifat tersebut hanya akan melahirkan rasa luka batin (raos tatu), luka batin yang mengganggu kedamaian jiwa dan  celaka berkelanjutan (Ciloko peduwung), dampak buruk yang berulang akibat ketidakseimbangan diri.
"Manusia tanpa identitas" atau dalam istilah resmi kawruh jiwa adalah Menungso Tanpo Tenger (manusia Tanpa Ciri), yaitu manusia yang perilaku dan tindakannya merupakan hasil dari olah rasanya (instuisi) bukan emosi ataupun pemikiran semata. Manusia seperti ini mampu bertindak dengan kesadaran yang mendalam dan bijaksana, tidak terikat pada kepentingan pribadi, ego, atau pengaruh dari luar.
Melalui filosofi manusia tanpa identitas ini menekankan pentingnya melepaskan segala bentuk kemelekatan terhadap identitas, status, atau atribut duniawi, sehingga seseorang dapat hidup dalam kedamaian batin dan bertindak sesuai dengan kebenaran hakiki.
Mawas diri adalah metode " olah rasa " sebagai sarana latihan memilah - milah (milah - milahke) rasa sendiri dan rasa orang lain untuk meningkatkan kemampuan menghayati rasa sendiri dan rasa orang lain sebagai manifestasi tercapainya pertumbuhan dan perkembangan 'manusia tanpa ciri' yang bahagia sejahtera.
Seseorang akan mencapai kondisi bahagia ini ketika dia sanggup membebaskan dirinya dari keinginan - keinginan ( karep ) yang bersumber dari catatan -- catatan dalam pikirannya, sebuah keadaan stabil dan tidak terombang-ambing oleh berbagai keadaan yang ada, sebuah kebahagiaan yang tidak tergantung pada waktu, tempat, dan keadaan (mboten gumantung wekdal , papan , lan kawontenan). Proses mencapai kebahagiaan ini dapat dijelaskan melalui tiga tahapan utama dalam Kawruh Jiwa, Nyowong Karep (Mengosongkan Keinginan), Memandu Karep (Mengarahkan Keinginan), Membebaskan Karep (Melepaskan Keinginan Secara Total).
WHY?
Prinsip enam 'sa' yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks Transformasi Audit Pajak dan Memimpin Diri Sendiri karena prinsip-prinsip ini memberikan landasan moral dan psikologis yang kuat untuk mencapai keseimbangan, integritas, dan kedamaian dalam kehidupan pribadi dan profesional. Berikut adalah alasan mengapa prinsip-prinsip ini perlu diterapkan: