Legenda mengatakan bahwa aksara jawa diciptakan oleh Ajisaka yang mana susunan aksara jawa dengan pangram "hanacaraka" mengisahkan pertarungan dua abdinya, Dora dan Sembada hingga gugur. Dari sisi Sejarah, aksara Jawa merupakan kelanjutan transformasi aksara Kawi yang bentuk modernnya telah tetap ortografinya sejak abad ke -17.
Dalam bukunya Amir Rochkyatmo menjelaskan (Menurut Wiryamartana 1994) Secara ringkas urutan aksara jawa yang menjadi hafalan adalah : (Rochkyatmo, 1996)
Ha na ca ra ka : ada utusan
Da ta sa wa la  : (mereka) saling tidak cocok
Pa dha ja ya nya : sama-sama unggul
Ma ga ba tha nga : sama-sama menjadi mayatÂ
"ada utusan" disini dapat diartikan bahwa setiap individu memiliki tugas atau panggilan tertentu dalam hidup yang harus dijalankan dengan amanah. Utusan ini adalah perwakilan dari kebenaran, aturan, dan ketertiban yang dibawah oleh Aji Saka, yang biasa diinterpretasikan sebagai lambang dari peradaban dan nilai-nilai moral.
Mengapa Pendekatan hanacraka penting dalam penerapan audit perpajakan di Indonesia?
Pendekatan Hanacaraka dalam filosofi Jawa, dengan prinsip harmoni, dualitas, dan keterhubungan antara aspek lahiriah dan batiniah, memiliki relevansi yang menarik untuk diterapkan dalam audit perpajakan di Indonesia. Berikut beberapa alasan mengapa pendekatan ini relevan:
- Filosofi Hanacaraka menekankan pentingnya keseimbangan (padha jayanya) antara dua kekuatan, dalam konteks ini adalah kepentingan negara untuk memungut pajak dan hak wajib pajak untuk diperlakukan secara adil. Dalam audit perpajakan, auditor harus memastikan bahwa implementasi regulasi tidak hanya formalistik, tetapi juga mencerminkan rasa keadilan sosial. Dengan pendekatan ini, auditor tidak hanya mengandalkan data, tetapi juga memahami konteks sosial, ekonomi, dan etika yang melibatkan wajib pajak.
- Hanacaraka mencerminkan dualitas (data sawala), audit perpajakan juga melibatkan aspek lahiriah (dokumen, laporan keuangan, dan data administratif) serta aspek batiniah (niat, motivasi, dan transparansi wajib pajak). Pendekatan ini mengingatkan auditor untuk tidak hanya terpaku pada angka-angka, tetapi juga mendalami maksud di balik tindakan wajib pajak.
- Hanacaraka mengajarkan bahwa hidup adalah perjalanan siklus (cakra manggilingan), yang relevan dengan audit perpajakan karena siklus usaha dan ekonomi wajib pajak sering kali berpengaruh pada kepatuhan pajak. Dengan memahami siklus ini, auditor dapat mengidentifikasi potensi penyimpangan secara kontekstual.
- Pendekatan Buwono Alit (mikrokosmos) dan Buwono Agung (makrokosmos) dalam filosofi Jawa mengajarkan hubungan erat antara individu dan sistem besar. Dalam konteks audit perpajakan, ini berarti memahami bagaimana tindakan wajib pajak (mikro) berdampak pada keuangan negara (makro).
- Hanacaraka mengajarkan kebijaksanaan melalui dualitas, auditor juga harus menerapkan kebijaksanaan dalam menyeimbangkan kepatuhan terhadap aturan dengan etika profesional. Keputusan dalam audit tidak boleh hanya berbasis formalitas, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap hubungan negara dengan wajib pajak.
Pendekatan Hanacaraka mengajarkan harmoni, keseimbangan, dan kebijaksanaan, yang sangat relevan dalam audit perpajakan di Indonesia. Dengan memadukan prinsip-prinsip ini, audit perpajakan dapat menjadi lebih manusiawi, etis, dan efektif. Pendekatan ini juga mendukung pencapaian tujuan besar sistem perpajakan: meningkatkan kepatuhan secara sukarela, menciptakan keadilan, dan mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan. Dalam praktiknya, pendekatan Hanacaraka mendorong auditor untuk tidak hanya menjadi pengawas, tetapi juga mitra strategis dalam membangun sistem perpajakan yang berkeadilan.