Kupandang setiap sudut rumah. Pipi telah basah tangisku kembali pecah, selepas pemakaman bunda sore ini.
Di satu sisi aku bahagia bunda tidak lagi merasakan sakit yang selama ini ia derita. Kangker payudara stadium akhir menyiksa hari-hari bunda di ujung usianya.
Namun di sisi lain aku masih tidak rela bunda pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Menyusul ayah yang lebih dulu meninggalkan kami karena serangan jantung.
Kini rasa sakit akan kehilangan kembali kurasakan. Hatiku kembali tertusuk. Rasanya seperti kembali terjatuh kedalam jurang yang terdalam. Dalam hitungan bulan aku menjadi yatim piatu.
Hingga dering ponsel bersuara di pangkuanku. "Halo..." suara lirihku mejaawab sambungan telepon.
"Haloo... seandainya aku ada di dekatmu, pasti akan kuhapus air matamu," ucap lembut seorang laki-laki bernama Arga. Sosok yang kukenal lewat media sosial. Sosok yang selalu memberikan penyemangat dalam hidupku, meski kami belum pernah berjumpa. Percakapanku dengan Arga sedikit mengobati kesedihanku.
Sebagai anak tunggal kini aku tinggal sendiri di rumah yang cukup besar. Tante Ami adik dari bunda yang belum kukenal, karena keluarga mereka tinggal jauh di Negeri Orang. Ia meminta aku menunggu kedatangannya. "Jangan bersedih, Laras. Kamu tidak sendiri, masih ada tante, setelah ini kamu tinggal bersama Tante ya." ucapnya beberapa hari lalu setelah ia meminta maaf karena tidak bisa hadir atas meninggalnya bunda, banyak hal yang harus ia urus sebelum meninggalkan Jerman.
***
suara riang sang sahabat yang selalu menemani hari-hari sepiku. Membuyarkan lamuan, langkah cerianya melenggang dari arah pintu yang tidak terkunci.
"Jangan banyak melamun, nanti kesurupan," ucapnya sambil menepak bahuku dan tertawa penuh kemenangan.
"Mikirin siapa sih? Bunda? apa Arga?" lanjutnya sambil mengerlingkan sebelah mata.
"Ke kamar yuk..." Ajakku mengalihkan pembicaraan.
"Eh... tau gak? Aku mau di jodohkan dengan anak dari sahabat Ayahku," tuturnya dengan senyum selebar samudera.
"Wah...asik dong... siapa namanya?" tanyaku penasaran.
"Aku tidak tahu namanya, tapi dia sekarang masih di Jerman."
"Loh... Arga juga di jerman loh," ucapku sedikit terkejut.
"Nanti kalau dia sudah di sini pasti orang pertama yang aku kenalkan itu... ya... kamuuu," ucap Dara sambil mecubit kedua pipiku.
Obrolan panjang kami sukses membuatku melupakan kesendirian dan kesepian yang aku rasakan. Hingga tanpa terasa Dara sudah harus kembali pulang.
Aku kembali sendiri hanya berteman secangkir teh untuk sekedar menghangatkan tubuh. Bunyi ponsel membuat senyumku mengembang seakan tertawa berteman angin. Terlihat chat Arga berada paling atas. Ia selalu bercanda dan bercerita hal-hal lucu membutaku membayang dan melayang bersama kenyamanan hingga malam menjelang dan mataku menolak cahaya, aku terlelap menyambut mimpi untuk sebuah perjumpaan.
****
Waktu begitu cepat berlalu. Hingga tak sempat di catat mendung atau di padatkan senja menjadi kata-kata. Entah seberapa lama aku merasakan bahagia, rasanya tidak terlalu lama.
Satu buah mobil berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Mungkin sahabat atau kerabat Bunda, mengingat lusa adalah genap seratus hari kepergiannya. Memang sejak kemarin banyak karangan bunga dan juga tamu yang datang langsung kerumahku.
Mereka turun dari mobil dan aku tidak mengenalnya. Di ambang pintu aku menyambut kedatangan mereka.
Karena sibuk mengenali wajah asing kedua orang tua, hingga aku terkejut dengan seseorang yang berada di belakangnya.
"Laras?" sapanya.
"Arga?" ucapku tak kalah terkejut.
"Rupanya kalian sudah saling kenal," ucap seorang wanita dengan penampilan yang elegan. Suara itu aku pun mengenalnya.
"Ini Tante Ami, Laras.... Kamu sekarang sudah dewasa ya," lanjutnya. Seraya memelukku. Kuamati wajahnya, ya... wanita ini mirip sekali dengan bunda.
"Tante Ami, adik bunda? lalu kenapa ada Arga?" tanyaku bingung.
"Sini kita bicara sambil duduk," Tante Ami menarik tanganku menuju sofa.
Diam begitu menjeruji, mulutku seakan terkunci. Tatapanku sesekali tertuju pada arga yang duduk di sofa tidak jauh dariku. Kepalanya tertunduk seolah memikirkan sesuatu.
"Kenalkan, Ini Om Angga suami Tante dan itu Arga anak angkat Tante," Jelasnya seraya menggenggam tanganku.
"Arga sebanarnya putra sulung Bundamu, karena waktu itu Bunda sakit keras setelah melahirkan jadi Arga ikut tante ke Jerman. Sudah lama sekali Tante ingin memberitahu kalian, tapi kesibukan selalu jadi penghalang. Di tambah ayah dan bundamu menganggap sepele hal ini." papar tante Ami.
Aku masih diam... dan ... dia... nafasku tercekat, jantungku seakan lepas dari tempatnya. Pikiranku beradu, entah satu pengharapan yang mustakhil di mana persandinganku dengannya selalu aku semogakan.
"Jadi...." Ucapanku tertahan, suaraku tercekat di tenggorokan. Bahkan air mata pun mengalir tanpa kompromi.
"Ya... Arga Kakak kandungmu," ucap tante Ami menjawab kebingunganku.
Aku melangkah dan berdiri di hadapan Arga. Seakan menerima kenyataan yang sudah di takdirkan.
Aku menarik tangan kanannya, "Apa kabar Kakakku?" ucapku dengan senyum gamang.
"Kakak baik," ucapnya dingin seraya menatapku.
Kata 'tidak' seolah berontak dalam benak. Nafasku naik turun tak stabil, keheningan mengukur jarak. Pertemuan dengan Arga yang aku impikan terpatahkan oleh keadaan.
***
Bukan sekedar semu. Bahkan rindu pun menderu. Tertahan bak gelombang menghantam terumbu. Kuletakkan penaku yang merupakan antalogi rindu dan aku hanyalah petrichor nada yang tak kunjung reda. Aku hanya sekedar menahan rindu yang tergenggam, tersekat bahkan menikam. Mengukir senyum sesaat.
Arga menghampiriku, duduk tepat di hadapanku yang sedang sendiri di taman belakang rumah. Satu minggu sudah aku berada di sini. Di Rumah besar peninggalan eyang. Orang tua dari bunda dan tante Ami.
Tangan kokoh Arga membingakai wajahku, ibu jarinya menghapus air mata yang tidak berhenti mengalir di pipiku sejak beberapa hari lalu.
"Jangan luapkan amarhmu kepada yang Kuasa. Karena itu akan merusak jiwamu sendiri, jadilah pribadi yang mampu menyelaraskan apapun yang Allah kehendaki," ucapnya ringan seakan tidak terjadi apa-apa.
"Aku.... Tidak mengerti dengan semua ini," ucapku lirih.
"Kamu pikir aku mengerti?... kita hanya bisa menerima kenyataan tanpa harus membenci keadaan," ucapnya datar.
"Dulu, sebelum aku tau kenyataan ini. kamu wanita yang aku sukai dan aku cintai... setelah ini dan seterusnya... kamu adalah wanita yang sangat aku cintai, sangat aku sayangi bahkan hingga aku mati," lanjutnya seraya menerawang jauh menyelami perasanku dengan tatapan bola matanya.
Semua tentang keadaan yang tak selaras dengan hati dan pikiran. Semua hanyut bak hantaman gelombang. Hatiku tersentak dan tertombak. Sempat beradu antara percaya dan tidak. Nyatanya rasa itu tidak memudar. Cinta pun tak menghindar.
****
"Akan ada tamu, cepat kamu siap-siap sana," ucap tante Ami lembut.
"Tamu? Siapa Tan?"
"Calonya Arga," jawab tante Ami dengan senyum mengembang di sudut bibirnya. Seperti tertusuk ribuan jarum, hatiku terasa sakit hingga rongga terdalam.
Tante Ami dan om Angga menerima tamu sementara aku mematung dengan air mata yang tertahan.
'Dara?' jerit hatiku tak percaya. Melihat sahabatku berjalan anggun di tengah rombongan tamu yang datang. Mengenakan kebaya yang senada dengan Arga.
Hujan mulai turun dari ceruk mataku. Ingin rasanya kusudahi rasa yang tak kunjung pergi. Aku berlari menenggelami sudut kamarku. Ini salahku. Mengapa aku masih menyimpan rapih semua rasa ini di sudut hati terdalamku. Air mataku semakin deras, meratapi harap yang tak lagi selaras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H