Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aritmatika Cinta

14 Juni 2024   10:17 Diperbarui: 14 Juni 2024   10:54 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenalkan, Ini Om Angga suami Tante dan itu Arga anak angkat Tante," Jelasnya seraya menggenggam tanganku.

"Arga sebanarnya putra sulung Bundamu, karena waktu itu Bunda sakit keras setelah melahirkan jadi Arga ikut tante ke Jerman. Sudah lama sekali Tante ingin memberitahu kalian, tapi kesibukan selalu jadi penghalang. Di tambah ayah dan bundamu menganggap sepele hal ini." papar tante Ami.

Aku masih diam... dan ... dia... nafasku tercekat, jantungku seakan lepas dari tempatnya. Pikiranku beradu, entah satu pengharapan yang mustakhil di mana persandinganku dengannya selalu aku semogakan.

"Jadi...." Ucapanku tertahan, suaraku tercekat di tenggorokan. Bahkan air mata pun mengalir tanpa kompromi.

"Ya... Arga Kakak kandungmu," ucap tante Ami menjawab kebingunganku.

Aku melangkah dan berdiri di hadapan Arga. Seakan menerima kenyataan yang sudah di takdirkan.

Aku menarik tangan kanannya, "Apa kabar Kakakku?" ucapku dengan senyum gamang.

"Kakak baik," ucapnya dingin seraya menatapku.

Kata 'tidak' seolah berontak dalam benak. Nafasku naik turun tak stabil, keheningan mengukur jarak. Pertemuan dengan Arga yang aku impikan terpatahkan oleh keadaan.

***

Bukan sekedar semu. Bahkan rindu pun menderu. Tertahan bak gelombang menghantam terumbu. Kuletakkan penaku yang merupakan antalogi rindu dan aku hanyalah petrichor nada yang tak kunjung reda. Aku hanya sekedar menahan rindu yang tergenggam, tersekat bahkan menikam. Mengukir senyum sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun