"Di mana pun tidak masalah untukku, bebas," jawab Zahrana datar. Baginya tidur bersama Ikram mau pun sendiri itu sama saja, toh, satu bulan mereka menikah Ikram belum pernah menyentuhnya.
Saat Zahrana hendak melangkah meninggalkan kamar, tangan Tiara menahan lengannya. "Zahra, tidak kah lebih baik, kamu melepaskan Mas Ikram untukku?" ucapnya.
Zahrana menatap lekat wanita di hadapannya. "Tiara.... Saat ini kita adalah madu, aku akan bersikap layaknya madu yang manis dan bermanfaat untuk pengobat segala sakit, aku harap kamu pun melakukan hal yang sama."
"Sampai kapan kamu bertahan dalam kondisi seperti ini, sementara akulah wanita yang di cintai Mas Ikram," ujar Tiara.
"Apapun yang terjadi dalam hidup ini, bukan hal yang kebetulan.... Ada tujuan dan konsekwensinya, ada misi dan orientasinya, tugas kita hanya memainkan peran masing-masing dari skenario sang maha sempurna," tutur Zahrana dengan tenang.
Ekor mata Zahrana menangkap senyum semirk Tiara. "Jika satu hari nanti Mas Ikram yang akan meninggalkanmu?" ucap Tiara.
"Aku tidak pernah takut di tinggalkan sesama mahluk pemakan rezeki, aku hanya takut di tinggalkan oleh sang pemeberi rezeki, aku yakin jika pun takdir memisahkan aku dan Mas Ikram, Allah tidak akan membiarkan aku kehilangan kehormatan sebagai wanita dan seorang istri," tegas Zahrana.
Senyum Zahrana mengembang di hadapan sang madu sebelum ia berlalu, menuju dapur untuk memastikan persediaan makan malam cukup untuk mereka.
"Sesakit ini ternyata..." batinnya. Saat melihat sang suami memasuki kamar istri keduanya.
Zahrana berjalan menuju kamar pribadinya pandangannya kosong, menyusuri setiap sudut kamar yang dingin dan sepi. Menahan sesak di lubuk hati yang kelam.
Balas budi yang harus ia bayar dengan perasaan, demi etika yang di junjung atas sesama manusia. Zahrana tidak ingin dianggap manusia yang tidak bisa membalas budi, tapi.... Haruskan hal ini ia rasakan?