"Walaikumssalam... siapa ya?"
"Nek... apa kabar? Saya Rahma, Nek," ucapku seraya mendekati dan meraih tangan yang sejak tadi berada di pangkuannya.
"Oh... Bu, Guru... silahkan duduk Bu," ujarnya seraya tersenyum. Tanpa bergeser dari tempat duduknya. Penglihatan yang mulai memudar membuat pergerakannya menjadi terbatas.
"Maaf, Nek... saya baru sempat menjenguk Nenek sekarang," ujarku berbasa-basi sambil menyerahkan kantong bingkisan yang kubawa.
Senyum terukir di sudut bibir kerutnya. Ucapan terimaksaih dan doa pun terucap. Nenek Daimah lantas mengambil kantong yang baru saja kuberikan memindahkannya ke atas pangkuan.
"Nek... simpan di sini saja, ini terlalu berat untuk di pangku," ucapku sambil berusaha memindahkan kembali kantong belanjaan tersebut dari tangannya.
"Tidak apa, Bu guru... Ibu mau potret saya, kan?" aku tersentak mendengar jawabannya. Ada geleyer rasa yang sulit kuartikan, menyelinap dalam ruang batinku.
Kupandang wajah wanita paruh abad di hadapanku. Sudah terlalu banyak orang yang menyakiti perasaannya. Meski mereka memberikan sebagian rejeki untuknya.
Mataku menghangat melihat senyum tulus yang selalu terukir sepanjang menerimaku di gubuknya ini.
"Nek... saya tdak membawa kamera mau pun ponsel. Bagaimana bisa saya memotret Nenek?" ucapku sedikit berbohong.