Â
Arsel....Â
Kamu tidak lebih dari laki-laki pecundang!Â
Aku berusaha untuk baik-baik saja, selalu tersenyum saat menatapmu, aku pikir tidak mengapa hati ini sakit asalkan tetap bersamamu, tapi.... Dengan berjalannya waktu, aku tidak bisa, maaf.... Ini terlalu menyakitkan.
Saat aku menulis surat ini. Cuaca di luar sedang gerimis, tapi.... Matahari bersinar... pernahkah kamu menjumpai fenomena itu? gerimis di saat matahari bersinar? Seperti itulah aku, menangis di saat aku tersenyum, mengenang cinta dan luka yang kamu torehkan secara bersamaan.
Aku tau mungkin tindakanku tidak adil, untukku juga untukmu. Berulang kali aku berfikir tapi tidak juga menemukan titik temu, hubungan kita tidak lebih dari ribuan benang yang saling tertaut, disaat benang yang saling tertaut tidak saling mengikat, hadir benang lain yang membuat keadaan semakin rumit.
Arsel...
Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah jauh dari jangkauanmu, bahkan mungkin aku sudah berada dalam kotak kayu yang terkubur.
Aku akan pergi menuju satu tempat di mana aku akan berjuang melawan sel kangker dalam otakku, jika pun kelak aku kalah dalam perjuanganku, aku tidak ingin mati dengan membawa rasa benci dan dendam, terlebih terhadapmu orang yang sangat aku cintai, meski semua rasa itu saat ini hanya menjadi milikku.
Aku sengaja tidak memberitahukanmu hal ini, karena aku tidak mau rasa cinta yang kamu punya untukku berubah menjadi rasa iba dan kasihan. Aku sangat mencintaimu.
Saat ini rasa cinta itu sama besar dengan rasa benciku kepadamu, mungkin akan berakhir pada titik mati rasa.