"Aku tau batas kesanggupanku, aku takut jika akhirnya menyakiti hatimu lebih jauh lagi, Kinan sudah hidup dan tumbuh di sini, tanpa bisa aku melupakannya," ucap Bima seraya menepelkan sebelah tangan di dadanya.
"Mita, terimakasih sudah membantuku sejauh ini, aku minta maaf jika akhirnya aku tidak bisa, kamu tau bagaimana rasa sakitnya aku, kehilangan Kinan."
"Ini pun sangat menyakitkan untuku, Bim," ucap Mita berurai air mata.
"Sekali lagi, aku minta maaf, tolong hargai keputusanku, sebelum semuanya terlanjur jauh dan itu akan lebih menyakitimu."
Deras air mata Mita membasahi pipinya, harapan yang hancur karena masa lalu, kenangan yang seharusnya terkubur bersama jasadku, namun semua itu masih tetap hidup bersama Bima.
Seandainya bisa ingin kukatakan. Jika sampai detik ini, aku pun masih sangat mencintainya, tapi... sekarang kita hidup di dunia yang berbeda, aku ingin Bima melanjutkan hidup dan berbahagia bersama yang lain.
Bima bangkit dari duduknya, sesaat ia berdiri di samping Mita yang menahan tangis, berusaha membendung luapan air mata.
Ia menyentuh lembut bahu wanita itu, ini tidak harus terjadi seandainya Bima mampu melupakan egonya yang selalu menyalahkan diri sendiri.
"Maafkan aku Mit," ujarnya lirih, guncangan bahu Mita tidak membuatnya merubah keputusan.
Ia pun berlalu meninggalkan Mita. Apakah aku harus senang atau sedih saat aku tahu jika Bima tidak bisa melupakanku.