Lelaki dengan tubuh kekar, meski tatapan mata yang tak setajam dulu, senyumnya yang selalu merekah kini nyaris hilang dari hari-harinya, dan aku hanya mampu menatap sendu di balik jendela, melihat raut wajah penuh luka dan duka yang tak dapat di sembunyikan.
Bima, laki-laki tampan, postur tubuh tinggi besar, dengan alis tebal dan rahang yang tegas, jauh merantau dari kampung halaman demi mengapai cita-cita, bertarung melawan segala rintangan demi beasiswa, yang membuatku selalu bangga berjalan di sisinya.
Duduk sendiri di salah satu kafe, Sesekali Bima, mengecek ponselnya. Dia sedang menunggu seseorang.
"Bima!!" seru wanita cantik melambaikan tangan ke arahnya, berdiri di ambang pintu masuk kafe, senyum ceria mengiringi langkah menuju Bima, yang menyambut dengan senyum.
Aroma lavender menyeruak kepenciuman. Aroma khas wanita cantik nan anggun, yang membuat Bima terpedaya dan melabuhkan cinta kepadanya.
Gadis itu adalah Mita, teman satu kampus dan Bima mengenalnya setelah kepergianku. Perkenalan mereka adalah awal hidup baru bagi keduanya.
Aku kerap kali menyaksikan canda, tawa dan kemesraan mereka dari sini, dari balik jendela, dari sudut hidup yang tak nampak. Memandang dengan iba, semua yang terjadi dalam hidup laki-laki yang sangat aku cintai, selepas hari naas itu.
Kecelakaan itu sudah memisahkan aku dengannya, nyawa terlepas dari raga. Aku pergi dengan membawa cinta dan meninggalkan duka untuk seseorang yang kusayang.
"Ada yang ingin, kubicarakan," ucap Bima seraya menyodorkan secangkir capuchino hangat yang sudah ia pesan sebelum Mita tiba. Kebiasaan manis yang sering kali Bima lakukan, pun saat aku masih bersamanya dulu.
"Heum," jawab Mita sambil menopang dagu dengan kedua tanganya yang bertumpu di atas meja.