Ini sama persis dengan sebuah karya yangmana dunia di dalamnya seperti latar, tokoh dan tema dipengaruhi oleh beragam hal sehingga menjadi sebuah kisah menegangkan, menyedihkan, mengharukan dan sebagainya. Semakin kita membaca dan mengamati alur ceritanya, semakin kita merasakan adanya perasaan atau kondisi yang relatable.Â
Tidak dapat dipungkiri di dalam karya sastra, kita pun akan dapat melihat bagaimana orang-orang hidup dengan segala suka dukanya, kita dapat melintasi waktu dan tempat untuk lalu berkontemplasi bersamanya atau sekadar mencari hiburan.Â
Jika sastra dianggap sebagai sebuah cerminan suatu masyarakat di waktu dan tempat tertentu, pandangan ini tidaklah salah.
Lucien Goldmann, dalam strukturalisme genetik, malah menyebut bahwa karya sastra sebagai sebuah struktur yang dibangun oleh lingkungan sekitar sang penulis.Â
Artinya, situasi dan kondisi dimana sang penulis hidup atau pernah ada semasa hidupnya dapat tercermin dalam karya-karyanya.Â
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misalnya, mengambarkan kehidupan seorang ronggeng bernama Srintil dan kekasihnya Rasus yang seorang tentara di Dukuh Paruk.Â
Konon, Tohari terinsipirasi oleh sebuah desa bernama Gerduren di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Beberapa literatur menyebut, Tohari terinspirasi juga oleh peristiwa pembantaian PKI di Pekuncen, Jatilawang, Purwokerto.Â
Bagi kita yang tidak pernah mengenal ronggeng atau sekadar mendengar istilahnya, novel ini kemudian memberikan ilustrasi dalam imajinasi kita. Atau mengetahui peristiwa terkait PKI hanya dari buku-buku sejarah semasa sekolah.
Itu sebabnya meski sebuah novel merupakan karya fiksi, kita masih dapat melihat keterkaitannya atau relevan dengan waktu-waktu tertentu.Â
Selain itu, karya sastra dan kita seolah memiliki benang merah yaitu sebuah proses tidak tahu menjadi tahu. Suatu pembelajaran dari teks yang berisikan nilai, norma dan dan membentuk kualitas diri.Â