Mohon tunggu...
Nenden Rikma Dewi
Nenden Rikma Dewi Mohon Tunggu... Freelancer - What you seek is seeking you. (Rumi)

Content writer, proofreader and academic consultant.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sastra Tidak Hanya Sekadar Persoalan Fiksi

17 Juli 2021   22:54 Diperbarui: 19 Juli 2021   16:02 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski Indonesia disebut berada di posisi 62 dari 70 negara dalam hal tingkat literasi, buku-buku dengan beragam genre cukup banyak diminati masyarakat. 

Novel terjemahan bahkan diterbitkan berulang oleh penerbit besar karena tingginya animo pembaca. Begitu juga dengan karya-karya yang diterbitkan penerbit indie banyak diminati generasi muda.

Lorong-lorong bertuliskan sastra di toko-toko buku pun penuh dengan aneka judul novel dan banyak lagi. Setiap mendengar istilah sastra, ramai orang mengaitkannya pada karya-karya fiksi seperti drama, puisi, cerpen, novel, dan syair. Namun, benarkah sastra hanya sekadar itu dan tidak ada lainnya? 

Horace, seorang sastrawan di era Yunani Kuno, menyebutkan bahwa sastra, khususnya puisi, seharusnya memiliki dua sifat, indah dan berguna (utile et dulce). Artinya, sebuah karya sastra tidak hanya untuk dinikmati tetapi juga untuk dijadikan pengajaran bagi para pembacanya.

Ketika kita memahaminya sebagai sebuah istilah yang berasal dari kata Sansakerta, sastra dimaknai sebagai teks berisikan instruksi atau pedoman kehidupan. Bentuknya dapat berupa lisan dan tulis, sehingga kita pun familiar dengan cerita rakyat dan legenda dari tuturan orang tua kita. 

Dalam bahasa Inggris, sastra mengandung text yang merupakan akar kata dari textile atau kain. Istilah sastra atau literature sendiri berasal dari kata litteratura dalam bahasa Latin berarti belajar, tulisan, tata bahasa.

Teks sendiri tidak selalu berupa tulisan, karena suara, gambar, foto, tuturan, musik, tarian dan banyak lagi menyimpan dan/atau membawa gagasan-gagasan. Begitu juga dengan karya-karya seni lukis, pahat dan patung yang seringkali dianggap hanya dapat dinikmati segelintir orang.

Saya memahami bahwa sastra adalah segala sesuatu yang ada dalam kehidupan kita. Sebuah gaun indah penuh warna warni dan bertaburan permata adalah sebuah benda yang tampak di depan mata, namun bisakah kita melihat apa yang ada di baliknya?

Ketika kita melihat jauh lebih dalam, gaun warna-warni itu semula berasal dari puluhan bahkan ratusan gulungan benang yang terjalin satu sama lain. Setiap benang memiliki warna, tekstur dan karakteristik yang berbeda dengan lainnya.

Semua warna tampak hanya saling tumpang tindih. Keindahan gaun itu tidak atau setidaknya belum terlihat. Namun, ketika kita melihatnya secara menyeluruh atau setelah menjadi sebuah gaun, keindahannya pun muncul.

Ini sama persis dengan sebuah karya yangmana dunia di dalamnya seperti latar, tokoh dan tema dipengaruhi oleh beragam hal sehingga menjadi sebuah kisah menegangkan, menyedihkan, mengharukan dan sebagainya. Semakin kita membaca dan mengamati alur ceritanya, semakin kita merasakan adanya perasaan atau kondisi yang relatable. 

Tidak dapat dipungkiri di dalam karya sastra, kita pun akan dapat melihat bagaimana orang-orang hidup dengan segala suka dukanya, kita dapat melintasi waktu dan tempat untuk lalu berkontemplasi bersamanya atau sekadar mencari hiburan. 

Jika sastra dianggap sebagai sebuah cerminan suatu masyarakat di waktu dan tempat tertentu, pandangan ini tidaklah salah.

Lucien Goldmann, dalam strukturalisme genetik, malah menyebut bahwa karya sastra sebagai sebuah struktur yang dibangun oleh lingkungan sekitar sang penulis. 

Artinya, situasi dan kondisi dimana sang penulis hidup atau pernah ada semasa hidupnya dapat tercermin dalam karya-karyanya. 

Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misalnya, mengambarkan kehidupan seorang ronggeng bernama Srintil dan kekasihnya Rasus yang seorang tentara di Dukuh Paruk. 

Konon, Tohari terinsipirasi oleh sebuah desa bernama Gerduren di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Beberapa literatur menyebut, Tohari terinspirasi juga oleh peristiwa pembantaian PKI di Pekuncen, Jatilawang, Purwokerto. 

Bagi kita yang tidak pernah mengenal ronggeng atau sekadar mendengar istilahnya, novel ini kemudian memberikan ilustrasi dalam imajinasi kita. Atau mengetahui peristiwa terkait PKI hanya dari buku-buku sejarah semasa sekolah.

Itu sebabnya meski sebuah novel merupakan karya fiksi, kita masih dapat melihat keterkaitannya atau relevan dengan waktu-waktu tertentu. 

Selain itu, karya sastra dan kita seolah memiliki benang merah yaitu sebuah proses tidak tahu menjadi tahu. Suatu pembelajaran dari teks yang berisikan nilai, norma dan dan membentuk kualitas diri. 

Ilustrasi kain warna-warni (Foto: Kavya P. K via Unspalsh.com)
Ilustrasi kain warna-warni (Foto: Kavya P. K via Unspalsh.com)

Proses pembelajaran ini memicu pergulatan batin dan pemikiran, sehingga kemudian disiplin ilmu lainnya seringkali terlibat untuk memahami lebih lanjut. 

Seringkali sastra mendorong kita untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, bahasa, hukum, psikologi, antropologi, sejarah, geografi,ekonomi dan lainnya. Bagaimana tidak, bukankah sebuah karya sastra pun di dalamnya terkandung persoalan-persoalan ini?

Selain itu karya-karya bergenre science fiction atau fiksi ilmiah membuat kita mempertimbangkan banyak hal melalui kaca mata ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki saat ini.

The War of The Worlds, Star Ship Troopers dan Altered Carbon adalah sedikit dari karya fiksi ilmiah yang berbicara tentang alam semesta dan melibatkan kemutakhiran teknologi, bahkan peperangan antar galaksi.

The Island of Doctor Moreau karya H. G. Wells malah dianggap sebagai inspirator dari penemuan rekayasa genetika. Dalam novel itu, tokoh Doctor Moreau mampu mengubah susunan struktur gen makhluk hidup dan menciptakan makhluk hidup jenis lainnya.

Novel ini dipublikasi tahun 1896 sedangkan rekayasa genetika baru ditemukan pada 1973. Wells seolah memprediksi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di masa depan yang melampaui masanya.

Pada nyatanya, fiksi ilmiah pun mengangkat isu-isu yang dekat dengan kehidupan, entah itu terkesan utopia atau distopia. 

1984 dan Fahrenheit 451 sebagai novel bergenre distopia ini misalnya menggambarkan kondisi masyarakat yangmana kehidupannya dikuasai oleh pemerintah.

Banyak realita yang dipaparkan dalam kedua novel ini terasa dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Isu mengenai kebobrokan pemerintah, tindakan represif serta penggunaan teknologi mutakhir kemudian tiba-tiba dapat dipahami secara organik.

Kenyataan dalam dunia fiksi seolah adalah bagian dari dunia yang kita tinggali dan kita tidak dapat keluar darinya selain berpikir dan bertindak sesegera mungkin. 

Sastra dengan begitu tidak melulu tentang cerita romansa dua insan yang mengharu biru bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun