Mohon tunggu...
nendenhendarsih
nendenhendarsih Mohon Tunggu... Guru - .Ibu rumah tangga ,telah menulis 11 buku bersama.

Buku karyanya berjudul Menyakini dan Menghargai di launching langsung oleh Mentri Agama tahun 2020

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dendam Putih

28 Januari 2025   14:20 Diperbarui: 28 Januari 2025   16:34 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja terlihat temaram, matahari sudah lama tenggelam . Tersisa hanya bayangan masjid kubah 99 yang berdiri gagah nan pongah. Armani masih duduk di tepi Pantai Losari, ditemani sunyi. Hiruk pikuk di sekelilingnya dan semarak lampu yang berpendar bagai  jejeran rembulan tak dia hiraukan. Sebulan lalu dia wisuda sebagai sarjana matematika. Saat itu hatinya penuh dengan bunga, Bahagia. Amanah seberat gunung yang nangkring selama 7 tahun di pundaknya,seolah hilang saat untaian pita di toganya dipindahkan dari kiri ke kanan oleh sang professor pembimbing skripsi. Ditemani Lastri sang istri, dia ingin berbagi bahagianya bersama seluruh warga desa. Dua minggu lalu dia boyong Lastri ke desa Maloku ini.  Dia tak pernah menyangka , ternyata beban sebesar gunungnya kini berganti menjadi beban seluas Samudra . Gelar Sarjana Matematika  yang disandangnya kini, ternyata tak berfaedah untuk menghasilkan uang di kampungnya . Dompet dan sakunya kini setipis tisu dibagi tujuh persis seperti jembatan Sidrotul Muntaha . Tak selembar rupiahpun terselip di sana.Terpeleset sedikit kata katanya menjadi caci maki pada nasib dan menyalahkan taqdir, kakinya siap tergencir ke dalam kobaran api hawa nafsu neraka. Sekuat tenaga ,sepenuh jiwa, Armani mencoba menjaga kewarasan berpikirnya dan tetap berprasangka baik pada Allah dan taqdirNya.

  Lunglai langkahnya gontai menuju rumah kedua orangtuanya. Esok hari, dia terpaksa kembali harus menengadahkan tangan ke hadapan orangtuanya demi sekotak susu dan satu pack diapers untuk bayi mungilnya yang baru berusia 6 bulan, Aira namanya.  Didorongnya pelan pintu kamar tempatnya beristirahat selama dua minggu ini. Disaksikannya Lastri sedang menepuk nepuk bayinya untuk segera tidur lelap. Rupanya dia baru selesai memberikan air ASInya. Ah...lagi lagi dirinya terlambat membantu sang istri. Pelan dibaringkannya badannya di sisi ranjang yang kosong. Di usapnya kepala Lastri seraya bergumam "dek, maafkan mas yah". Armani hanya merasakan sebuah anggukan dari kepala Lastri, dia tidak melihat bulir bening yang lepas dari pelupuk mata sang istri. Bukan airmata sedih, Wanita bergelar sarjana tehnik elektro itu justru bahagia. Suaminya demikian perasa dan peka pada perasaan berat yang kini mengganjal di dadanya. Kecanggungan hidup bersama mertua, rasa berat hati setiap kali menyuapkan nasi yang pulen namun terasa bagai butiran pasir yang keras di tenggorokannya. Bukan karena pandangan hangat tapi penuh selidik dari ibu mertuanya, tapi karena kesadaran diri atas segala kekurangannya. Dirinya hanya seorang yatim piatu yang bertemu Armani karena tinggal di pondok pesantren yang sama saat mereka kuliah di Solo.

Malam beranjak kian larut. Kepedihan dua hati yang telah terpaut dan dirajut saat di pondok berbalut tasbih dan doa ,  kini sedang bergelut dalam kalut. Armani yang tak kunjung lelap ke dalam mimpi , bangkt dari kasur dan menuju kamar mandi. Mungkin 12 rokaat sholat malam akan menenangkan gundah gulananya yang makin meraja. Dirinya seakan dipaksa memuutuskan asa untuk bahagia tiap kali menjalani hari tanpa pekerjaan pasti dan penghasilan pasti. Akan dia pastikan  esok tidak  ada petaka yang akan membakar surganya menjadi neraka.

######

Tidak ada yang pasti dan tetap di dunia yang fana ini ternyata. Armani mengusap pipinya yang basah. Ingin sekali dia juga mengusap luka di hatinya dan hati Lastri yang berdarah. Tadi subuh, usai dari masjid berjamaah, dia melihat istrinya menunduk pasrah saat mendapat ceramah gratis dari ibunya. Lastri dibesarkan dan diasuh oleh paman dan bibinya yang sangat lembut. Kiyai dan buyai yang tutur katanya sehalus kain sutra, penuh kilau hikmah dan serat pelajaran hidup, tak pernah menyalahkan apalagi membentak dengan suara keras. Mereka tahu betul cara memuliakan anak yatim yang diasuhnya. Kini, Armani untuk kesekian kalinya dipaksa melihat hati istrinya digores sembilu melalui kata kata ibunya yang demikian frontal dan vulgar, menuduh istrinya sebagai wanita yang mau enaknya saja, tak pernah mau membantu suami  untuk turut bekerja ke sawah.

"Mas, aku tidak apa -apa", ujar Lastri lirih saat Armani gegas menghampirinya dan memeluk pundaknya dari belakang. "ibu sudah keterlaluan, kemarin dia memarahiku sebagai sarjana gak guna, sekarang  memarahi Lastri sebagai istri gak guna", ujarku seraya mengajak Lastri meninggalkan ibu yang terperangah mendengar kalimatku.

"Ibu mungkin hanya kecewa mas,melihat kita seperti ini", Lastri masih berusaha memadamkan api yang menyala di dada suaminya yang terlihat dari kilat matanya yang bergerak dengan gusar. Juga tangannya yang bergerak sedikit tremor.

"Daripada terus begini, dan kita saling mengecewakan, bagaimana kalau kita pergi kembali ke Solo?", tanya Armani seraya membereskan pakaiannya dari lemari.

"Mas, jangan begitu, kedua orangtuamu sudah sepuh, kalau tidak ada kamu, siapa yang merawat mereka, kedua kakakmu bertinggal di kota yang jauh",

"tidak apa apa Lastri, dari pada setiap hari kita saling menumpuk dosa, karena amarah, lebih baik setiap hari kita penuhi dengan saling mendoakan dari jauh", jawab Armani tegas tak terbantahkan. Tangannya terus memasukkan satu demi satu pakaian ke dalam koper hitam.

"oh , mau pergi kemana kau ? jangan pulang sekalian. Ibu malu mendengar komentar para tetangga yang selalu bilang kamu sarjana gak guna, nyawah gak bisa, ngajar gak mau, malah bawa istri yang sama gak gunanya", entah kemana semua kasih sayang ibuku pergi menghilang dan raib. Mungkin di gondol kolong wewe atau siluman Samudra Losari. Armani dan Lastri terpaku pilu mendengar kalimat pengantar kepergian mereka. Tidak ada doa dan harapan dari mulut orang tua Armani. Mereka pikir kasih sayang orangtua itu pasti ada sepanjang hayat. Ternyata yang pasti di dunia hanya  perubahan. Orangtua Armani yang semula bangga atas prestai dirinya menjadi santri selama 17 tahun dan sarjana matematika dari kota kini berubah menjadi kekecewaan. Paman dan bibi Lastri yang semula memuliakan dirinya karena anak yatim, kini berubah menjadi membenci karena ketidakpatuhannya saat memilih Armani sebagai suami , bukannya pria yang telah mereka pilihkan.

Tersaruk Armani berjalan menapaki trotoar. Tangannya menggenggam erat tangan wanita berwajah chindo yang telah ditaksirnya sejak 10 tahun lalu. Kini mereka duduk di pelataran sebuah toko, setelah sejam tadi mereka turun dari bus antar kota. "Mas, de bayi sepertinya kelelahan, tubuhnya sedikit demam kita harus nginep dulu deh sebelum lanjut menempuh perjalanan ke Solo". Merekapun memasuki sebuah penginapan kumuh di tepi jalanan. Sepanjang malam itu, dede bayi menangis , badannya panas. Lastri dan Armani sangat kaget dan khawatir.

 Tidak mungkin mereka membawa anaknya ke rumah sakit. Uang mereka hanya cukup untuk ongkos menuju Solo. Hingga subuh menjelang, rengekan tangisan Aira tak berhenti, meski sudah disusukan, ditimang timang dan dinyanyikan. Lastri duduk berselonjor pasrah. "Mas, kita harus ke rumah sakit, demamm aira makin tinggi", ucapnya sambil terisak pedih. "Aku gak mau kehilangan lagi", gumamnya. Armani duduk kaku di tepi kasur, ingatannya kembali ke masa tiga bulan pertama kedatangannya ke kampung. Lastri sedang hamil muda saat itu. Ibunya , menyuruh lastri untuk menemaninya bekerja di sawah seharian menanam padi. Keesokan harinya, Lastri mengalami pendarahan dan saat dibawa ke puskesmas, dia dinyatakan mengalami keguguran. Ibunya malah berkata "jaga bayi sendiri saja gak becus, gimana mau jaga orang lain", dengan wajah datar tanpa rasa sesal dan bersalah karena telah memaksa menantunya bekerja seharian di sawah yang tak pernah dia lakukan.

            Tak ada tanggapan dari suaminya. Lastri mencolek bahu pria tampan di sampingnya yang tampak sedang termenung. "Aku sakit hati banget sama ibu dan ayah, aku pingin balas dendam sama mereka karena telah menyakiti kamu, aku juga akan balas dendam sama paman dan bibimu yang tak pernah mau menjadi walimu saat kita menikah",

Laastri menarik nafas pelan. Dia hanya mampu mengusap pundak Armani. Diapun merasakan luka yang sama. "Hayu mas kita harus balaskan sakit hati ini dengan rasa sakit yang sama",

Semangat membara tiba tiba memantik di dada Armani dan Lastri. Mereka gegas berdiri dan membawa Aira dalam gendongan. Mereka menuju fasilitas kesehatan terdekat. Mereka telah terbakar dendam, tak lagi peduli pada apapun. Dendam ini harus dituntaskan. Mereka menggedor pintu klinik yang tertutup, berharap sang dokter akan terbangun.

#####

"Mas, sudahkah dendammuuntuk Aira dan bayi kita yang tak pernah lahir, tertunaikan ?", tanya Lastri yang sedang sibuk membereskan gamis hitam yang baru saja dibelinya.

"Sudah, dan aku puas sekali", Armani berdiri dari kasur hotel dan mendekati istrinya.

"Kedua orangtua kita telah menerima balasannya karena sudah membuat kita kehilangan, sakit hati ,  dan Aira tak memiliki kenangan tentang nenek dan kakeknya",

Lastri dan Armani kini berdiri di depan jendela besar di kamar hotelnya. Kedua mata mereka menatap Langkah ringkih dua pasang kakek nenek yang berjalan di sebuah pelataran masjidil harom yang sangat luas. Lastri mengenali paman dan bibinya yang memakai pakaian yang dia beli saat di Turki. Armani juga mengenali orangtuanya yang memakai syal yang dia beli dari Dubai.

Hari hari dirinya hanya tidur 2 jam bahkan tidak tidur kerena  mengelola tempat les matematika  telah terbayar. Malam malam yang dia habiskan dengan riset dan menulis artikel di jurnal demi mendapat gelar juga telah terbayar. Kini dirinya telah menjadi ilmuwan matematika dengan deretan karya tulis ilmiah tingkat internasional. Gelar magister dan doctor juga telah diraihnya hanya dalam waktu 4 tahun saja. Puluhan guru telah dipekerjakannya di 4 tempat bimbel yang dimilikinya di Solo dan Yogyakarta. Diapun telah berhasil membagikan beasiswa kuliah hingga s3 pada 3 asistennya.

Dendam putih dia menyebutnya. Dia  membalas sakit hatinya atas pengusiran kedua orangtuanya dengan menjadi versi terbaik dari dirinya. Dendam putih yang membawanya ke sebuah bangunan hitam yang tegak berdiri dengan anggun dan mempesona jutaan umat Islam di dunia. Di hadapannya kokoh berdiri bangunan kotak berselimut kiswah nan wangi . Rumah yang dimiliki zat tempatnya berlabuh dan berkeluh kesah. Dulu, dirinya telah salah, mengira kedua orangtuanyalah tempat terakhir berlabuh dan berkeluh kesah. Saat ini dirinya telah menebus kesalahannya. Bersama wanita baik  berhati sejernih pualam , dan kedua orangtua mereka bersimpuh dalam sujud syukur setelah selesai melaksanakan thowaf wada. Armani  berbalut kain ihrom  putih tampak makin gagah dan tampan. Lastri makin anggun dengan gamis putih dan kerudung putih yang menjuntai. Demikian juga dua pasang kakek nenek di hadapan mereka. Thowaf wada  mengakhiri rangkaian perjalanan ibadah haji mereka. Armani mengusap air mata di pipi dosen elektro ITS itu.

"Rindukan ka bah secukupnya saja, rindu itu berat lho. Biar aku saja menanggung rindu itu". ujarnya pelan. Lastri hanya memukul ringan pundak suaminya yang malah mengejek kesedihannya karena berpisah dengan ka bah.

"ih sebel, sok masih muda, padahal udah anak tiga, pake ngutip kalimat milik Dilan segala.Aku bukan Melia ya mas, hanya hatiku jadi Meleyot. Rindu ka`bah itu bukan hanya berat, tapi juga mahal", ujar Lastri sambil mengingat ratusan juta uang yang dihabiskan suaminya untuk keberangkatan haji plus mereka berenam.

"Insya Allah, ada rizkinya, berdoa saja",

"fa idza parogta fansob, wa ila robbika fargob" bersama -- sama mereka membaca dua ayat favorit dari al qur`an yang diakhiri dengan senyum dan langkah ringan untuk kembali ke Indonesia.  "Jadi kitab alas dendam sama siapa lagi nih ?",

"bagaimana kalua balas dendam sama dosen dosen yang nolak kamu saat kamu balik ke Solo?"...

"Hmmm, boleh juga...".....

Takokak, 28 Rajab 1446 H

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun