Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

If You're Not The One (6)

21 Januari 2019   15:40 Diperbarui: 21 Januari 2019   15:53 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pinterest

Sabtu pagi, aku bercerita kepada Ibu mengenai putusnya aku dan Pipit. Ibu sangat kaget. Aku tahu betapa sayangnya Ibu kepada Pipit. Aku merasa kembali seperti anak-anak yang baru saja menghilangkan benda kesayangannya dan sekarang mengadu kepada Ibu. Ibu hanya menanyakan satu hal kepadaku, apakah aku benar-benar sudah tidak mencintai Pipit lagi. Ibu mempertanyakan apakah aku menyadari perasaanku sendiri dan yakin akan hal itu, karena bagi Ibu, sepertinya aku tidak sungguh-sungguh berusaha mempertahankan Pipit. Seandainya memang karena aku sudah kehilangan cinta kepada Pipit, pada akhirnya Ibu hanya bisa mencoba menghargai keputusan Pipit. Tetapi kalau ternyata aku sendiri pun tidak mengetahui pasti perasaanku yang sebenarnya, Ibu khawatir aku akan menyesalinya nanti. 

Bagi Ibu, Pipit adalah seorang calon menantu yang ideal. Dia cantik, penyayang, baik, ramah, pintar, akhlaknya baik, berasal dari keluarga berada, tapi yang membuat Ibu menyayangi dia adalah, kesetiaannya. Pokoknya Pipit segalanya menurut Ibu. Aku berjanji kepada Ibu akan memastikan perasaanku yang sebenarnya, hanya aku tak punya keberanian untuk menyampaikan bagaimana caraku memastikannya. Aku harus menyelesaikan sesuatu untuk itu. Aku menyadari bahwa selama ini aku tidak pernah berpaling kepada perempuan lain, sampai beberapa bulan yang lalu, pada saat aku mulai menyadari perasaanku terhadap Fira mulai berkembang ke arah yang lebih dari sekedar sahabat. Aku mulai memikirkan Fira lebih sering daripada Pipit.

Sabtu siang, Fira meneleponku. Dia bilang besok pagi dia akan ke Bali karena memang dia sudah mengajukan cuti dari seminggu sebelumnya. Aku menawarkan menemani dia nonton hari itu dan dia mau. Aku jemput Fira jam 5 sore, rencananya kami akan nonton yang jam 9 jadi sempat jalan-jalan dan makan malam sebelumnya. Aku bertekad untuk memastikan perasaanku. Aku harus berani membuktikannya setelah itu aku akan mengambil keputusan.

Di mobil, aku lebih banyak diam sementara Fira terus berceloteh. Tiba-tiba dia menanyakan Pipit,

"Ran, memangnya Pipit kemana? Lagi pergi?" aku sempat berpikir untuk memberikan jawaban terus terang namun akhirnya kuputuskan menundanya. Aku cuma mengangguk.

"Ih kamu nakal ya, udah tau pacarnya lagi nggak ada malah pergi sama perempuan lain." Fira berkata sambil bercanda. Tiba-tiba telepon genggamnya berdering,

"Halo...hai." Dia menjawab dengan sedikit manja, aku sempat kaget melihat caranya berbicara dengan orang yang ada diujung telepon.

"Lagi dimana? Oh, aku mau nonton di PI Mall." Sepertinya orang yang diajak bicara Fira menanyakan dia mau kemana.

"Ok, nanti telepon lagi ya. Aku pulang jam 11-an. Ok, bye." Mesra sekali nadanya bicara dengan orang itu, setidaknya begitu menurutku. Aku tunggu sebentar, berharap dia menjelaskan siapa orang yang barusan bicara dengannya, ternyata dia tidak memberikan penjelasan apa-apa.

"Siapa Fir?" akhirnya aku bertanya.

"Teman."

"Siapa namanya?" akhirnya aku nekat bertanya lagi.

"Ya teman, kamu kenapa sih? Kok nanyanya begitu, mau tau aja. Rahasia donk."

"Masa' aku nggak boleh tau?" Fira cuma senyum-senyum saja, membuatku merasa sedikit sebal.

"Oke kalau gitu..., laki atau perempuan?" aku masih belum menyerah.

"Laki, puas?" aku tau Fira mulai menggodaku.

"Terus siapa namanya?" sambarku. Fira hanya mengerlingkan matanya ke arahku lantas mengubah pokok pembicaraan. Aku sangat penasaran.

Setelah makan malam, aku dan Fira menunggu di salah satu cafe untuk minum kopi sambil mengobrol. Karena malam minggu maka semua tempat penuh sesak, untung masih ada tersisa dua tempat yang bersebelahan. Aku dan Fira duduk sambil menunggu kopi kami datang, karena tempatnya demikian sesak, maka posisi duduk kami menjadi sangat berdekatan. Aku menyadari selama ini belum pernah aku duduk sedekat itu dengannya. Kakinya menyentuh kakiku, walaupun sudah berusaha menjauhkan kakiku, tetap saja kami bersentuhan karena memang tempatnya sempit. Fira duduk disebelahku, kami sempat diam beberapa saat sampai dia mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas sehingga aku harus mencondongkan kepalaku ke wajahnya, karena dekatnya, aku merasa berdebar waktu dia mengulang kata-katanya ditelingaku. Aku berusaha keras untuk bersikap lebih rileks dan membiarkan duduk kami lebih dekat bahkan waktu tangannya sempat mendarat di pahaku untuk beberapa saat, aku berusaha untuk santai, walaupun dada ini rasanya sudah bergemuruh.

Aku perlu mencari tahu apa artinya kami satu sama lain. Setelah mendekati waktu pemutaran film kami meninggalkan cafe dan berjalan menuju bioskop. Fira sempat menggandeng tanganku sebelum akhirnya dia lepaskan lagi. Sejauh itu aku masih belum punya keberanian untuk mulai menyentuhnya. Karena banyak sekali orang, secara naluriah aku menggapai tangannya supaya dia tidak tertinggal di belakangku. Meskipun sudah berada di depan pintu teater 3, tanganku masih memegangi tangannya. Diapun tidak berusaha menariknya.

Sepanjang film, aku berpikir keras untuk menentukan sikapku selanjutnya. Fira meletakkan lengannya disandaran lengan di sebelahku. Aku mencoba meletakkan lenganku disebelahnya dan dia tidak berusaha memindahkan lengannya, tidak keberatan lengan kami bersentuhan. Setelah film selesai kami menuju pintu keluar yang penuh sesak, seperti biasa di pintu keluar semuanya berdesakan, aku rangkul Fira dari belakang membiarkannya jalan di depanku. Sampai luar, aku masih merangkul bahunya dan lagi-lagi dia tidak keberatan. Dia ingin ke rest room begitupun aku. Setelah itu aku menunggu dia di sekitar toilet dan tidak lama kemudian dia menghampiriku. Kami berjalan kearah parkir, kembali aku merangkul bahunya, sepertinya aku sudah ketagihan merasakan sentuhannya. Di dalam mobil Fira jadi pendiam.

"Fir, kok diam? Ngantuk?" aku berusaha bicara selembut mungkin.

"Nggak."

"Terus, kok diam aja, biasanya cerita."

"Nggak apa-apa pengen diam aja. Lagi bingung."

"Bingung kenapa?"

"Nggak tau."

Karena jarak rumahnya dengan PI Mall dekat, maka tak lama kemudian kami sudah sampai ke rumahnya. Aku ikut turun dan mampir ke rumahnya. Mama dan Papanya sudah masuk kamar, tidur. Aku duduk di sofa kulit yang besar dan empuk sekali, Fira menyalakan LCD tivi berukuran 42" lalu dia duduk di sebelahku. Aku memberanikan diri menyentuh rambutnya yang ikal berwana hitam sebahu, Fira tidak mencegahku. Kulanjutkan menyentuh pipinya yang halus, dia raih tanganku,

"Eh nakal ya." Seraya berpura-pura menegur jari-jariku.

"Nggak boleh?" tanyaku sambil mempermainkan jemarinya yang masih memegangi jariku. Aku menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahku. Fira memang sangat cantik, dari jarak sedekat ini aku sangat menikmati wajahnya.

"Randy, kamu nggak boleh begitu. Ingat Pipit donk. Kok kamu jadi agresif begini sih."

"Biar aja, aku suka."

"Kamu pikir aku tega sama Pipit, sampe mau godain kamu?"

"Fir, aku sudah putus." Akhirnya aku mengaku. Kuperhatikan raut wajahnya, terkejut.

"Kapan?"

"Tadi malam."

"Baru tadi malam putus terus sekarang kamu udah mulai peluk-peluk aku? Aku kirain kamu sangat cinta sama Pipit." Aku terdiam, sulit untuk mengungkapkan perasaanku.

"Pipit yang mutusin aku."

"Kenapa?"

"Aku nggak bisa memberikan kepastian masa depan untuk dia. Orang tuanya sudah mendesak dia supaya segera menikah. Dia anak perempuan satu-satunya."

"Lalu, kenapa kamu nggak menikah saja sama dia?"

"Aku nggak bisa."

"Kenapa Ran? Aku pikir kamu tuh pasangan yang paling oke yang pernah aku kenal. Sayang kan Ran, udah lama sekali."

Mungkin karena itu juga aku kehilangan gairahku kepada Pipit, semua sudah serba rutin, padahal kami belum lagi hidup satu atap.

"Terus kamu gimana sekarang?" dia melanjutkan pertanyaannya.

Aku terus menatap wajahnya, pipinya, bibirnya, hidungnya dan berhenti menatap matanya, "Aku jatuh cinta sama kamu Fira."

Fira bereaksi, menggeser duduknya menjauh dariku, aku mengejarnya, "Kenapa Fir?"

"Seharusnya kita nggak boleh seperti ini. Kita kan sahabat Ran. Aku nggak pernah nyangka kamu akan bicara seperti ini ke aku." Aku tidak peduli kata-katanya, yang aku tahu dia juga punya perasaan yang sama.

"Aku nggak mau kita cuma sekedar sahabat. Aku mau kita lebih dari itu, aku tetap ingin jadi sahabat kamu tapi aku jatuh cinta sama kamu. Aku nggak bisa membohongi diriku, Pipit tahu itu makanya dia yang mengambil keputusan. Pipit lebih tau perasaanku ke kamu ketimbang aku sendiri. Dia yang menyadarkanku akan hal itu. Fira...kasih aku kesempatan untuk membuktikan perasaanku ini." Aku tidak habis pikir, dalam 2 x 24 jam aku sudah memohon hal yang sama dua kali kepada perempuan yang berbeda. Fira diam, aku raih tangannya, aku peluk, dia tidak menolak.

"Randy, kamu tau perbedaan umur kita? Aku lebih tua 3 tahun dari kamu, nggak mungkin orang tua kamu mau menerima aku. Aku nggak punya keberanian untuk menghadapi mereka."

"Aku nggak perduli. Aku tidak pernah merasa kamu menganggap aku lebih muda darimu. Aku merasa aku sanggup lebih dewasa darimu, aku sanggup membimbing kamu dan bertanggung jawab atas dirimu kelak pada saat kamu sudah menjadi istriku. Aku memahami tugasku nanti sebagai suami, asal kamu mau memberi kesempatan kepadaku. Keluargaku akan menerima siapapun yang aku cintai"

Fira menatap mataku, matanya basah. Aku cium pipinya, aku bertekad, kali ini permohonanku mendapat kesempatan harus dikabulkan, aku tidak siap ditolak oleh dua perempuan dalam minggu yang sama, terlebih oleh perempuan yang satu ini.

"Randy, aku sudah 38. Bagaimana kalau aku ada kesulitan sehingga tidak bisa memberimu keturunan karena umurku ini. Kamu akan menyesal telah memilih aku." Fira berkata dengan air mata berlinang.

"Insya Allah tidak akan Fir. Aku sadar memilih kamu yang usianya lebih tua dariku. Masalah keturunan bukanlah kekuasaan kita, meskipun aku menikahi perempuan yang jauh lebih muda dariku sama saja kemungkinannya. Aku bersedia menerima semua konsekuensi yang ada, termasuk masalah keturunan. Aku sangat mencintai kamu dan aku memulainya sebagai seorang sahabat dan akan tetap menjadi sahabat bagimu. Aku mohon supaya kamu membolehkan aku menjadi kekasih yang nantinya menjadi suamimu. Aku mohon Fir..."

"...atau apakah kamu ragu karena kamu sudah menjadi Partner sementara aku cuma Associate?" aku melanjutkan. Dia menggeleng, "Tidak sama sekali, aku tidak pernah meremehkan kamu, aku tahu seharusnya kamu sudah menjadi Partner bertahun-tahun yang lalu. Penawaran posisi Partner bagimu hanya tinggal menunggu waktu. Kalaupun saat itu tidak pernah datang aku nggak perduli. Aku tahu kemampuanmu."

"Jadi...? Apa lagi yang membuat kamu ragu? Orangtuamu, saudara-saudaramu? Aku akan hadapi mereka, aku akan berjuang untuk mendapatkan restu mereka. Fira, kamu percaya perasaanku? Maukah kamu belajar mencintaiku?" kali ini Fira tersenyum sewaktu berkata "Tidak perlu Ran, aku sudah mencintai kamu sejak lama. Tetapi aku tidak pernah berani berangan-angan lebih jauh, aku menghargai persahabatan kita dan juga perasaan Pipit selama ini."

Aku mengusap air mata Fira dengan jariku, aku peluk dia dan kuciumi wajahnya, matanya, hidungnya yang mancung, semua dan berhenti lama di bibirnya merasakan betapa hangat dan lembutnya bibirnya membalas sentuhan bibirku, semua sudah menjadi milikku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun