Mohon tunggu...
Neil Semuel Rupidara
Neil Semuel Rupidara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti

Neil adalah dosen di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia dan Kajian Organisasi di Universitas Kristen Satya Wacana. Saat ini menjabat sebagai Rektor UKSW.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pandemi Covid-19 dan "New Normal" dalam Pedagogi Pendidikan Tinggi

7 Juli 2020   23:07 Diperbarui: 7 Juli 2020   23:07 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak transmisi antar orang mulai terjadi dalam penyebaran virus corona baru (SARS-CoV2) yang mengakibatkan wabah penyakit Covid-19, wajah sosio-kultural dunia tampak berubah drastis. 

Untuk menggambarkan dampak  massif Covid-19 diambil kasus Itali sebagai salah satu pusat penyebaran awal dan berskala massif dari pandemi Covid-19 di dunia dan khususnya di Eropa.

Jika dilakukan penelusuran kembali (Reuters, 21 Februari 2020; Wikipedia), Itali menerima kasus-kasus pertamanya di akhir Januari dan awal Februari dari 2 warga China yang datang berlibur di Roma serta dari seorang warga Itali yang kembali dari Wuhan. 

Namun, penyebaran lokal di Itali tampaknya terjadi dari jalur seorang lelaki Itali berusia 38 tahun di Lombardy yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial budaya terlibat dalam interaksi sosial dengan banyak orang lain yang berujung infeksi Covid-19. Ia selanjutnya menginfeksi orang lain dalam rantai penyebaran turunan. 

Penyebaran ini kemudian menjadi massif dan mematikan berbagai aktivitas sosio kultural di Itali yang merupakan salah satu pusat kebudayaan dunia, termasuk pusat agama Katolik. 

Salah satu dampak hebat dari Covid-19 di ruang sosio-kultural adalah di sektor keagamaan yang sarat dengan tradisi yang melembaga ratusan tahun. Misalnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah gereja Roma Katolik, Paus Fransiskus memimpin ibadah Paskah tanpa umat (Kompas.com, 12 April 2020). 

Ini bisa menjadi salah satu simbolisasi dampak massif dari pandemi Covid-19 pada tatanan kehidupan dunia. Tradisi-tradisi kultural seperti cium tangan, cipika-cipiki, atau cium hidung yang normal dijumpai dan merupakan etika pergaulan dalam kehidupan masyarakat seolah ditelan (sementara) oleh Covid-19.

Sektor pendidikan tinggi dunia pun tidak luput dampak pembongkaran tradisi-tradisinya oleh pandemi Covid-19. Sekalipun penyelenggaraan pendidikan di banyak negara, terutama di negara-negara maju, telah diwarnai oleh kemajuan teknologi, namun tradisi bersekolah atau berkuliah yang berusia ribuan tahun bagaimanapun tetap saja masih mendominasi wajah pendidikan dunia. Namun tradisi itupun seolah luluh lantak dihantam pandemi ini. Sekolah-sekolah dan kampus-kampus harus ditutup. Lebih dari satu miliar anak dan pemuda dipaksa harus belajar dari/di rumah (Li dan Lalani, 2020, World Economic Forum). Kegiatan pembelajaran berbasis relasi interaksional secara fisik dalam atau luar kelas secara mendadak dan drastis harus dialihkan masuk ke ruang interaksi pembelajaran yang difasilitasi oleh teknologi pembelajaran dalam jejaring (daring). Penyelenggaraan pendidikan sejagad tiba-tiba berubah sifatnya menjadi berjarak, elektronis, dalam jaringan internet. Kita seolah melompat memasuki era pedagogi daring sekalipun ini sifatnya masih emergensi.

Secara faktual di Indonesia, sejumlah pemerintah daerah tadinya berinisiatif meliburkan kegiatan sekolah-sekolah selama 14 hari sejak 16 Maret 2020 (bbc.com 17 Maret 2020) tetapi lalu berubah kebijakannya menjadi belajar dari rumah. Perguruan-perguruan tinggi kemudian ikut beralih ke kegiatan perkuliahan daring. Melalui Surat Edaran No. 4 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahkan menetapkan kebijakan lebih lanjut, termasuk menghapuskan Ujian Nasional 2020. Penghapusan UN itu pernah diwacanakan beberapa kali tetapi gagal dilaksanakan karena hambatan-hambatan kelembagaan, termasuk belitan kepentingan-kepentingan di dalam penyelenggaraan UN. Namun, sekali datang pandemi Covid-19, UN langsung dihapuskan. Virus corona dan penyakit yang dibawanya ini seolah kini merupakan agen pendobrak tatanan yang jauh lebih kuat bahkan dari sebuah pemerintahan.

Melihat dampak-dampak kelembagaan luar biasa yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 itu, termasuk membongkar secara sementara tatanan-tatanan kelembagaan yang berusia sangat panjang, maka sangat wajar untuk memertimbangkan pertanyaan serius akan kemampuan pandemi Covid-19 untuk memunculkan model kehidupan sosial baru pasca pandemi ini. Wacana munculnya kebiasaan-kebiasaan baru atau yang kini lazim disebut new normal karenanya tidak terhindarkan, bahkan ikut mewabah. Tulisan ini hendak menyoal-jawab potensi pandemi mengubah tatanan-tatanan kelembagaan. Sekalipun ada banyak domain kelembagaan yang terdampak dari pandemi Covid-19, namun sektor pendidikan, dan khususnya pendidikan tinggi adalah ranah spesifik yang hendak dianalisis kekuatan pembentukan new normal oleh pandemi Covid-19. Pertanyaan yang diajukan adalah, "Akankah Pandemi Covid-19 Membentuk New Normal dalam Dunia Pendidikan?" Fokus analisis diberikan kepada aspek pedagogi.

Pedagogi dipahami awam sebagai segala pemahaman tentang dan praktik pengajaran (art and science of teaching). Dalam pemahaman ini, pengajaran seolah dipahami sebagai cara bagaimana pengajar memindahkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan kepada peserta belajar. Ini dapat lebih sempit lagi dipahami sebagai kegiatan pengajar berceramah dalam proses transmisi pengetahuan satu arah itu. Cara pandang ini menempatkan pengajar sebagai aktor sentral dalam kegiatan pengajaran. Namun, pedagogi harus dipahami lebih luas dan fundamental dari itu. Pedagogi secara fundamental lebih harus dimengerti sebagai bentuk pendampingan pengajar kepada para pembelajar agar mereka terstimulasi untuk aktif dan efektif dalam belajar. Pembelajar dan pembelajaran mereka lebih berposisi sentral daripada pengajar dan pengajarannya. Belajar dalam hal ini harus dipahami sebagai bagian dari kultivasi dan mekanisme menjaga keberlangsungan kehidupan. Oleh karena itu, bukan sekedar memindahkan isi pengetahuan tetapi lebih kepada pemupukan kemampuan untuk terus belajar sepanjang hayat.

Dengan pemahaman seperti itulah asesmen terhadap kemampuan Covid-19 mengubah tatanan pendidikan tinggi pada aspek pedagogi akan dilakukan. Ini karenanya bukan semata soal menariknya menggunakan teknologi pembelajaran baru tetapi lebih ke soal apakah pembelajaran memang menjadi lebih efektif, ketika terjadi alih bentuk perkuliahan dari tatap muka di kampus ke perkuliahan daring sebagai bentuk penyesuaian diri dunia pendidikan di masa pandemi ini.

Terbentuk dan Terbongkarnya Tatanan Sosial

Sebelum menganalisis potensi munculnya new normal atau tatanan perilaku sosial baru di sektor pendidikan tinggi akibat pandemi Covid-19, diperlukan pemahaman tentang apa itu tatanan sosial/kelembagaan serta bagaimana dan mengapa terjadi perubahan kelembagaan. Perspektif kelembagaan (institusionalisme) dipakai dalam menjelaskan ini.

Institusionalisme sebagai sebuah cara pandang memiliki sejumlah varian berpikir. Ada tiga varian utama dalam kajian kelembagaan, yakni varian kesejarahan (historical institutionalism) yang banyak dipakai dalam berbagai kajian ilmu politik, varian ekonomi (institutional economics) dalam kajian ekonomi, serta varian sosiologis/keorganisasian (organizational institutionalism) dalam kajian keorganisasian (W. R. Scott, 2008, Institutions and Organizations). Di masing-masing varian itu ada pecahan aliran yang lazim dibedakan menjadi aliran lama (old institutionalism) dan aliran baru (new/neo institutionalism). Old dan new institutionalism ini berbeda fokus kajian dan pola berpikirnya. Posisi kedua sub-varian itu dalam ketiga varian di atas berbeda-beda. Tulisan ini akan terutama menggunakan pandangan varian keorganisasian, dengan sub- institusionalisme baru, dalam mengantar kita memahami perubahan kelembagaan, sekalipun akan juga mengadopsi pandangan-pandangan dasar dari pandangan institusionalisme pada umumnya.

Ketika para institusionalis berbicara tentang lembaga atau institusi, maka yang dimaksud dengan istilah ini adalah sebuah bentuk keteraturan sosial (social order) (J. L. Campbell, 2004, Institutional Change and Globalization). Lembaga dalam hal ini bukan organisasi, sebagaimana yang dipahami masyarakat awam. Sebagai sebuah keteraturan sosial, institusi dapat bersifat formal (tatanan demokrasi modern misalnya) maupun informal (tradisi masyarakat seperti mudik). Keteraturan yang seperti itu memiliki logika atau prinsip dasar dan mekanisme kerja yang memandu perilaku-perilaku warga di dalamnya, termasuk opsi-opsi pilihan perilaku, sehingga seolah-olah segala sesuatu berjalan otomatis begitu saja. Ahli kelembagaan baru dalam kajian organisasi seperti Paul DiMaggio dan Wolter Powell (1991, The New Institutionalism in Organizational Analysis) memandang keteraturan itu selayaknya perilaku yang diatur oleh peraturan (rule-like behavior), padahal itu sesungguhnya merupakan sebuah struktur kognitif yang sedemikan rupa terinternalisasi dan memandu orang dalam bersikap dan berperilaku. Dalam skala yang lebih luas, Douglass North (1990, Institutions, Institutional Change and Economic Performance) menganalogikannya sebagai rules of the game dalam masyarakat. Di ruang kehidupan kosmos atau tata surya, itu serupa dengan hukum-hukum alam yang mengatur pergerakan benda-benda angkasa seperti rotasi dan orbit bumi dan planet lainnya beserta bulan-bulan terhadap posisi matahari. Sudah demikian adanya. Permanen. Itulah sebuah keteraturan yang telah terbentuk dan tidak mudah berubah, baik keteraturan alam maupun sosial. Dalam pemahaman yang demikianlah sebuah perubahan atas tatanan kelembagaan akan dinilai.

Dijelaskan sebelumnya bahwa sebuah keteraturan sosial memiliki logika atau ide dasar (institutional logic) pembentuknya serta mekanisme kerja (institutional mechanism) yang menjaga tatanan keteraturan itu. Keteraturan sosial seperti model demokrasi misalnya duduk di atas logika bahwa pemerintahan yang baik itu berasal dari, oleh, dan untuk rakyat. Untuk membentuk pemerintahan yang duduk di atas prinsip demokrasi yang demikian diperlukan dibentuk dan bekerja mekanisme-mekanisme bekerjanya demokrasi. Kita mengenal di antaranya pemilihan umum, pemisahan kekuasaan, mekanisme checks and balances. Demikianlah dapat dipahami sebuah realitas kelembagaan.

Dalam sebuah tatanan sosial, semua pelaku atau aktor yang hidup di dalamnya harus tunduk pada logika dan mekanisme bekerjanya tatanan itu. Jika tidak demikian sehingga muncul atau terjadi penyimpangan-penyimpangan perilaku, maka keteraturan itu akan terganggu. Tentu harus dipahami bahwa sebuah logika atau ide seperti demokrasi berasal juga dari satu atau lebih aktor, yang kemudian ide diterima lebih luas oleh aktor-aktor lainnya akibat interaksi-interaksi sosial yang melibatkan hubungan dan taktik pengaruh-memengaruhi di dalamnya, termasuk misalnya melalui pendidikan demokrasi. Dalam pemahaman kelembagaan, yang disebut sebagai aktor bisa berupa aktor manusia maupun bukan manusia, misalnya organisasi. Karena itu, organisasi termasuk negara berposisi sebagai aktor dalam analisis kelembagaan. Di samping tunduk pada logika dan mekanisme kelembagaan, aktor juga dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berdampak pada keteraturan sosial yang melingkupinya, apakah ia membongkar, mengubah sebagian unsur, atau sebaliknya mempertahankan tatanan itu. Tindakan-tindakan itu disebut pekerjaan kelembagaan (institutional work) (T. B. Lawrence dan R. Suddaby, 2006, Institutions and Institutional Work).

Keberlakuan dari sebuah keteraturan sosial dapat bersifat relatif terbatas atau lokal, dapat pula meluas atau universal. Dalam konteks yang sempit, sebuah keteraturan dapat dibentuk di dalam dan menjadi ciri dari sebuah organisasi. Dalam hal di dalam sebuah organisasi terbentuk sebuah keteraturan yang menjadi ciri dari organisasi itu, maka organisasi itu sendiri dapat kemudian terbentuk menjadi sebuah tatanan. Dalam hal ini kita dapat menyebut organisasi seperti gereja, militer, universitas yang berangkat dari posisi gagasan tentang sebuah organisasi kemudian menjadi sebuah gagasan kelembagaan. Namun, dalam hal ini tetap perlu tegas dimengerti dan dibedakan antara institusi dan aktor. Keberlakuan yang sempit misalnya dapat dilihat dalam bentuk tradisi budaya yang sangat spesifik misalnya cara menunduk orang Jepang untuk menghormati orang lain, terutama orang tua atau orang yang lebih dihormati. Demikian juga bentuk keteraturan meluas seperti cara bersekolah atau berkuliah dalam dunia pendidikan, mulai dari aras pra-sekolah hingga aras pendidikan tinggi.

Sebuah keteraturan sosial yang sedemikian rupa teratur dan patuh dijalankan tanpa kecuali oleh semua aktor yang hidup di dalamnya adalah produk dari suatu proses pelembagaan (institutionalization) dalam jangka panjang. Itulah proses yang membuat sesuatu gagasan benar-benar terlembaga. Karena sifat proses yang seperti itu, sebuah gagasan yang baik sekalipun akan tetap membutuhkan waktu untuk dapat diterima oleh orang lain, apalagi dapat menjadi atau membentuk sebuah pola perilaku kolektif yang disebut di atas sebagai yang berlangsung secara otomatis dan massif dilakukan oleh siapapun orang di dalam suatu konteks sosial. Legitimasi sebuah gagasan akan diuji lalu diterima atau ditolak. Tidak ada karenanya sebuah pola baru sekalipun dapat terbentuk dalam jangka yang relatif pendek lalu akan otomatis menjadi sebuah keteraturan sosial untuk seterusnya. Dia akan "diserang" oleh kebiasaan-kebiasaan lama yang masih melekat dalam tatanan yang ada, baik yang ada pada aspek regulasi, norma sosial yang diterima, bahkan pada gagasan kognitif yang dipegang oleh anggota-anggota tatanan itu. Karena itu, diperlukan waktu untuk menguji konsistensi sebuah pola apakah ia akan membentuk tatanan keteraturan baru ataukah ia hanya merupakan kesementaraan perilaku yang akan tergerus oleh waktu.

Bilamana sebuah keteraturan sosial telah memapan atau mencapai kematangan, akan sulit ia diubah atau dibongkar. Itu menjadi demikian karena ia sudah sedemikian melekat dalam pikiran dan menjadi kebiasaan tidak sadar dari  warga yang hidup di dalamnya. Warga tatanan sosial itulah pembawa (carrier) ciri-ciri dan karenanya merupakan pihak defender kelembagaan. Kita misalnya dapat memahami betapa sulitnya mengubah kebiasaan atau karakter seseorang karena sudah sedemikian kuat melekat pada diri orang itu. Dalam hal itu sebuah ciri-ciri dalam tatanan kelembagaan, maka ada mekanisme-mekanisme kelembagaan yang bekerja sedemikian rupa untuk memertahankan status keteraturan itu. Ini lazim dikenal sebagai faktor kekakuan kelembagaan (institutional stickiness). Singkatnya, terhadap sebuah institusi yang mapan tidak akan mudah diubah. Lalu bagaimana dapat dijelaskan kemampuan pandemi Covid-19 membongkar tradisi-tradisi?

Literatur kajian kelembagaan menunjuk bahwa perubahan (institutional change) dan pembentukan kelembagaan (institutional construction) dapat terjadi karena dua kategori kekuatan (forces) (Scott, 2008). Pertama, lembaga terbentuk secara alami (naturalistic view). Pandangan ini memandang bahwa lembaga terbentuk dan berubah sebagai hasil interaksi-interaksi keseharian yang tidak begitu disadari sehingga berujung perubahan dan keterbentukan kelembagaan. Namun, penulis hendak memasukkan bahwa sebuah krisis yang berskala besar sehingga berdampak massif pun dapat mengubah dan membentuk institusi, dan ini masih dapat dikategorikan sebagai proses alami. Pandemi Covid-19 dapat memenuhi kriteria ini dengan melihat kecepatan penyebaran dan besar dan luas dampaknya. Kekuataan kedua, adalah melalui tindakan atau pekerjaan kelembagaan yang disengaja oleh aktor-aktor (agent-based view). Dalam hal ini aktor secara aktif membongkar atau konstan mengubah sebuah institusi di atas kepentingan tertentu. Jikapun pandangan agent-based diterima dalam kajian kelembagaan (baru), ia diterima dengan catatan bahwa tetap saja ada kaitan kelembagaan antara sang aktor dan gagasan kelembagaan baru yang diusungnya dengan gagasan kelembagaan yang telah ada dan dapat diduga berasal dari suatu tatanan kelembagaan yang lain.

Harus juga dipahami bahwa karena sifat keberlakuannya yang ada dalam suatu kontinuum yang terbatas hingga meluas cakupannya, maka suatu realitas kelembagaan itu sifatnya berlapis-lapis (layers of institutions) (Scott, 2008). Lapisan paling bawah adalah tataran aktor-aktor yang perilaku-perilakunya berpola tertentu sebagai gambaran kehidupan kelembagaan. Di tengah ada lapisan yang disebut arena kelembagaan (institutional field). Di level inilah ruang aktor-aktor saling berinteraksi melalui tindakan-tindakan yang memiliki kaitan-kaitan kelembagaan untuk membentuk suatu tata kehidupan bersama (governance structure). Di level paling atas adalah tatanan-tatanan kemasyarakatan secara luas (societal institutions). Di level ini kita masih bisa bedakan luasan cakupan kelembagaan apakah hanya sebuah masyarakat lokal (misalnya, tradisi lokal/nasional) atau merupakan meluas seluruh dunia (misalnya, simbol lalu lintas).

Dari penjelasan di atas, tulisan ini telah mendudukkan beberapa konsep dan isu sentral dalam memahami sebuah institusi sebagai keteraturan sosial, logika dan mekanisme-mekanisme kelembagaan yang mengaturnya, serta aktor-aktor dan tindakan-tindakan kelembagaan di dalamnya. Demikian juga dapat dipahami tentang proses melembaganya suatu gagasan, juga proses memudar, berubah atau terbongkarnya sebuah institusi, apa yang pandemi Covid-19 dapat dilihat telah memiliki dampak sementara untuk mengubah tatanan-tananan kelembagaan. Di bagian berikut, penulis akan menganalisis potensi keterbentukan realitas kelembagaan baru khususnya di sektor pendidikan (tinggi) akibat pandemi Covid-19 ini.

Pandemi Covid-19 dan New Normal Pedagogi di Sektor Pendidikan (Tinggi)

Sebagaimana diketahui kebanyakan orang dan juga sudah sedikit diungkapkan di atas, pandemi Covid-19 ini telah mengubah penampilan kehidupan normal dalam tatanan pendidikan sedunia. Di hampir semua negara yang terkena pandemi ini sekolah-sekolah dan kampus-kampus diliburkan. Swedia adalah salah satu negara pengecualian yang masih menyelenggarakan pendidikan di sekolah-sekolah dasarnya. Memang, sekolah-sekolah tingkat menengah dan kampus-kampusnya juga telah ditutup dan beralih menyelenggarakan model pembelajaran daring, sama seperti di negara-negara lain. Universitas-universitas di Amerika Serikat misalnya telah mulai ditutup sejak awal Maret. Pada posisi 26 Maret, dilaporkan 1102 college dan universitas telah menutup kampusnya (cnbc.com, 26 Maret). Di ujung lain dunia ini, universitas-universitas di Australia mulai ditutup dan beralih ke moda daring seminggu setelah Amerika (smh.com.au, 13 Maret; timeshighereducation.com, 15 Maret).

Di Indonesia, pada umumnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus mulai mengalihkan model pembelajaran dari pembelajaran fisik langsung dalam kelas ke platform digital pada 16 Maret, sekalipun beberapa telah mendahului di 13 Maret (medcom.id, 14 Maret). Pengalihan ini adalah suatu bentuk respon cepat atas perubahan situasi, termasuk anjuran dan belakangan menjadi kebijakan formal pemerintah, karena penyebaran Covid-19 mulai menunjukkan potensi pendakian tangga angka infeksi harian dan perluasan wilayah terinfeksi. Pergerakan data di hari-hari selanjutnya memang menunjukkan pertambahan jumlah yang terus saja meningkat drastis dari minggu ke minggu (worldometer.com). Dengan menjadi kebijakan formal pemerintah, maka langkah penutupan kampus bukan lagi menjadi pilihan bagi setiap perguruan tinggi. Dengan demikian, lebih 4600an perguruan tinggi yang melayani lebih dari 8 juta mahasiswa (pddikti.kemdikbud.go.id) dengan jumlah dosen lebih dari 290 ribu orang telah secara mendadak dan tanpa kecuali terpaksa mengadopsi model online teaching and learning.

Saat beralih daring, tingkat kesiapan tiap perguruan tinggi berbeda dalam penyelenggaraan perkuliahan daring. Sejumlah perguruan tinggi telah sebelumnya memiliki sistem dan menjalankan praktik pembelajaran daring sebelum kondisi memaksa semuanya berubah ke arah sana. Jauh lebih banyak perguruan tinggi tidak memiliki kapasitas cukup untuk menjalankan perkuliahan secara daring. Namun, pemerintah melalui Kemdikbud memang telah mengupayakan fasilitas-fasilitas pendukung termasuk bekerjasama dengan sejumlah pelaku usaha milik negara maupun swasta yang bergerak di bidang digital learning management system, penyedia jasa internet, dan sejenisnya untuk membantu operasi pembelajaran atau perkuliahan daring.

Semenjak kuliah daring, aplikasi-aplikasi teknologi yang tadinya tidak dikenal banyak orang dan perguruan tinggi, kini menjadi sesuatu yang lazim. Aplikasi komunikasi video Zoom misalnya kini menjadi paling populer dalam penyelenggaraan perkuliahan, juga untuk meeting. Bukan tidak ada aplikasi lain tetapi karena kemudahan penggunaannya, maka Zoom lebih banyak digunakan orang. Semua orang karenanya belajar dan makin mahir menggunakan Zoom. Sebagai sesuatu yang baru dikenal, bagaimanapun pembelajaran daring menggunakan Zoom dinilai menarik dan disukai (kumparan.com, 30 Maret; telisik.id, 4 April). Kini mungkin karenanya dapat dikatakan, dosen atau guru yang kini tidak kenal Zoom adalah dosen atau guru yang kurang gaul, sekalipun aplikasi ini memiliki masalah jaminan sekuritas dan privasi data penggunanya (cnbcindonesia.com, 3 April). Kuliah atau tepatnya kegiatan pengajaran dengan ceramah melalui Zoom kini seolah menjadi a new normal di kalangan pendidikan tinggi Indonesia. Praktik ini kini seolah mewabah, tampak tidak mau ketinggalan dari wabah Covid-19 itu sendiri.

Jika saja perkuliahan daring ini tidak hanya berlangsung pada semester ke-2 dan/atau ke-3 dari tahun akademik 2019/2020 tetapi juga akan berlanjut pada semester pertama tahun akademik berikut, maka praktik baru ini mungkin saja dapat terbentuk menjadi sebuah kebiasaan baru. Sebagai bandingan tentang semester pertama di tahun akademik 2020/2021, di Amerika Serikat dan Kanada, sejumlah universitas telah mengantisipasi bahwa perkuliahan langsung di kampus kemungkinan baru dapat dimulai pada Januari 2021. Masih ada banyak universitas dan college yang tetap mengantisipasi dan prefer tetap berlangsungnya perkuliahan secara daring di semester pertama (fall semester) (nationalpost.com, 22 April). Bayangan yang demikian berbeda dengan fenomena di universitas-universitas di Australia yang akan segera kembali ke model perkuliahan normal di kampus pada bulan Juli ini (xinhuanet.com, 4 Mei) mengingat Australia telah menuju masa akhir dari pandemi.

Jika penerimaan terhadap model pembelajaran seperti ini menjadi sesuatu yang benar-benar menyenangkan dan dipraktikkan secara meluas, maka dapat dibayangkan bakal terjadinya transformasi pada tatanan pendidikan tinggi ke arah penyelenggaraan pendidikan di ruang digital. Ini karenanya berpeluang untuk membongkar tatanan lama pendidikan yang bagaimanapun masih didominasi oleh interaksi pendidikan secara langsung dan di ruang fisik ke model distanced learning di atas platform teknologi digital. Namun pertanyaannya, akankah benar terjadi demikian?

Akankah bentuk pembelajaran daring yang sementara berlangsung saat ini benar-benar menjadi sebuah new normal atau membentuk  tatanan kelembagaan baru dalam dunia pendidikan tinggi, teristimewa di Indonesia? Pertanyaan ini tentu hanya bisa dijawab oleh realitas yang bakal terbentuk ke depan dan itu perlu ditunggu dan nantinya dianalisis kembali. Trajektori kelembagaan pendidikan tinggi tidak dapat dan tidak cukup diprediksi di atas kondisi kesementaraan. Kita perlu mengingat faktor kekakuan kelembagaan, dengan mekanisme-mekanisme kelembagaan yang bekerja memertahankan kondisi status quo suatu tatanan kelembagaan. Namun, adakah dan apa indikasi terbalik dari meluas diterimanya bentuk pembelajaran online yang mungkin justru dapat menghambat keterbentukan tradisi belajar yang baru itu? Fenomena empiris yang ada perlu dianalisis secara lebih cermat untuk melihat gejala-gejala kelembagaan yang apakah mendukung perubahan menuju tatanan baru atau sebaliknya ada kekuatan resisten yang menghambatnya.

Sebelumnya telah dijelaskan dan harus diingatkan agar selalu dipahami bahwa dalam analisis kelembagaan, tidak dengan sendirinya suatu kebiasaan yang baru terbentuk dapat otomatis memapan menjadi sebuah tatanan sosial baru. Perubahan tiba-tiba atas sebuah keteraturan sosial dapat saja terjadi sebagai akibat dari tekanan tidak terhindarkan dari sebuah krisis seserius pandemi Covid-19 ini. Namun, keterbentukan tradisi atau keteraturan baru pasca pandemi akan membutuhkan waktu untuk menguji pola yang sementara ini berkembang, akankah ia lolos menjadi sebuah tatanan baru.

Juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sebuah ide atau dalam hal ini praktik baru perlu diterima (baik) oleh aktor-aktor. Sebuah ide yang diterima baik akan diinternalisasi oleh sistem kognitif setiap individu, membentuknya menjadi sebuah mekanisme kognitif baru, membentuk pemahaman yang dipraktikkan hingga membentuk regularitas perilaku baru, pada tingkat individu. Untuk menjadi sebuah atribut bersama dalam tatanan sosial, maka diperlukan interaksi-interaksi alami atau yang dibentuk melalui tindakan-tindakan bertujuan yang disengaja yang bekerja secara konstan untuk membangunnya menjadi mekanisme-mekanisme kelembagaan baru. Dalam proses yang demikian, logika dan mekanisme bekerja resiprokal untuk menjadikan suatu praktik baru pada akhirnya dapat menjadi pola hidup kolektif.

Sebelum menganalisis lebih jauh, penulis perlu mengintroduksikan sebuah perkiraan rasional yang pernah diajukan menyangkut transformasi pendidikan ke dominasi ruang digital karena penilaian dominasi teknologi digital. Almarhum Prof. Clayton Christensen (Harvard Business School), pengembang teori inovasi disruptif, melontar sebuah pandangan kontroversial yang memrojeksikan separuh dari 4000an college dan universitas di Amerika akan bangkrut dalam 10 hingga 15 tahun (forbes.com, 11 September 2018). Alasan rasionalnya, pendidikan daring akan lebih murah dan efektif (cnbc.com, 30 Agustus 2018). Universitas dan college karenanya tidak bisa menyelenggarakan pendidikan secara tradisional lagi jika tidak ingin didisrupsi oleh perkembangan teknologi baru. Namun, Christensen lalu ditantang bertaruh uang senilai 1 juta dolar AS oleh Mark Zupan, Rektor Universitas Alfred, akankah universitasnya bangkrut sebagaimana diramalkan Christensen. Setidaknya Forbes (11 Sept 2018) mencatat bahwa setelah 5 tahun usia prediksi Christensen, belum ada satupun college di AS, khusus yang bermotif swasta, non-profit, yang bangkrut. Padahal sebaliknya, makin banyak jumlah universitas yang terlibat di Coursera, edX, XuetangX, Udacity, dan FutureLearn. Makin banyak pula jumlah matakuliah online yang ditawarkan di platform-platform pembelajaran digital itu. Demikian juga makin banyak mahasiswa yang mengambil perkuliahan di sana (classcentral.com, 11 Desember 2018; iblnews.org, 23 Desember 2018).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sampai sebelum wabah Covid-19 menjadi masalah serius bagi warga dunia, sekalipun teknologi pembelajaran terus berkembang dan menyedot pengguna dalam jumlah yang tidak kecil, tradisi-tradisi lama di dunia pendidikan tinggi di kampus-kampus universitas dan college, termasuk di negara yang maju teknologinya seperti AS, belum dapat ditumbangkan begitu saja oleh kemajuan teknologi itu sendiri. Namun, di masa pandemi ini, tidak sedikit universitas di AS yang guncang secara finansial dan ada yang direncanakan akan ditutup (cnbcnews.com, 7 April 2020). Jadi, bukan kemajuan teknologi dan kekuatan disruptifnya yang bisa mengguncang dunia pendidikan tinggi, paling tidak sampai saat ini, tetapi Covid-19 lah yang sanggup melakukan itu. Namun, ini tidak otomatis berarti bahwa pandemi ini akan sanggup mengubah dunia pendidikan tinggi dalam hal melakukan transformasi ke digital learning. Mengapa?

Sekalipun diwarnai dengan sifat menyenangkan terkait penggunaan aplikasi baru seperti Zoom, praktik perkuliahan online ibarat memiliki tumpukan masalah yang juga menggunung. Sekalipun mau tidak mau diterima dan dipraktiikan, ia telah diikuti juga dengan keluhan-keluhan yang tidak sedikit. Salah satu keluhan pelaku perkuliahan daring adalah pertambahan beban biaya untuk membeli paket data untuk mengakses perkuliahan secara online akibat harus bekerja dan belajar dari rumah. Perkuliahan dengan menggunakan model video conferencing menyodot tidak sedikit pulsa. Atas kendala ini baik pemerintah maupun perguruan tinggi mencari solusi dengan bekerjasama dengan perusahaan provider internet, terutama karena alasan pandemi. Sejumlah perguruan tinggipun berinisiatif membantu mahasiswa-mahasiswanya dalam hal ini. Namun, situasi ini dan solusi sementara itu tentu tidak bisa dipertahankan akan tetap sama pasca pandemi. Pasca pandemi, masalah beban biaya akan menjadi beban mahasiswa secara individual. Kecuali bahwa biaya dan harga paket internet dapat ditekan dan turun drastis barulah itu akan membantu pelaksanaan perkuliahan daring, dari sisi mahasiswa.

Problem lain adalah, bahwa di masih banyak daerah infrastruktur teknologi informasi bersifat relatif terbatas. Ini ditengarai telah mengganggu jalannya perkuliahan daring (jawapos.com, 2o Maret 2020). Belum lagi ketersediaan perangkat komputer atau laptop personal yang masih terkendala pada banyak mahasiswa.

Namun, itu adalah persoalan-persoalan periferal pedagogi, sekalipun berpengaruh. Bagaimana dengan yang lebih substantif pada aspek-aspek pedagogis itu sendiri?

Untuk memberikan gambaran ini, juga mengingat evaluasi pedagogi online ini lebih dari sekedar menilai kebaruan dan menariknya metode ceramah di atas aplikasi video conferencing Zoom tetapi evaluasi kritis atas efektivitas pedagogi daring ini, maka penulis mengangkat sejumlah evidence dari konteks negara-negara yang sudah lebih maju teknologi pembelajarannya dan yang para pengajarnya telah melakukan evaluasi kritis atas pedagogi online untuk mengungkapkan betapa tidak mudah diterimanya praktik pengajaran online ini. 

Sejak 18 Maret 2020, penulis diajak terlibat dalam sebuah grup para pengajar yang harus menyesuaikan pola perkuliahannya ke platform daring selama masa pandemi. Pendiri grup ini menamakan grup ini Pandemic Pedagogy. Grup ini beranggotakan 30 ribu orang dosen dari berbagai negara yang berbagi desain dan pelaksanaan serta pengalaman terkait pengelolaan praktik pengajaran yang berjarak (remote teaching). Bukti-bukti empiris dari grup itulah yang terutama dipakai dalam tulisan ini.  

Sekalipun ada tidak sedikit hal-hal positif atau baik dalam proses sharing pengalaman dan pemikiran di grup itu, ternyata ada banyak sekali pula komplain atas pengalaman pelaksanaan online education. Ada dan tidak sedikit ekspresi keluhan itu yang dirumuskan dalam bentuk satire. Misalnya, seorang teman menulis bahwa remote teaching itu "mudah", sambil ia menggugatnya dengan mengatakan juga bahwa kemudahan itu tampak misalnya pada cara penilaian yang mengandung rasa kasihan. Juga, pengajarannya terpaksa harus dilakukan dengan menjawab 500 email setiap hari plus mengikuti 3 kali rapat melalui zoom, pun sambil mengurusi anak-anaknya (yang masih kecil) yang membuat rumahnya berantakan karena mereka pun belajar di/dari rumah.

Seorang dosen lain mengungkapkan pengalamannya menanti kiriman tugas-tugas mahasiswa yang tidak sampai-sampai kepadanya (melalui email atau fasilitas learning management system yang dipakai universitas), sekalipun telah lewat deadline. Keterlambatan penyerahan tugas terjadi akibat berbagai macam alasan kondisi mahasiswa sekembali ke rumahnya. Seseorang dosen menceritakan, seorang mahasiswa belum mengirimkan tugas dan karena kebetulan tinggalnya tidak begitu darinya, mahasiswa itu dikunjungi dan didapatinya sedang merawat ibunya yang terkena Covid-19. Ada yang bahkan mendapati mahasiswanya lah terkena Covid-19. Ada mahasiswa yang beralasan tidak membawa pulang buku atau materi yang diperlukan untuk mengerjakan tugas. Dosen yang lain menemukan kenyataan bahwa mahasiswanya tidak memiliki komputer atau laptop di rumahnya. Bandingan dengan kasus-kasus di Indonesia adalah setara dengan yang daerahnya tidak tersedia jaringan internet dan bahkan suplai listrik. Bukti-bukti itu menunjukkan bahwa gangguan dalam pelaksanaan perkuliahan online tidaklah sedikit.

Bentuk keluhan lainnya yakni, jika sebagian orang di Indonesia begitu terkesan dengan perkuliahan melalui video conference Zoom, sebuah pemosting lain di grup itu sekalipun ia memosting sikap positif (with love, gratitude, and hope) dalam penyelenggaraan kuliah daring di semester yang berjalan, ia lalu menyertakan sebuah foto seseorang yang mengangkat sebuah kertas bertuliskan, "I can't wait to never use Zoom again." Mengapa ada sikap yang demikian? Cerita dari seorang teman yang lain mungkin dapat dikaitkan dengan penolakan seperti itu. Dalam sebuah pengalaman penggunaan Zoom, ketika sesi kegiatan online sedang berlangsung, tiba-tiba para peserta dikejutkan oleh Zoombombing berupa pemutaran video perlakuan tidak pantas pada seorang anak. Ada ragam bentuk Zoombombing yang memunculkan rasa marah atau frustrasi dalam pengalaman kegiatan daring.

Salah satu penuturan pengalaman yang lebih substantif berkenaan dengan hambatan pedagogi daring diungkapkan oleh seorang dosen yang mengajarkan matakuliah analisis teks secara kritis. Teman itu mengungkapkan bahwa apa yang lazimnya dilakukannya di dalam kelas dalam memandu mahasiswa untuk dapat terfokus menganalisis isi teks tidak dapat dicapainya sekalipun ia telah mencoba beberapa cara untuk membantu mahasiswa dalam menggunakan metodologi kritik teks yang dipakainya. Dalam situasi seperti itu, tidak sedikit dosen yang menyadari benar sulitnya melakukan evaluasi dan penilaian perkuliahan dibanding dengan standard yang lazim dipakainya saat perkuliahan normal. Mereka memandang bahwa harus ada pengertian dan pengorbanan tertentu yang harus dilakukan para dosen atas situasi tidak normal yang dihadapi para mahasiswa maupun dosen.

Karena dikirimi sebuah email tentang polling tentang kegiatan perkuliahan daring oleh lembaga pemeringkatan universitas, QS, penulis ikut memberikan vote pada polling dengan pertanyaan, apakah kinerja mahasiswa dalam pembelajaran daring lebih baik dari perkuliahan normal. Hasil polling QS tersebut sampai dengan 12 Mei 2020 menunjukkan 79% voters mengatakan, tidak.

Namun, di tengah sikap-sikap frustasi itu, seorang pengajar yang lain mengucap syukur atas keberhasilan dua mahasiswanya meraih penghargaan Dekannya, "amidst all this craziness!"

Jika saja penyelenggaraan perkuliahan online berwajah ganda seperti yang diungkapkan di atas, bagaimanakah pertanyaan pokok dalam tulisan ini harus dijawab. Bahwa ada hal-hal baik yang diapresiasi dari online education selama masa pandemi ini. Namun, ada tidak kalah atau bahkan lebih banyak keberatan terhadap pengalaman pengajaran dan pembelajaran daring. Jika sikap kedua lebih dominan, maka jika masa pandemi ini berakhir, apakah yang akan terjadi? Logisnya, banyak orang akan mengekspresikan rasa gembiranya karena telah keluar dari tekanan situasi dan kemungkinan mereka akan mengompensasi itu dengan sepuas-puasnya melakukan apa yang justru tidak dapat dilakukannya selama masa pandemi. Orang akan dan telah merindukan untuk kembali melakukan apa yang dulunya biasa dilakukannya dan keluar dari masa pandemi adalah sebuah kemenangan untuk kembali kepada kenormalan lama. Alih-alih berharap munculnya new normal, orang mungkin akan balik kepada old normals.

Lalu, tidakkah akan tersisa ciri-ciri kenormalan baru yang justru sudah terbentuk selama masa pandemi ini dalam membentuk kebiasaan-kebiasaan baru ke depan? Kemungkinan tetap ada, adalah fair untuk menilai demikian. Orang telah cukup terbiasa menyelenggarakan perkuliahan daring. Jika karena sesuatu tugas ke luar kota membuat perkuliahan tidak lazimnya tidak bisa dilakukan, kini dosen masih bisa mengorganisasikan perkuliahan berjarak dengan menggunakan Zoom atau Google Meet atau fasilitas video conference yang lain. Namun, tentu itu tergantung kondisinya. Bilamana dosen ada di tempat, hampir mustahil perkuliahan daring dilakukan. Mengapa? Karena selama masa pandemi, kuliah daring telah lebih bersifat menggantikan kuliah tatap muka fisik. Posisinya either or, ini atau itu. Pembelajaran daring tidak diposisikan dan belum bersifat komplementer terhadap perkuliahan dalam kelas. Ini juga tercermin dari dominannya pola penggunaan online lecturing daripada variasi pemanfaat features pembelajaran daring yang tersedia. Bahkan, sumber daya belajar di dunia internet yang melimpah pun tampaknya tidak termanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, jika perkuliahan di kelas yang seperti biasa dapat dilaksanakan, maka perkuliahan daring akan bukan merupakan opsi utama.

Di sisi lain, mahasiswa mungkin masih tetap dapat melakukan diskusi-diskusi kelompok secara daring sekalipun tidak berjumpa langsung secara fisik. Pengenalan akan fasilitas meetings yang disediakan oleh kemajuan teknologi akan mengatasi kendala jarak untuk berjumpa secara fisik. Namun, bilamana perkuliahan atau pembelajaran hanya bergantung kepada metode ceramah yang berpusat kepada kegiatan para dosen, maka fasilitas-fasilitas teknologi pembelajaran dari yang relaif kaya itu belum akan optimal dimanfaatkan mahasiswa.

Di atas kemungkinan itu, maka pandemi Covid-19 diragukan akan membentuk new normals di sektor pedagogi pendidikan tinggi, apalagi bisa membongkar tatanan pendidikan tinggi dan menggantikannya secara total dengan model pendidikan daring. Apa yang terjadi di negara-negara maju yang telah dimungkinkan oleh kemajuan teknologinya untuk beralih ke model pendidikan di ruang virtual pun tetap belum dapat menggeser terlalu jauh tradisi-tradisi pendidikan tingginya adalah sebuah bukti masih kuatnya institusi pendidikan tinggi menjaga tradisi-tradisinya. Pengalaman-pengalaman baru yang telah ada dan telah berkembang di masa pandemi Covid-19 bagaimanapun akan menjadi memori kelembagaan yang pada suatu waktu mungkin menstimulasi perubahan kelembagaan yang diharapkan dapat terjadi. Ini terutama dapat terjadi bilamana prasyarat-prasyarat kelembagaan bagi berlangsungnya transformasi fundamental itu telah terpenuhi dan karenanya kondisinya dinilai telah matang untuk menghasilkan perubahan tatanan dunia pendidikan tinggi. Yang baru bakal datang, dengan begitu yang lama bakal tumbang. Namun, itu belum akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Penutup

Sebuah tatanan kelembagaan memiliki trajektorinya, dari ketiadaan, prakondisi awal yang memungkinkan, berlangsungnya proses-proses kelembagaan yang memadai, hingga terbentuk dan memapannya sebuah keteraturan sosial. Sebuah tatanan yang sudah mapan sebaliknya membutuhkan terpaan proses-proses pembongkaran yang konstan dari waktu ke waktu agar melemahkan legitimasi tatanan lama untuk suatu waktu ia ditinggalkan.

Krisis besar seperti pandemi Covid-19 dapat dan bagaimanapun telah dapat membongkar banyak tradisi, termasuk tradisi pedagogi di sekolah dan universitas. 

Namun, sejauh ini perubahan yang diakibatkan oleh pandemi ini harus dinilai terjadi untuk sementara waktu. Perubahan yang bersifat sementara seperti ini masih sulit untuk disebut pasti akan membentuk tradisi-tradisi baru. Akan tetapi, agar hal-hal baik tertentu yang telah terbentuk selama masa pandemi ini dapat bertahan, diperlukan usaha-usaha sengaja oleh para aktor untuk memertahakan kebiasaan-kebiasaan baru di masa pandemi itu agar tetap terus berlangsung dan menjadi kebiasaan yang lebih permanen. Suatu waktu secara alamiah, ia akan mementuk new normals yang lebih fundamental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun